Mataram (ANTARA) - Beberapa hari terakhir, hujan deras kembali mengguyur berbagai wilayah di Indonesia. Dari Sumatra hingga Jawa, dari Kalimantan hingga Maluku, air hujan turun dengan deras, membasahi sawah, pekarangan, dan jalanan kota yang semula kering.
Di sejumlah kota besar, genangan air menjadi pemandangan biasa, sementara di desa-desa, petani menyambut tetes demi tetes hujan sebagai berkah yang menenangkan tanah yang mulai menguning.
Intensitas hujan yang tinggi ini memperlihatkan keajaiban alam sekaligus menunjukkan ketidakmerataan distribusi air yang kerap membingungkan masyarakat dan pemerintah.
Di sebagian besar wilayah, hujan menghadirkan napas baru bagi pertanian dan ekosistem setempat. Sungai kembali mengalir deras, embung terisi, dan saluran irigasi bekerja maksimal.
Namun, di sisi lain, fenomena ini menegaskan sebuah realitas yang tidak bisa diabaikan. Meski hujan lebat terjadi di banyak daerah, ada wilayah yang justru terperangkap dalam kekeringan panjang, menguji ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan pola cuaca ekstrem.
Salah satu wilayah yang menghadapi tantangan ini adalah Kecamatan Lape, di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Empat bulan terakhir, langit di atas Lape nyaris tak meneteskan hujan. Tanah retak di sawah, sumur menyusut, dan sumur tadahan warga mulai mengering.
Setiap pagi, para petani harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkan air bagi ternak dan kebutuhan rumah tangga. Sumur yang biasanya menjadi sumber utama air sejak awal musim kemarau kini sudah kering, memaksa warga beradaptasi dengan keterbatasan sumber daya.
Fenomena yang dialami Lape bukan sekadar peristiwa lokal. Kekeringan panjang ini mencerminkan tantangan ketahanan air yang rapuh di tengah pola cuaca ekstrem.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Lape tercatat mengalami lebih dari 100 hari tanpa hujan, termasuk kategori kekeringan ekstrem.
Tidak hanya Lape, sejumlah wilayah lain di Sumbawa, Dompu, dan Bima juga menghadapi kondisi serupa, dengan hari tanpa hujan mencapai lebih dari 60 hari.
Tren ini menjadi sinyal peringatan akan tekanan musim kemarau yang semakin panjang, yang tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Kekeringan di Lape bukan hanya soal langit yang kering. Letak geografis Lape, berupa dataran rendah yang diapit pegunungan, menjadi salah satu penyebab utama minimnya curah hujan.
Angin lembab dari Samudera Hindia yang membawa uap air, ketika melewati pegunungan Sumbawa, banyak kehilangan kandungan airnya.
Dominasi angin muson timur yang kering dari Australia semakin memperparah kondisi tersebut. Hasilnya, meski wilayah lain diguyur hujan lebat, Lape tetap terjebak dalam kekeringan.
Berbagai langkah mitigasi telah ditempuh. Pemerintah provinsi melalui BPBD mendistribusikan air bersih, membangun sumur bor darurat, dan memanfaatkan embung untuk menampung air hujan.
Fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa perubahan iklim global bukan ancaman jauh di masa depan, tetapi realitas yang sudah dirasakan oleh masyarakat pedesaan.
Lape hanyalah salah satu contoh nyata, namun kisahnya mencerminkan risiko yang lebih luas bagi wilayah lain dengan karakter geografis serupa. Setiap upaya mitigasi yang berhasil di satu daerah dapat menjadi model bagi daerah lain, dari pembangunan sumur bor, embung, hingga pelatihan manajemen air bagi masyarakat.
Di balik tanah yang retak dan sumur yang kering, tersimpan pesan penting yakni kesiapsiagaan, inovasi, dan kepedulian adalah kunci agar air, sumber kehidupan, tidak lagi menjadi barang langka.
Lape menjadi saksi bagaimana manusia beradaptasi, berinovasi, dan tetap bertahan meski alam menghadirkan ujian panjang.
