Jakarta (ANTARA) - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akhirnya menyatakan bahwa ijazah sarjana S1 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada milik Presiden Ke-7 Indonesia Joko Widodo (Jokowi) adalah asli.
Kesimpulan itu dibuat setelah Bareskrim melakukan uji forensik yang mencakup analisis bahan kertas, teknik cetak, tinta, stempel, tanda tangan, dan membandingkan dengan ijazah alumni seangkatan Jokowi.
Namun rupanya, bukti saintifik ini belum mampu menghentikan perdebatan sengit baik di ruang nyata maupun maya. Bahkan perdebatan semakin meluas dan melibatkan Universitas Gadjah Mada, kampus yang menerbitkan ijazah tersebut.
Pihak yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi menuding bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri tidak reliable. Di sisi lain, para penuduh ijazah palsu dituding melakukan pelanggaran riset, karena metodologi penelitian mereka tidak kredibel, tidak tervalidasi, mengabaikan prinsip triangulasi dan sekadar ilusi visual, sehingga menyesatkan. Dalam dunia riset ini bisa dikategorikan pelanggaran etik dan dipastikan hasilnya bias.
Terlepas dari segala kegaduhan tersebut, jika dilihat dari sisi lain, kasus ini bukan sekadar isu tentang keabsahan selembar dokumen, melainkan cermin bagaimana informasi disaring, kebenaran dicari, dan etika digital diuji.
Demokrasi digital
Kasus ini menjadi tantangan besar dalam demokrasi modern, ketika ruang digital kerap tak mampu menjelaskan benang merah antara fakta dan opini, di tengah "tsunami informasi"; hoaks dan disinformasi seolah menjadi kebenaran yang terverifikasi.
Ini ancaman serius bagi kehidupan berbangsa karena dapat melemahkan tingkat kepercayaan publik atau public trust terhadap institusi resmi, yang pada akhirnya merusak reputasi pemerintah dan masa depan demokrasi.
Untuk itu, sudah saatnya kita mempertimbangkan adanya solusi progresif, yaitu hadirnya lembaga verifikasi independen, yang mampu memvalidasi dokumen pejabat publik dan validitas kearsipan dokumen pendidikan.
Dalam hal ini Kemendikti Saintek dapat merumuskan model data pendidikan mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi yang mudah diakses publik. Langkah ini berpotensi mengurangi polemik serupa di masa depan.
Keterlibatan pihak ketiga seperti organisasi internasional atau akademisi independen untuk meningkatkan kepercayaan publik menjadi penting.
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi ini mengajarkan kita beberapa hal.
Pertama, literasi data dan metode ilmiah dalam menangani isu publik, menjadi hal mendasar yang harus menjadi pegangan. Tuduhan tanpa bukti, hanya memperburuk polarisasi dan melemahkan model komunikasi pemerintah yang saat ini sedang diperbaiki sebagai instrumen penting pembangunan.
Kedua, institusi resmi seperti Kemendiktisaintek harus proaktif menjadi penengah dan meredam spekulasi. UGM sebagai perguruan tinggi bereputasi, dapat mempublikasikan panduan tentang proses penerbitan ijazah dari waktu ke waktu. Sementara media sosial memainkan peran gandanya yaitu sebagai wadah diskusi sehat, dalam waktu bersamaan menjadi filter upaya penyebaran hoaks.
Secara perbandingan, kasus internasional seperti tuduhan korupsi terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro menunjukkan dinamika serupa. Tuduhan didasarkan pada dokumen tidak tervalidasi, sedangkan investigasi resmi memberikan bukti lebih kuat. Polarisasi semacam itu membuat publik terpecah.
Kasus dugaan ijazah palsu ini menegaskan bahwa kebenaran memerlukan disiplin ilmiah dan dialog terbuka. Ini menjadi tantangan demokrasi di ruang digital: bagaimana menjaga kebenaran di tengah opini yang terus "berkelahi" secara real time. Media mainstream dapat memainkan perannya sebagai "mesin pendingin" bukan malah memperkeruh situasi.
Demokrasi digital
Salah satu tujuan akselerasi transformasi digital adalah menumbuhkan ekosistem baru ruang demokrasi yang sehat dan bermartabat . Demokrasi berbasis digital diharapkan memperkuat relasi antara pemerintah dan publik, dalam model komunikasi partisipatif.
Dr. Beth Simone Noveck, pakar demokrasi digital dari New York University, menyatakan, "demokrasi digital sesungguhnya dapat meningkatkan partisipasi politik dan transparansi pemerintahan dengan memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan secara online.
Prof. Dr. Viktor Mayer-Schönberger, pakar demokrasi digital dari University of Oxford, mendukung pernyataan Simone, bahwa "Demokrasi digital dapat memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan memungkinkan masyarakat untuk memberikan umpan balik dalam proses pengambilan keputusan."
Dalam agenda setting pemerintah misalnya, ketika menentukan kebijakan strategis, publik dapat berpartisipasi menyampaikan ide dan gagasannya secara daring.
Memang tidak mudah, karena demokrasi digital juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya tidak semua masyarakat memiliki koneksi kuat untuk memasuki ruang teknologi digital, sehingga perlu kesetaraan akses. Disamping itu, demokrasi digital juga memerlukan keamanan data untuk melindungi informasi masyarakat dan mencegah penyalahgunaan.
Ingat, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi bermula dari penyebaran berita dan data atau gambar secara bebas, sehingga menimbulkan kegaduhan dan perselisihan pandangan yang berujung pada proses hukum.
Terlepas dari kelemahannya tersebut, demokrasi digital juga memungkinkan untuk mendeteksi segala bentuk penyimpangan sejak dini. Dengan demikian, siapapun tidak dapat berkelit ketika mencoba memanipulasi data atau melakukan kebohongan publik.
Di masa depan, sistem verifikasi independen dan digitalisasi arsip dapat menjadi solusi untuk mencegah polemik serupa. Dengan mengedepankan fakta, metode ilmiah, dan dialog yang konstruktif, masyarakat Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih matang, di mana kebenaran tidak hanya soal siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang mampu membuktikan dengan data dan integritas.
Perlu langkah konkret yang paling efektif untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap keabsahan dokumen resmi di era digital ini.
*) Dr. Eko Wahyuanto adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta