Jakarta (ANTARA) - Di Indonesia bagian timur, tempat di mana ketimpangan dan stereotip kerap merayap diam-diam ke dalam narasi pembangunan nasional, ada kisah berbeda yang sedang ditulis.
Sebuah cerita tentang pendidikan yang tidak mengandalkan suara keras atau aturan kaku, tetapi pada kehadiran yang hangat dan pendekatan yang memberi ruang untuk tumbuh.
Bangsa ini terlalu lama hidup dalam bayang-bayang sistem pendidikan yang menekankan kendali dan disiplin sebagai kunci sukses.
Ruang-ruang belajar dijaga ketat oleh norma-norma tentang bagaimana seharusnya seorang murid bersikap.
Pertanyaan harus sesuai topik, ekspresi harus dibatasi, dan kesalahan dianggap dosa besar yang mesti ditebus dengan hukuman.
Tapi bagaimana jika semua itu diam-diam bisa saja justru mengerdilkan potensi? Bagaimana jika sistem seperti itu hanya melahirkan ketaatan, tetapi mematikan keberanian untuk bermimpi?
Padahal di tengah dunia yang bergerak begitu cepat, negeri ini sebenarnya sedang butuh pendekatan baru yang tak hanya melatih kepala, tetapi juga membangun hati.
Sebuah cara mendidik yang memberi tempat bagi rasa ingin tahu, keberanian untuk gagal, dan kekuatan untuk bangkit.
Di Rote, Nusa Tenggara Timur, pendekatan ini sedang dicoba untuk bukan sekadar menjadi gagasan idealis, tapi kenyataan yang sedang tumbuh perlahan namun pasti.
Nora Bawazier, perempuan muda, pendidik, menjadi representasi dari sebuah impian untuk menghadirkan pendidikan yang humanis.
Ia memulai pendidikan berbasis rasa ingin tahu dan kemanusiaan di sebuah lembaga bernama Rote Hospitality Academy.
Di sinilah prinsip "tidak dengan paksaan, tetapi dengan cahaya" menemukan bentuk konkretnya. Sebagai direktur akademi di tempat ini, Nora Bawazier, membuktikan diri bukan tipe pemimpin yang menggertak dari podium.
Ia memilih hadir sebagai pendamping, orang yang tahu bahwa murid-muridnya tak hanya butuh keterampilan perhotelan, tetapi juga kepercayaan pada diri sendiri, kesadaran akan nilai-nilai pribadi, dan keyakinan bahwa mereka layak bermimpi lebih besar dari batas geografis mereka.
Menurut dia, pendidikan, jika dilakukan dengan hati, bukan hanya soal kurikulum. Ia menjadi ruang dialog antara guru dan murid, antara masa lalu dan masa depan.
Di tempat ini, belajar bukanlah aktivitas yang dipaksakan, melainkan petualangan yang menyenangkan.
Para siswa tak diajak tunduk, melainkan ditantang untuk mengenali potensi dalam diri mereka sendiri.
Di sinilah rasa percaya mulai tumbuh dan dari situ pula lahir rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap komunitas, dan terhadap masa depan.
"Ketika siswa mulai mempercayai kemampuan mereka untuk belajar, beradaptasi, dan tumbuh, mereka akan menghadapi tantangan bukan dengan rasa takut, tetapi dengan antusiasme. Mereka menjadi pembelajar yang tangguh berani mencoba, jatuh, dan bangkit kembali,” ujar Nora.
Kunci keberhasilan bagi Nora bukan pada alat-alat canggih atau bangunan mewah, melainkan pada kualitas hubungan yang dibangun.