Natuna (ANTARA) - Pagi itu, angin laut berembus pelan menyapa pantai di Desa Sunggak, Jemaja Barat. Hawa dingin dari angin yang menghantam air dan menyapa tubuh membuat banyak orang nyaman berbaring di balik selimut.
Kondisi demikian, tidak dilakukan oleh seorang pria berumur 47 tahun di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau bernama Burhanudin, Di pagi itu, Burhan justru sudah bersiap dengan semangat memulai aktivitas..
Burhan seorang penjaga kehidupan yang tidak banyak dikenal, namun dampaknya dirasakan oleh laut yang akan menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Dengan cekatan, Burhan mempersiapkan speedboat, menyeberangi laut menuju pulau kecil yang sunyi, tempat ratusan harapan sedang tumbuh diam-diam dalam pasir hangat, yaitu telur-telur penyu, makhluk laut purba yang sudah ada sejak zaman dinosaurus.
Kegiatan demikian telah dilakukan Burhan sejak 2017. Ia mendedikasikan hidupnya untuk melindungi penyu di Kepulauan Anambas, kawasan perbatasan negara dengan Malaysia yang menyimpan kekayaan laut luar biasa.
Penangkaran yang ia bangun bukan proyek pemerintah atau hasil donasi besar. Semua ia mulai dari kantong sendiri, dari hati yang terusik melihat alam yang terus dirampas, tanpa ampun.
Burhan menyaksikan langsung bagaimana telur penyu dikonsumsi dan dijual bebas, tanpa rasa bersalah. Baginya, ini bukan sekadar pelanggaran hukum atau etika. Ini adalah pertanda bahwa manusia sedang kehilangan arah, lupa bahwa laut bukan tempat untuk dieksploitasi, tapi untuk dijaga.
Bagi Burhan, penyu bukan sekadar binatang laut. Mereka adalah bagian penting dari sistem kehidupan. Penyu menjaga keseimbangan ekosistem bawah laut, mengendalikan populasi ubur-ubur, spons, dan lamun. Tanpa penyu, rantai kehidupan bisa kacau. Tanpa keseimbangan, nelayan pun akan sulit mencari nafkah.
Dan ia yakin, jika kenyataan itu terus dibiarkan, laut akan berbicara lewat datangnya bencana.
Pemerintah hadir
Selama bertahun-tahun, Burhan bekerja dalam diam, tapi perjuangannya tidak luput dari perhatian. Pada 2021, TNI Angkatan Laut dari Pos AL Jemaja turun tangan, mendukung penyelamatan sarang-sarang penyu dari aksi perusakan. Ribuan telur berhasil diselamatkan dan dijaga hingga menetas. Tukik demi tukik dilepas kembali ke laut, membawa harapan bahwa spesies ini belum akan menyerah pada zaman.
Tahun berikutnya, pemerintah pusat juga memberi dukungan nyata. Bantuan berupa kapal cepat kecil (speedboat), pelampung, hingga kamera tahan air dikirimkan. Bantuan ini bukan sekadar hadiah, tapi sebagai pengakuan atas perjuangan sejati seorang warga yang peduli.
Lalu pada 2023, sebuah yayasan konservasi dari salah satu resor lokal juga mengulurkan tangan. Mereka membangun rumah penetasan dan menempatkan relawan untuk membantu Burhan. Dengan aksi bersama, mereka menjaga telur-telur itu hingga menetas, lalu mengantarkan tukik-tukik mungil kembali ke samudera.
Kehadiran pemerintah dan yayasan bukan sekadar bantuan teknis. Bagi Burhan itu adalah pesan kuat bahwa perjuangan menjaga lingkungan bukan beban segelintir orang, tapi tanggung jawab bersama. Bantuan peralatan patroli, transportasi laut, rumah penetasan, hingga tenaga pendamping bukan hanya meringankan beban biaya, tapi juga menjadi pemantik semangat bagi para pejuang alam.
Saat negara memberi perhatian, Burhan merasa tidak sendiri dan terenyuh karena ternyata negara melihat, mendengar, dan merangkul perjuangan yang selama ini berjalan dalam senyap. Rasa letih berganti menjadi haru, langkah yang semula perlahan, kini lebih pasti dan laju.
Di sisi lain, kehadiran yayasan menjadi mitra penting yang menjembatani antara kebutuhan lapangan dan pendekatan ilmiah. Mereka tidak hanya membawa bantuan fisik, tetapi juga pengetahuan, pelatihan, dan jaringan kerja yang memperluas dampak, begitu juga dengan pemerintah.