Samarinda (ANTARA) - Setiap tanggal 21 April, Hari Kartini menggema di seluruh Indonesia, membangkitkan semangat emansipasi wanita.
Dalam lokalitas Kalimantan Timur, tanggal tersebut menyimpan makna ganda. Pada 21 April 1970 adalah hari pemakaman Aminah Syukur di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebuah penghormatan yang layak bagi seorang perempuan dengan kiprah begitu penting dalam catatan sejarah daerah ini.
Sejarawan Kalimantan Timur Muhammad Sarip melalui penelusuran literasi dan terhimpun dalam buku Aminah Syukur: Kiprah Perempuan di Kalimantan Timur Tempo Doeloe, menegaskan betapa signifikannya peran Aminah Syukur. Namun, lebih dari itu, Sarip juga membuka mata pada deretan nama perempuan hebat lainnya yang turut mewarnai sejarah Bumi Etam.
Selain Aminah Syukur, Kalimantan Timur menyimpan kisah inspiratif dari perempuan-perempuan tangguh. Sebut saja Salsabiah, seorang aktivis kebangsaan yang gigih memperjuangkan semangat bertanah air di era 1940-an. Lalu ada Djumantan Hasyim, seorang pionir yang mencatatkan diri sebagai legislator perempuan pertama di Kalimantan Timur, membuka jalan bagi partisipasi politik kaum hawa.
Kontribusi besar juga datang dari Dorinawati Samalo, atau yang akrab disapa Lo Beng Long. Keikhlasannya menghibahkan tanah menjadi cikal bakal berdirinya kampus Universitas Mulawarman (Unmul), sebuah institusi pendidikan tinggi kebanggaan Kalimantan Timur.
Tak ketinggalan pula Fatimah Moeis, seorang komandan Sukwati Dwikora yang menunjukkan keberanian dan kepemimpinan perempuan dalam masa-masa sulit.
Menurut Muhammad Sarip, geliat aktivitas perempuan di Kalimantan Timur mulai terorganisasi dengan baik seiring dengan implementasi politik etis kolonial pada dekade ketiga abad ke-20. Dokumentasi foto-foto klasik sekitar tahun 1930-an memperlihatkan bagaimana para remaja dan perempuan dewasa di Samarinda antusias mengikuti pendidikan dan kursus baca tulis.
Mereka kemudian membentuk organisasi-organisasi keperempuanan, antara lain terhimpun dalam Persatuan Istri Islam Indonesia.
Aminah Syukur
Lahir dengan nama Atje Voorstad di Palembang pada 20 Januari 1901, Aminah kemudian dikenal sebagai seorang pendidik yang pengabdiannya melampaui tanggung jawab seorang guru biasa.

Pada tahun 1928, Aminah Syukur bersama suaminya mendirikan Meisje School, sekolah khusus perempuan yang berlokasi di Yacob Steg (kini Jalan Mutiara, Samarinda). Sekolah ini menjadi wadah pendidikan bagi murid-murid pribumi, khususnya perempuan, yang pada masa itu masih terpinggirkan dalam dunia pendidikan. Aminah tidak hanya mengajar di sekolah formal, tetapi juga aktif memberikan les privat hingga usia senja.
Salbiah
Namanya mungkin tak setenar para pejuang kemerdekaan di Jawa, tapi kobaran semangat nasionalismenya turut menyala dalam organisasi Rukun Pemuda Indonesia (Rupindo) di Samarinda pada dekade 1940-an.
Salbiah menjadi salah satu srikandi yang tercatat dalam jajaran pengurus Rupindo, bersama Masriah, Fatimah, Halimatussa'diyah, Norsehah, Sadariah, dan Aad Sangadji.
Djumanan Hasyim
Di tengah minimnya partisipasi perempuan dalam kancah politik dan birokrasi Kalimantan Timur pada dekade 1950-an, nama Djumanan Hasyim muncul sebagai oasis. Perempuan tangguh yang berasal dari lingkungan Rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah ini mencatatkan dirinya sebagai legislator perempuan pertama di DPRD Kalimantan Timur sejak tahun 1957.
Menurut catatan sejarawan Kalimantan Timur Muhammad Sarip, keterlibatan Djumanan di parlemen bukan sekadar formalitas pengisi kuota. Ia menunjukkan peran sentral dalam dinamika politik daerah, terutama ketika terjadi kemelut kepemimpinan di awal tahun 1959.
Lo Beng Long
Bukan hanya derap langkah pejuang dari etnis lokal yang mengukir sejarah pembangunan Kalimantan Timur. Dari kalangan Tionghoa, seorang perempuan bernama Lo Beng Long turut menorehkan tinta emas. Ia mewariskan sebuah bangunan yang kelak menjadi cikal bakal universitas negeri pertama di Bumi Etam, Universitas Mulawarman (Unmul).
Di tahun 1962, di tengah semangat membangun bangsa pasca kemerdekaan, Lo Beng Long dengan kebesaran hatinya menghibahkan rumahnya yang terletak di Jalan Flores, Samarinda. Sebuah keputusan visioner yang tak hanya memberikan tempat bagi pendidikan tinggi, tapi juga meletakkan fondasi bagi lahirnya intelektual-intelektual Kalimantan. Bangunan bersejarah itu kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya Unmul, saksi bisu kontribusi seorang perempuan Tionghoa bagi kemajuan daerahnya.
Fatimah Moeis
Di tengah panasnya konfrontasi dengan Malaysia akibat pencanangan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Presiden Soekarno, Indonesia bersiap menghadapi segala kemungkinan, termasuk perang fisik. Retorika keras Bung Karno yang mengecam kekuatan asing semakin meningkatkan tensi.
Dalam situasi genting tersebut, pemerintah Orde Lama mengambil langkah tak terduga dengan merekrut warga sipil, termasuk kaum perempuan, untuk dilatih kemiliteran. Di Kalimantan Timur, program "wajib militer" bagi perempuan ini bahkan melibatkan para istri pejabat daerah, sebuah fenomena menarik yang terekam dalam buku sejarawan Kalimantan Timur, Muhammad Sarip.
Salah satu sosok perempuan tangguh yang turut serta dalam pelatihan intensif itu adalah Fatimah. Fatimah, seorang perempuan kelahiran Samarinda pada 8 Juni 1928, tumbuh dalam keluarga terpandang. Pendidikan agama diperolehnya melalui guru privat di rumah, dan ia sempat mengenyam pendidikan formal di HIS sebelum invasi Jepang menghentikan proses belajar mengajar.
Baca juga: Menkomdigi Meutya Hafid ajak perempuan Indonesia jadi penggerak inovasi digital
Baca juga: Hari Kartini momen refleksi masih rawannya perempuan di ruang publik
Baca juga: Lenny Sitorus, perempuan penakluk lautan Maluku