Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, dalam Rapat Tingkat Menteri yang diselenggarakan di Jakarta, Pemerintah kembali menetapkan target ambisius terkait angka kemiskinan.
Kemiskinan ekstrem ditargetkan harus nol persen pada 2026, sedangkan kemiskinan relatif diharapkan mencapai 4,5 hingga 5 persen pada 2029. Dengan tren penurunan kemiskinan yang melambat selama satu dekade terakhir, dan masih banyaknya tantangan struktural, mungkinkah target ini tercapai?
Pada Maret 2014, tingkat kemiskinan masih berada di 11,25 persen. Sepuluh tahun kemudian, angkanya turun menjadi 9,03 persen. Ini berarti, rata-rata penurunan hanya sekitar 0,2 persen poin per tahun.
Kondisi serupa terjadi dalam upaya menghapus kemiskinan ekstrem. Dalam lima tahun terakhir, angkanya turun dari 2,83 persen (2020) menjadi 1,47 persen (2024), atau sekitar 0,3 persen poin per tahun.
Pemerintah perlu memperkuat pendekatan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang lebih presisi. Untuk mencapai nol persen dalam dua tahun ke depan, laju penurunannya harus lebih dari dua kali lipat. Ini menuntut kebijakan yang jauh lebih tajam dibandingkan yang selama ini dilakukan.
Pemerintah harus memperkuat strategi pengentasan kemiskinan dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Ketepatan sasaran menjadi kunci dalam program pengentasan kemiskinan, di mana saat ini akurasi bantuan sosial masih rendah.
Efektivitas program perlindungan sosial masih terkendala tingginya exclusion error. Ke depan, basis data yang digunakan untuk menilai status, menetapkan penerima manfaat, serta menyalurkan bantuan harus diperbarui secara berkala dan berbasis pada kondisi riil masyarakat. Penguatan sistem data yang terintegrasi antara kementerian dan lembaga terkait sangat diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih penerima manfaat.
Sebagai langkah awal, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai basis data sosial dan ekonomi guna meningkatkan akurasi serta efisiensi dalam penyaluran bantuan dan program sosial lainnya.
Proses pemadanan ini dilakukan dengan mengintegrasikan data kependudukan dan catatan sipil menggunakan variabel Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini tidak hanya memastikan ketepatan sasaran penerima manfaat, tetapi juga menjadi bagian penting dalam proses verifikasi dan validasi data.
Hasil akhirnya adalah penunggalan data individu dan keluarga, sehingga kebijakan perlindungan sosial ke depan dapat dirancang lebih akurat dan tepat guna.
Lebih lanjut, program bantuan sosial perlu dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan dan akses pasar. Bantuan modal bagi UMKM harus didukung dengan kebijakan insentif yang mendorong pengusaha kecil berkembang lebih cepat.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kelompok miskin mendapatkan kesempatan untuk mengakses teknologi digital agar mereka dapat terlibat dalam ekonomi berbasis digital yang semakin berkembang.
Investasi di bidang kesehatan seperti peningkatan gizi anak dan ibu hamil juga sangat krusial untuk menghindari dampak jangka panjang kemiskinan akibat stunting dan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Upaya menekan angka kemiskinan juga harus diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif melalui penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan berkualitas.
Target ambisius pengentasan kemiskinan yang ditetapkan pemerintah menjadi tantangan tersendiri dalam beberapa tahun mendatang.
Dengan strategi yang lebih komprehensif, koordinasi yang lebih kuat, dan evaluasi yang lebih ketat, harapan untuk mencapai target pengentasan kemiskinan bukanlah hal yang mustahil.
*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Baca juga: Wamensos sebut kemiskinan ekstrem harus selesai pada 2026Baca juga: Presiden Prabowo sebut sekolah rakyat untuk memutus mata rantai kemiskinan