Jakarta (ANTARA) - Berbagai informasi tentang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terus berkembang.
Sayangnya, tidak semua informasi tersebut akurat, bahkan beberapa diantaranya menyebarkan kecemasan di masyarakat, terutama ketika hampir semua aspek kehidupan manusia telah dimediasi atau termediatisasi oleh AI.
Pakar keamanan siber Dr I Made Wiryana dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu membuka paparannya dengan mengutip tulisan Noam Chomsky (2023) tentang False Promise of ChatGPT.
Chomsky menyatakan, banyak kekhawatiran berlebihan di masyarakat tentang AI. Salah satunya, AI adalah instant intelligence.
Menurut Dr. Made, hal tersebut adalah mitos. AI hanya meniru pola dari data yang diberikan manusia. Seperti seorang murid yang sangat cepat dalam menghafal dan menemukan jawaban, AI tetaplah membutuhkan guru untuk mengajari, memberi data, atau informasi.
Mitos lain adalah bahwa AI adalah teknologi paling canggih. Padahal, sejak 1943 para pakar sudah mengembangkan perceptron karya McCulloch-Pitts. Perceptron adalah teknologi yang sudah mempraktekkan pola kerja AI. Barulah pada 1945 istilah "Artificial Intelligence" mulai digunakan. Jadi, AI sejatinya bukan barang baru, hanya semakin canggih seiring waktu.
Lalu, secanggih apa AI dibandingkan otomatisasi? Teknologi yang bekerja otomatis hanya menjalankan sebuah perintah. Sedangkan AI mampu memahami sebuah pola dan memberikan prediksi berdasarkan pola sebelumnya.
Artinya, pekerjaan AI tetap membutuhkan manusia sebagai domain expert yang memasukkan data atau informasi. AI memang mampu membantu, tapi tidak dapat berpikir sendiri seperti manusia.
Oleh karena itu, kecanggihan AI harus disikapi dengan kritis. AI bukanlah entitas yang memiliki kesadaran atau pemikiran independen. AI bekerja dengan cara menganalisis dan meniru pola dari data yang tersedia. Jika data yang diberikan pada AI salah atau bias, maka hasil pekerjaan AI pun tidak akurat.
Saat ini, AI lebih cocok disebut sebagai augmented intelligence. AI adalah teknologi yang mendukung kecerdasan manusia, bukan menggantikannya. AI bisa mempercepat pekerjaan, tetapi konsep dan keputusan tetap di tangan manusia.
Dengan kata lain, AI dapat membantu pekerjaan manual, namun bukan konseptual. Misalnya, dalam dunia jurnalistik, AI bisa membantu menyusun berita berdasarkan data yang tersedia. Tetapi, jurnalis lah yang tetap menentukan sudut pandang, etika, dan nilai berita.
Kesempurnaan AI adalah kekurangannya
Apakah Anda menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukan AI sering kali terlalu sempurna? Berbeda dengan manusia yang berpotensi membuat kesalahan.
Inilah yang menjadi salah satu ciri sekaligus kelemahan AI. Pekerjaan AI selalu tepat, mudah dikenali dan berada dalam pola yang pasti. Sedangkan kesalahan manusia yang beragam justru sering berkembang, menghasilkan inovasi, dan kreativitas.
Dalam seni, misalnya, banyak karya besar lahir dari ketidaksempurnaan. Lagu-lagu yang menyentuh hati tidak luput dari sedikit kesalahan dalam nada atau ritme. Justru kesalahan nada atau ritme itulah yang membuat lagu unik dan berkesan.
AI mungkin bisa menciptakan musik dengan cepat dan harmoni sempurna. Tetapi, belum tentu lagu tersebut memiliki emosi dan dinamika layaknya perasaan manusia.
Perkembangan AI berkelindan dengan dinamika kajian Teori Komunikasi. Guru besar Ilmu Komunikasi Prof. Dr. Masduki menjelaskan bahwa para ahli komunikasi sebelumnya memahami praktik komunikasi hanya terjadi antara manusia -dengan teknologi sebagai perantara (mediasi).
Tetapi, saat ini manusia berinteraksi bahkan diintervensi oleh teknologi. Artinya, manusia mengalami mediatisasi (Couldry & Hepp, 2013). Sehingga terjadi saling keterhubungan antara praktik komunikasi, bermedia, dinamika sosial, dan budaya.
Para ahli membahas perkembangan praktik komunikasi dalam terma beyond human communication (Guzman dan Lewis, 2020). Konsep ini mengulas berbagai praktik komunikasi yang melibatkan manusia dan AI. Hal ini menarik karena -artinya- ilmu komunikasi berkembang mengikuti zaman.
Demikian pula, riset Ilmu Komunikasi telah mempertanyakan hal-hal seperti bagaimana pengguna AI berbicara dengan chatbot, bagaimana pengguna AI mencurahkan perasaan ke asisten virtual, atau bagaimana AI menggantikan hubungan antarpribadi yang sesungguhnya.
AI bukan majikan
Perkembangan AI sejalan dengan konsep Masyarakat 5.0 yang menekankan bahwa manusia harus memanfaatkan AI dengan bijak. Manusia tidak seharusnya bergantung, mengandalkan, atau mempercayai sepenuhnya hasil kerja AI tanpa berpikir kritis.
Konsep Masyarakat 5.0 berarti memanfaatkan AI dengan tetap menggunakan kontrol manusia. Ini menunjukkan bahwa AI adalah alat bantu pemberdayaan, bukan pengganti peran manusia.
Jadi, apakah AI telah menggantikan manusia? Jawabannya, tidak. AI masih menjadi teknologi yang membuat pekerjaan manusia lebih mudah dan cepat. Tetapi, manusia masih memiliki kreativitas, otoritas mengambil keputusan, dan berfikir secara kritis.
Dunia masih tentang manusia yang unik, memiliki perasaan, kreativitas, dan pemikiran berbeda-beda. Mungkin, manusia perlu khawatir ketika nanti AI mampu berfikir secara filosofis. Sebuah dystopia -kita tidak berharap AI mampu berfikir kritis dan mulai menanyakan untuk apa ia diciptakan.
AI adalah mitra yang kuat, tetapi tidak boleh menjadi bos. Justru manusialah yang harus tetap mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya. Demikian pula, kajian dan praktik komunikasi akan semakin dinamis.
Satu hal yang pasti, di balik setiap kemajuan teknologi, tetap ada manusia yang menentukan arah dan maknanya.
*) Dr. Reza Praditya Yudha adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Kampus PPU-Universitas Gunadarma, Manajer Center for Public Relations, Outreach and Communication (CPROCOM)