Bogor, 17/11 (ANTARA) - Seniman senior yang juga penari, dalang dan budayawan asal Bogor, Wawan Dewantara, menyebutkan tradisi pusaka Bogor Pidangan Tari Tayub saat ini terancam punah.
"Oleh masyarakat Sunda Tari Tayub sudah dianggap punah. Jumlah penari ini saat ini se-Jawa Barat hanya tinggal tiga orang," katanya dalam jumpa pers Pagelaran Kesenian dalam Upaya Pelestarian Pusaka Budaya Bogor oleh Masyarakat di Bogor, Jumat.
Wawan mengatakan, kepunahan Tari Tayub di Bogor terlihat saat Bupati Sumedang menggelar pertemuan para tokoh budayawan dan seniman se-Jawa Barat.
Dari pertemuan tersebut diketahui tokoh tertua Tari Tayub se-Jawa Barat hanya tinggal tiga orang yakni dari Bogor, Sumedang dan Bandung.
Selain itu, lanjut Wawan, regenerasi penari Tayub juga sulit ditemukan.
"Untuk mencari tiga orang yang bisa memukur gamelan saja sekarang sudah susah," katanya.
Selain tidak adanya regenarasi, penyelenggaraan Tari Tayub ini juga sudah jarang dilakukan di kalangan masyarakat.
Sekilas Wawan menceritakan sejarah Tari Tayub merupakan tradisi tahun 20-an yang terdapat hampir di seluruh wilayah Jawa Barat.
Gerak tariannya belum terpola, sehingga penari bebas melakukan tariannya asalkan sesuai dengan irama gending atau tabuhan yang mengiringi.
Tari Tayub ini ditarikan oleh penari laki-laki dimana para penari bersikap dan bergerak sesuai dengan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
"Bedanya Tari Tayub di paparan Sunda dan Jawa. Di Sunda pada mulanya tari hanya dilakukan di kalangan menak atau priayi atau bangsawan sunda," katanya.
Perjalanan Tari Tayub terus berlangsung hingga 1960-an. Tari Tayub berkembang merebak sampai kepada buruh pabrik, atau perkebunan di luar kabupaten (lingkungan kerabat bupati). Dengan demikian tari Tayub kemudian bulan lagi jadi milik para menak, melainkan masyarakat luas.
Menurut Wawan, banyak generasi muda mengembangkan Tari Tayub ini menjadi Tari Kerses salah satunya sekolah seni tari yang ada di Bandung. Hanya saja, tari tersebut tidak lagi sesuai dengan Tayub awal.
Tari Tayub, lanjut Wawan, mengandung falsafah hidup yakni berketuhanan dimana setiap geraknya melambangkan penghormatan terhadap Yang Maha Kuasa.
Dalam gerakan tari tradisional itu ada duduk, duduk itu melambangkan dasar, dan dasar itu dari agama.
"Ada gerakan adeg yakni posisi pendirian. Ada istilah Cindeg, ada lontang kanan, kiri dan sembah. Itu salah satunya ada timbang baik buruknya diserahkan ke Tuhan," katanya.
Menurut Wawan tari Tayub terasa hilangnya mulai 1960. Ada tahun 70an tarian tersebut mulai diangkat lagi oleh pimpinan namun kembali meredup.
"Nilai penting tayup, memiliki falsafah hidupnya. Anak-anak sekarang tarinya tidak ada nilainya. Kalau di Sunda nilai Tayup mengingat Allah. Seperti tari sufi dari Turki. Semua seni Sunda dan Bali syarat dengan falsafah hidup," katanya.
Ia menambahkan Tari Tayub digelar pada pertemuan-pertemuan saat ini cocoknya digunakan untuk tari pergaulan.
"Kesulitan dari Tayub ini dihidupkan kembali karena tidak ada perhatian pemerintah. Untuk bisa masuk sekolah saja sudah sulit," katanya.
Rencananya Tari Tayub akan digelar kembali dalam acara Pagelaran Kesenian yang diselenggarakan oleh Roemah Kahoeripan bersama Komunitas Pelestari Pusaka Budaya Bogor.
Ketua Pelestarian Pusaka Budaya Bogor, Dewi Djukardi mengatakan, tujuan pihaknya menggelar pertunjukan tersebut dengan harapan diangkatnya salah satu tari maestro Bogor dapat mengetuk hati pemerintah untuk turut serta melestarikannya.
"Kami dari kalangan masyarakat sudah cukup peduli dengan pelestarian budaya ini. Kita berharap pemerintah peduli. Karena rencananya kita akan bawa tari ini ke dunia Internasional," katanya.
Laily R
Budayawan : Tari Tayub Sunda Terancam Punah
Sabtu, 17 November 2012 10:35 WIB
budayawan-tari-tayub-sunda-terancam-punah