Jakarta (ANTARA) - Jelang Hari Kemerdekaan RI ke 79, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memberikan pidato kenegaraannya dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung MPR/DPR di Jakarta, Jumat (16/8).
Ini merupakan kali terakhir presiden ke-7 Indonesia itu memberikan pidato kenegaraan yang menjadi ritual setiap merayakan kemerdekaan negeri zamrud khatulistiwa.
Terkadang, sebuah pesan tak melulu terucap dalam kata, sering kali ia tersirat dalam ekspresi, intonasi, hingga gestur.
Pakar gestur dan mikro ekspresi dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Monica Kumalasari pada Sabtu mengungkapkan, ada beberapa emosi yang dirasa Presiden pada momen itu. Rasa tidak nyaman mendominasi isi kepala dan hati beliau.
Monica menyebut, pidato Jokowi kali ini merupakan yang tersingkat dibanding tahun-tahun sebelumnya di momen yang sama. Tambah lagi, durasi pidato tersebut "jomplang" dengan durasi pidato yang disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.
“Ini merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan beliau, dan juga di luar ekspektasi dari masyarakat karena ini adalah merupakan akhir dari masa jabatan beliau. Dalam konteks komunikasi, sesuatu yang dipercepat itu merupakan indikasi pada hal yang tidak nyaman,” kata dia kepada ANTARA.
Pengamatan Monica diperkuat dengan hasil temuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), yang menunjukkan rasa tidak nyaman dari ekspresi hingga gestur Jokowi. Emosi tersebut mendominasi hingga lebih dari 90 persen.
“Dengan menggunakan bantuan tambahan analisa AI, keluar hasil ukuran beliau merasa uncomfortable (tidak nyaman) itu sebanyak 94,21 persen. Jadi, ini mendukung ketika saya mengatakan ini di luar kebiasaan pidato yang sangat singkat, karena beliau tidak nyaman,” jelas Monica.
Hasil analisis kecerdasan buatan tersebut menunjukkan rasa takut dan sedih yang juga menjadi distributor emosi paling banyak dirasakan Jokowi pada penyampaian pidatonya.
“Kalau kita lihat dalam distribusi emosi ini, jadi ada rentang waktu, emosi ini hampir muncul setiap saat, bahkan. Emosi rasa takut itu muncul karena ada suatu ancaman. Kita tidak tahu apa yang membuat beliau ini punya rasa takut, namun sedih ini dipahami, karena ini adalah akhir dari 10 tahun masa jabatan beliau,” Monica menambahkan.
Intonasi, nada, dan kata-kata
Selama pidato kenegaraannya, Jokowi hampir tidak menunjukkan tekanan-tekanan emosi, menyampaikanya dengan nada suara yang datar. Hal ini berbanding terbalik dengan pidato kenegaraan pada tahun lalu, yang penuh nuansa emosional, ungkap Monica.
Sebagian besar dari pesan yang disampaikan Jokowi dalam pidato kenegaraan kemarin adalah mengenai keberhasilan ekonomi dan pembangunan. Kata “membangun” acap kali dilontarkannya.
“Kata dan diksi yang sering keluar adalah kata membangun, membangun, membangun. Contohnya membangun jalan desa, bandara, bendungan, jalan tol, dan sebagainya. Ini diucapkan berkali-kali, jadi ini adalah pesan yang ingin dibangun, branding yang ingin dibangun adalah, beliau ini bapak pembangunan,” ujar Monica.
Dari pidato yang lebih singkat dari biasanya, Monica menemukan satu topik pembahasan yang kembali dipersingkat saat disampaikan, yakni mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
“Pesan tersebut justru ingin dipercepat, dan tidak banyak informasi yang ingin disampaikan. Padahal, hal itu adalah yang merupakan komplain dan kritik dari masyarakat,” kata dia.
Meski Presiden menyampaikan pesan dengan intonasi yang datar di hampir keseluruhan pidatonya, lanjut Monica, perubahan intonasi terjadi ketika Beliau berpesan mengenai presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.
Intonasi menukik ke atas dan menjadi lebih tegas ini, menurut Monica, menunjukkan maksud kepada Prabowo untuk dapat melanjutkan misi pembangunan yang telah ia lakukan selama 10 tahun terakhir.
“Suaranya kemudian menjadi lebih tegas, lebih lebih menukik ke atas. Ini adalah suatu bahasa penegasan. Jadi, keinginan beliau yang ingin digarisbawahi adalah untuk melanjutkan pembangunan beliau,” Monica menambahkan.
Balutan pesan melalui busana
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi kembali memakai pakaian adat seperti yang kerap dilakukannya pada setiap Sidang Tahunan jelang Hari Kemerdekaan. Tahun ini, baju yang dikenakan Jokowi adalah dari suku Betawi yaitu baju adat Ujung Serong dengan beskap dan celana hitam.
Penampilannya juga dilengkapi dengan lilitan kain batik bernuansa hijau di pinggang, serta aksesoris di kantong jas serta peci hitam. Pakaian ini umum dikenakan oleh kalangan bangsawan Betawi. Disebut Ujung Serong karena kain batik yang dikenakan di pinggang dililit secara serong.
Mengenakan pakaian dengan latar kisah bangsawan saat momen pidato kenegaraan bukan pertama kalinya dilakukan Jokowi, setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Namun demikian, Jokowi juga sempat mengenakan pakaian dari kalangan umum alias non-bangsawan saat momen yang memperingati hari Kemerdekaan tersebut.
Pakaian juga tentu dapat menjadi komunikasi non-verbal yang bisa jadi muncul dari bawah sadar si pemakai. Monica menilai, pakaian “bangsawan” ini digunakan untuk menunjukkan posisi seseorang yang lebih tinggi.
“Padahal sebelumnya, Pak Jokowi pernah mengenakan pakaian rakyat biasa Badui sehingga memicu tanggapan kesederhanaan seorang presiden. Tetapi dua tahun terakhir, pakaian yang dipilih adalah pakaian kebangsawanan. Ini boleh saja dipersepsikan bahwa di akhir-akhir masa jabatannya, beliau lebih ingin menampilkan kesan sebagai seseorang dengan posisi yang tinggi atau bangsawan,” pungkas dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Di balik kata-kata: Menerawang hati Jokowi dalam pidato terakhirnya