Jakarta (ANTARA) - Pengelolaan nama domain tingkat tinggi Indonesia (.id) dan domain-domain tingkat dua seperti http://co.id, http://ac.id, http://go.id, http://mil.id, dan lainnya, yang berada di bawah Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI), tengah menjadi perhatian publik akibat dugaan praktik bisnis yang berpotensi merugikan.
PANDI, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh komunitas internet Indonesia bersama pemerintah pada 29 Desember 2006, memiliki peran sentral dalam mengelola nama domain di Tanah Air.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Nama Domain menjadi landasan hukum yang mengatur tugas dan tanggung jawab PANDI sebagai pengelola domain di Indonesia.
Sebagai entitas yang ditunjuk oleh Kementerian Kominfo, PANDI memiliki peran krusial sebagai registri domain .id. Artinya, hanya PANDI yang berwenang mengelola dan mengawasi pendaftaran serta penggunaan nama domain dengan ekstensi .id dan turunannya.
Organisasi nirlaba ini juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah, operator industri internet, dan akademisi.
Namun, belakangan ini, praktik bisnis PANDI menjadi sorotan. Beberapa pakar internet menyoroti adanya potensi moral hazard dari praktik-praktik bisnis yang dilakukan oleh pengurus PANDI saat ini.
Sebuah bocoran informasi dari akun Twitter @PartaiSocmed ramai dibicarakan para pelaku industri ini karena ditengarai tengah terjadi praktik privatisasi domain tingkat tinggi Indonesia dan turunannya.
Akun tersebut membocorkan bahwa anak perusahaan PANDI, yakni PT Aidi Digital Global (ADG), yang modal dan aset-asetnya berasal dari PANDI akan diakuisisi oleh perusahaan yang dimiliki oleh mayoritas anggota PANDI yang bergabung sebagai para pemegang saham pada PT Indonesia Berdaulat Digital (IdBD).
Akun Twitter tersebut mengunggah bukti undangan rapat PT Indonesia Berdaulat Digital (IdBD) dalam rangka mengakuisi saham ADG. Menurut informasi yang diposting @PartaiSocmed, jika PT IdBD mengakuisisi dua per tiga saham anak perusahaan PANDI ( PT ADG), maka mayoritas saham PT ADG akan dimiliki secara pribadi oleh para pengelola PANDI.
Di lain pihak, Permenkominfo memandatkan bahwa domain adalah terkait dengan kepentingan publik, meski pun, memang PANDI adalah organisasi yang ditunjuk untuk mengelola basis data nama domain, mengatur proses pendaftaran, memastikan kepatuhan terhadap aturan, dan menangani berbagai isu terkait nama domain .id dan turunannya di Indonesia.
Teddy Sukardi, Ketua Umum pertama PANDI, yang merupakan salah satu pendiri PANDI, mengomentari bocoran informasi tersebut.
"Harusnya jika ada informasi yang beredar di masyarakat seperti itu, ya diklarifikasi. Buat PANDI, mungkin tandanya mereka harus lebih transparan menceritakan seperti apa mereka mengelola (bisnisnya). Mestinya ada transparansi, misalnya mereka mengelola nama domain seperti apa, kemudian menggunakan keuangannya untuk apa."
Sebagai informasi, PANDI sebagai lembaga pengelola domain .id, pendiriannya dimotori oleh 15 orang yakni DR Basuki Yusuf Iskandar, DR Cahyana Ahmadjayadi, A Sapto Anggoro, Sylvia Sumarlin PhD, Teddy AP, Wahyoe Prawoto, Isnawan, John Sihar Simanjuntak, Loly Amalia Abdullah, Andy Budimansyah, Heru Nugroho, Brata Taruna H, AM Natsir Amal, Teddy Sukardi, dan Bobby Nazief.
Ketua PANDI dan Direktur PT IdBD saat ini adalah John Sihar Simanjuntak.
Teddy mengatakan, meski dirinya tidak lagi ada di PANDI, ia mengharapkan PANDI kembali ke cita-cita semula, yakni sebagai organisasi nirlaba. "Artinya nirlaba apa? Mereka mengelola nama domain mewakili masyarakat. Mewakili komunitas, bukan mewakili pelaku usaha."
"Organisasi nirlaba itu, kalau punya pendapatan lebih dikembalikan dong ke komunitas dalam bentuk program-program dalam bentuk memberdayakan masyarakat," kata Teddy, yang 16 tahun lalu, bersama sejumlah komunitas teknologi informasi (TI), mendirikan organisasi nirlaba ini.
"Kalau yang bikin PT kan yang cari profit ya, jadi nggak nyambung," kata Teddy, seraya menambahkan hal ini bertolak belakang dengan kewenangan yang dimandatkan Permenkominfo Nomor 23 Tahun 2013.
"Sama sekali tidak ada perintah ke PANDI untuk mengumpulkan kekayaan, mengembangkan usaha. Yang penting nama domainnya dipakai oleh masyarakat, pengelolaannya harus aman, andal, memperhatikan kepentingan orang banyak. Kalau bisa bertumbuh penggunanya semakin banyak kan bagus, jadinya publik tidak pakai .com, tapi .id. "
Ketua APJII Ikut dalam Rapat Akuisisi Anak Usaha PANDI?
Yang cukup mengejutkan, di 21 nama yang ada di daftar undangan PT IdBD terkait rapat perihal akuisisi PT ADG yang dibocorkan oleh akun Twitter @PartaiSocmed, selain ada pengurus PANDI, ada juga Muhammad Arif, yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Jika mengutip di situs resmi PANDI, Arif merupakan Anggota PANDI sebagai Wakil Penyelenggara Industri Internet. Namun, ia juga duduk di jajaran manajemen, sebagai Wakil Ketua Bidang Marketing di PANDI.
Mantan CTO Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Muhammad Salahuddin berbeda pendapat dengan Teddy. Ia mengatakan dirinya memahami diskursus yang tengah ramai jadi perbincangan di kalangan masyarakat TI dan industri internet terkait dengan governance dan pengelolaan PANDI.
"PANDI sebagai sebuah perkumpulan yang mengumpulkan dana publik, kemudian menjadi pertanyaan kalau menggunakan dana publik ini untuk mendirikan perusahaan swasta, kemudian perusahaan swasta ini sahamnya dikuasai oleh perusahaan lain yang merupakan milik perorangan."
"Jadi ini pertanyaannya seolah-olah ada pengalihan dana publik untuk dikuasai oleh perorangan. Demikian isunya dari dinamika di media sosial."
Namun ketika ditanya apakah PANDI sudah melenceng dari Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 23 Tahun 2013, Salahudin mengatakan: "Kalau menurut saya secara hukum sah-sah saja [...] Peraturan Kominfo tidak ada kaitannya.
Di luar negeri, seperti di Amerika ada yang seperti itu, namanya incorporated. Perusahaan swasta, tapi nirlaba, beda dengan coorporation. Kalau incorporated boleh mengambil untung tapi tidak boleh membagikan sisa hasil usaha. Nah yang incorporated itu kalau ada hasilnya berkontribusi ke masyarakat untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial terkait internet."
Sebagai informasi, PANDI menghasilkan cuan cukup banyak. Akun medsos @PartaiSocmed juga membocorkan penerimaan PANDI tahun 2022. Menurut @PartaiSocmed, pada tahun 2022, penerimaan mereka adalah sebesar Rp 51 miliar, akan tetapi angka yang disetor ke negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hanya Rp 2,5 miliar.
"Sisanya setelah dipotong operasional lari kemana? Belum lagi dari keuntungan anak perusahaannya (ADG)," demikian tulis postingan akun medsos yang ramai diretween para warga net.
"Info terbaru PANDI ini sudah masuk dalam radar @KejaksaanRI dan pihak @kemkominfo sudah diberi informasi tentang praktek2 menyimpang yg terjadi disana. Kita tunggu saja apakah akan berlanjut menjadi kasus hukum atau tidak?," demikian tambah postingan @PartaiSocmed.
Pakar telematika soroti praktik bisnis pengelolaan domain dan turunannya
Senin, 12 Agustus 2024 9:55 WIB
Mestinya ada transparansi, misalnya mereka mengelola nama domain seperti apa, kemudian menggunakan keuangannya untuk apa.