Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law menjadi sorotan karena dinilai merugikan sejumlah pihak. Mereka khawatir penerbitan aturan tersebut nantinya akan berdampak pada penghasilan. Seiring berjalannya waktu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menilai masih banyak disinformasi atau penyampaian informasi yang salah soal RUU itu dan terus memantau penyebaran informasinya di media sosial. Hal itu dilakukan untuk mencegah opini keliru.
Setidaknya ada 8 disinformasi terkait RUU Omnibus Law seperti dikutip dari rilis resmi Kemenkominfo yaitu : pertama, disinformasi: cluster tiga soal ketenagakerjaan, upah minimum tidak turun atau ditangguhkan. Faktanya: tidak, semangat upah minimum tidak turun. Karena UU Cipta Kerja terkait tentang upah.
Kedua, disinformasi: pesangon PHK dihapuskan. Faktanya: tidak mungkin, kalau disesuaikan iya dengan cara perhitungan yang pas sesuai masa kerja diatur secara teknis di dalamnya.
Ketiga, disinformasi: mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Faktanya: ada kebutuhan tenaga kerja asing yang belum tersedia dan dibutuhkan kehadirannya untuk memastikan investasi berjalan dengan baik.
Keempat, disinformasi: cuti hamil, cuti tahunan, cuti besar dihapus. Faktanya: tidak, tetap ada dan diatur dengan baik untuk memastikan kelancaran investasi agar lapangan pekerjaan itu tidak terhambat.
Kelima, disinformasi: isu lingkungan seperti bangunan gedung, penghapusan izin, lingkungan hidup dan amdal dsb. Faktanya: tidak mungkin karena kita paru paru dunia, tetap harus jadi perhatian, proses amdalnya yang dipercepat dan dipermudah. IMB dipermudah, tidak perlu duplikasi rumah yang bersebelahan semua harus ber-IMB.
Keenam, disinformasi: jaminan produk halal. Faktanya: jaminan tidak hilang tapi dipercepat dan tetap harus ada campur tangan MUI juga lembaga lain yang bisa membantu mempercepatnya.
Ketujuh, disinformasi: sentralisasi kewenangan hanya di tangan presiden. Faktanya: Indonesia memang sistem presidensial, kekuasaan eksekutif ada di presiden dan terdistribusi ke Pemprov/Pemkab/Pemkot sesuai undang-undang.
Kedelapan, disinformasi: pemerintah pusat bisa mengubah peraturan perundang undangan dengan PP. Faktanya: Tidak seperti itu, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mungkin PP mengatur PP. PP menerjemahkan untuk lebih teknisnya.
Pentingnya tranparansi dan kejujuran
Masih terjadinya disinformasi terkait RUU Omnibus Law ditengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa RUU ini mendapatkan atensi yang meluas dan mendalam di banyak kalangan, karena dampaknya terhadap perekonomian nasional ke depan, termasuk masalah penyediaan lapangan pekerjaan.
Munculnya disinformasi ini juga disebabkan kurang dibukanya pintu dialog dan partisipasi publik pada saat penyusunan naskah akademik dan draft dari RUU Omnibus Law ini, sehingga wajar akhirnya masing-masing orang memiliki persepsi masing-masing, atas dasar pengetahuannya yang dimilikinya masing-masing.
Namun yang pasti, pembahasan RUU Omnibus Law ini akan berlangsung lama, karena daftar inventaris masalah (DIM) dari 9 fraksi yang ada di DPR RI belum ada, apalagi ditambah dengan mewabahnya Covid-19 membuat pembahasannya diperkirakan akan lama, termasuk resistensi di tengah masyarakat juga perlu pendekatan persuasif yang berkelanjutan agar tidak berkepanjangan. Last but not least, juga diperlukan adanya transparansi dan kejujuran dalam pembahasannya nanti ke depan, dengan membuka partisipasi publik selebar-lebarnya. Semoga.(14/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis di beberapa media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Setidaknya ada 8 disinformasi terkait RUU Omnibus Law seperti dikutip dari rilis resmi Kemenkominfo yaitu : pertama, disinformasi: cluster tiga soal ketenagakerjaan, upah minimum tidak turun atau ditangguhkan. Faktanya: tidak, semangat upah minimum tidak turun. Karena UU Cipta Kerja terkait tentang upah.
Kedua, disinformasi: pesangon PHK dihapuskan. Faktanya: tidak mungkin, kalau disesuaikan iya dengan cara perhitungan yang pas sesuai masa kerja diatur secara teknis di dalamnya.
Ketiga, disinformasi: mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Faktanya: ada kebutuhan tenaga kerja asing yang belum tersedia dan dibutuhkan kehadirannya untuk memastikan investasi berjalan dengan baik.
Keempat, disinformasi: cuti hamil, cuti tahunan, cuti besar dihapus. Faktanya: tidak, tetap ada dan diatur dengan baik untuk memastikan kelancaran investasi agar lapangan pekerjaan itu tidak terhambat.
Kelima, disinformasi: isu lingkungan seperti bangunan gedung, penghapusan izin, lingkungan hidup dan amdal dsb. Faktanya: tidak mungkin karena kita paru paru dunia, tetap harus jadi perhatian, proses amdalnya yang dipercepat dan dipermudah. IMB dipermudah, tidak perlu duplikasi rumah yang bersebelahan semua harus ber-IMB.
Keenam, disinformasi: jaminan produk halal. Faktanya: jaminan tidak hilang tapi dipercepat dan tetap harus ada campur tangan MUI juga lembaga lain yang bisa membantu mempercepatnya.
Ketujuh, disinformasi: sentralisasi kewenangan hanya di tangan presiden. Faktanya: Indonesia memang sistem presidensial, kekuasaan eksekutif ada di presiden dan terdistribusi ke Pemprov/Pemkab/Pemkot sesuai undang-undang.
Kedelapan, disinformasi: pemerintah pusat bisa mengubah peraturan perundang undangan dengan PP. Faktanya: Tidak seperti itu, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mungkin PP mengatur PP. PP menerjemahkan untuk lebih teknisnya.
Pentingnya tranparansi dan kejujuran
Masih terjadinya disinformasi terkait RUU Omnibus Law ditengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa RUU ini mendapatkan atensi yang meluas dan mendalam di banyak kalangan, karena dampaknya terhadap perekonomian nasional ke depan, termasuk masalah penyediaan lapangan pekerjaan.
Munculnya disinformasi ini juga disebabkan kurang dibukanya pintu dialog dan partisipasi publik pada saat penyusunan naskah akademik dan draft dari RUU Omnibus Law ini, sehingga wajar akhirnya masing-masing orang memiliki persepsi masing-masing, atas dasar pengetahuannya yang dimilikinya masing-masing.
Namun yang pasti, pembahasan RUU Omnibus Law ini akan berlangsung lama, karena daftar inventaris masalah (DIM) dari 9 fraksi yang ada di DPR RI belum ada, apalagi ditambah dengan mewabahnya Covid-19 membuat pembahasannya diperkirakan akan lama, termasuk resistensi di tengah masyarakat juga perlu pendekatan persuasif yang berkelanjutan agar tidak berkepanjangan. Last but not least, juga diperlukan adanya transparansi dan kejujuran dalam pembahasannya nanti ke depan, dengan membuka partisipasi publik selebar-lebarnya. Semoga.(14/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis di beberapa media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020