Bogor, (Antaranews Bogor) - Berbagai dampak negatif dari khilaf
perilaku politik yang telah kita perbincangkan dalam dua
tulisan terdahulu menjadi semakin kompleks dan signifikan
dengan adanya khilaf berjamaah dalam perilaku politik berbangsa
dan bernegara yang "mendewakan" bangsa lain.

Jika kita renungkan, maka khilaf "mendewakan" bangsa lain ini
tampaknya tanpa disadari sudah kita lakukan beramai-ramai
setidak-tidaknya sejak 40 tahun yang lalu.

Ada tiga pola  "mendewakan" bangsa lain yang bisa kita tandai
sebagai khilaf kita bersama, yaitu pertama : "pendegradasian
Sistem Pendidikan Nasional" pada awal tahun 70-an, kedua
"pendegradasian Sistem Pranata Sosial pada era 90-an, serta
ketiga "Pendegradasian Sistem Institusi Negara" pada era
reformasi.


Pendegradasian Sistem Pendidikan Nasional

Pendegradasian sistem pendidikan nasional bisa kita tandai saat kita
mengganti sistem pendidikan tinggi nasional -- yaitu sistem pendidikan
tinggi di Eropa yang kita adopsi melalui sistem pendidikan Belanda --
dengan sistem pendidikan tinggi di Amerika.

Pada awal tahun 70-an, masa studi sarjana telah kita pangkas
menjadi empat (4) tahun, sedangkan status ijazahnya kita
devaluasi nilainya secara drastis dari "berhak langsung
melanjutkan studi doktoral" menjadi hanya setara "bachelor" pada
sistem pendidikan tinggi Amerika.

Perubahan sistem pendidikan tinggi yang "gegabah" dan "tidak
tuntas" tersebut dapat kita katakan sesungguhnya telah merugikan
"kinerja sistem pendidikan tinggi" bangsa kita setara dengan
(tiga) 3 tahun dikali puluhan juta sarjana yang telah kita
hasilkan sejak awal tahun 70-an, di mana angka tiga tahun
tersebut adalah berasal dari satu (1) tahun sebagai selisih masa
pendidikan sarjana (4 tahun) dengan  masa pendidikan "bachelor"
(3 tahun), ditambah 2 tahun masa studi magister yang terlebih
dahulu harus diambil sebelum berhak mengambil studi doktoral.

Pernahkah kita semua menyadari bahwa saat ini kita semua telah
mengalami kerugian "kinerja sistem pendidikan tinggi" kita
setara dengan ratusan juta tahun?
Pada masa itu, di saat bersamaan kita juga membiarkan mahasiswa ikut
dalam berbagai praktik politik praktis. Dengan argumen mengkebiri
kehidupan kampus mahasiswa, kita juga telah menentang habis-habisan
konsep Normalisasi Kehidupan Kampus - Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(NKK-BKK) yang sesungguhnya diintroduksikan untuk meningkatkan proses
belajar mahasiswa agar lebih fokus dan berkualitas.

Tanpa mengurangi nilai eksistensi mahasiswa dalam proses
politik berbangsa dan bertanah air selama ini, barangkali saat
ini patut kita berfikir ulang tentang  seberapa besarkah
sesungguhnya kompetensi yang dimiliki para mahasiswa untuk bisa
mengerti serta memaknai berbagai "permainan politik" yang
terjadi.

Dengan berbagai keterbatasan informasi serta pengetahuan dan
sangat minimnya ilmu yang mereka miliki, barangkali tidak salah
jika ada yang berfikiran bahwa selama ini sesungguhnya
mahasiswa kita hanyalah ditunggangi serta dijadikan pion
politik oleh kelompok tertentu.

Begitu pula  dengan apa yang pernah terjadi pada sistem pendidikan
dasar hingga menengah di negara kita ini pada akhir tahun 70-an, di
mana kita "menggeser-geser" awal tahun ajaran dari bulan Juni ke
Januari dan kemudian dikembalikan lagi ke bulan Juni. Tentunya hal
ini juga telah merugikan kinerja sistem pendidikan kita setara dengan
1 tahun dikali puluhan juta siswa SD hingga SMA saat itu.

Kita juga pernah hampir tertipu ketika membiarkan dan ikut
mepromosikan sistem "home schooling" yang dicuatkan beberapa
oknum dan pihak tertentu pada pertengahan tahun 90-an hingga
awal tahun 2000-an.


Degradasi Pranata Sosial

Dinamika degradasi pranata sosial dapat kita tandai dengan kemunculan
berbagai pola pemikiran dan gerakan "kebebasan berdemokrasi" yang
diintroduksikan melalui berbagai bentuk gerakan LSM sejak akhir 80-an
hingga sekarang ini.

Berbagai tata nilai "demokrasi ala barat" telah kita telan
mentah-mentah, bahkan Pancasila pun kita biarkan digugat dan ingin
dihancurkan melalui berbagai cara oleh banyak pihak.

Tentunya masih segar dalam ingatan kita tentang bagaimana saat
itu sekelompok elit agama pun telah berhasil mereka bodohi untuk
terjebak serta ikut-ikutan pula menggugat Pancasila, dan tanpa
disadari bahwa secara halus dan pasti negara kita sesungguhnya
sedang digiring bangsa asing untuk menjadi negara sekuler.

Perjuangan mencari keadilan ekonomi bagi "masyarakat bawah" --
serta penentangan kepemimpinan Pak Harto di zaman Orde Baru --
tanpa kita sadari, telah disusupi gerakan penghancuran
nilai-nilai hakekat berbangsa dan bernegara.

Di satu sisi bangsa lain telah berhasil "mencuci otak" dan
membodohi kita bersama untuk menjadikan Pak Harto sebagai "the
common enemy" (musuh bersama), sementara itu dalam waktu
bersamaan, di sisi lain, para LSM "membangunkan" beribu
kelompok masyarakat adat di Nusantara ini untuk melakukan
"pemberontakan" kecil-kecilan melalui berbagai bentuk gerakan
yang menuntut "pengembalian eksistensi monarkhi kultural"
beserta tanah-tanah ulayatnya.

Melalui "kemajuan" sistem informasi,  masyarakat kita di perkotaan
setiap hari dicekoki dengan tata nilai materialistis dan
individualistis, sedangkan masyarakat di perdesaan, dari pagi hingga
tengah malam, disuguhi dengan tontonan sintetron  yang tidak mendidik
sama sekali.

Jika pun ada televisi swasta yang fokus pada aspek pemberitaan
(news-tv), namun itu pun sering terjebak dalam dinamika pencitraan dan
pembentukan opini sosial untuk kepentingan kelompok tertentu belaka.

Bahkan, di saat masa pilpres kemarin pun salah satu "news-tv"  tersebut
telah menyiarkan wawancara dengan nara sumber asing yang tidak kredibel
dan malah mendiskreditkan salah satu calon pilpres kita.

Perlu kita sadari bahwa hal tersebut adalah bukan hanya
masalah kredibilitas nara sumber "newst-tv" tersebut,
melainkan juga adalah modus baru kelancangan serta penyusupan
bangsa asing dalam perpolitikan bangsa kita secara terbuka
(melalui acara tv-swasta).

Kita patut berfikir mengapa mereka menjadi begitu beraninya?

Degradasi Institusi Negara

Hingga di sini, mari kita bayangkan bagaimana dahsyatnya dampak negatif
berganda dari pendegradasian sistem pendidikan nasional serta
pendegradasian sistem sosial yang sudah dilakukan secara masif serta
sistematis sejak 40 tahun lalu.

Untuk itu, pertama-tama perlu kita sadari bahwa "populasi
terdidik" pada kelas umur 60-70 tahun serta 50-60 tahun saat
ini adalah hasil dari proses pendidikan sejak masa 40 tahun
lalu tersebut, di mana dapat dikatakan bahwa kita yang masuk
dalam kelompok umur populasi tersebutlah  yang menjadi "pemeran
utama" dan "pemeran pembantu" dalam pembangunan yang kita
lakukan dalam 15-20 tahun terakhir ini.

Ketika masyarakat internasional sedang berusaha keras untuk
menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur serta melakukan
pembentukan Uni Eropa, kita malah membiarkan bangsa kita
dipecah belah oleh pemikiran "demokrasi dangkal" yang
disuarakan banyak pihak melalui isu serta eforia penentangan
pada Orde Baru.

Kita melakukan reformasi dengan hanya bermodalkan nafsu
angkara, serta dalam waktu sangat singkat sesudah reformasi
kita pun telah kehilangan  Timor Timur.

Kebutuhan otonomi daerah telah dilahirkan tanpa persiapan
serta dengan cara yang sangat-sangat prematur.
Berbagai UU telah dibuat dengan lebih banyak mendengar pandangan
"antek-antek bangsa asing" yang dengan aman dan nyaman bercokol di
berbagai kantor institusi keuangan internasional  maupun  berbagai
LSM nasional dan internasional di Jakarta.

Bahkan UUD-1945 pun kita biarkan untuk digugat dengan
berbagai konsep amandemen yang sembrono.

Selain aspek konstitusi tersebut, maka masyarakat luas pun
terus kita biarkan diprovokasi oleh berbagai "Internasional
Development Agency" yang membungkus agenda-agenda propaganda
mereka melalui berbagai program bantuan  -- seperti dalam
sektor lingkungan, pariwisata dan berbagai sektor lainnya
dengan "topeng"
pemberdayaan masyarakat  -- yang dikerjasamakan dengan berbagai LSM lokal.

Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai komponen
dari institusi antarbangsa yang ada di Jakarta pun telah
terang-terangan dan tidak punya malu lagi untuk menjadi
"makelar proyek", bahkan jadi "mandor kontraktor"
proyek-proyek bantuan luar negeri maupun dana-dana CSR
(tanggung jawab sosial perusahaan) berbagai perusahaan di
Indonesia.

Di satu sisi tidak boleh kita pungkiri bahwa sedikit
banyaknya berbagai bantuan tersebut memang ada manfaatnya
untuk masyarakat luas. Namun di sisi lain kita juga tidak
boleh mengabaikan berbagai dampak negatif dan ancaman yang
ditimbulkannya.

LSM terus kita biarkan berteriak-teriak menjual isu
kemiskinan, lingkungan dan HAM untuk mengundang banyak pihak
asing masuk ke negeri kita melalui berbagai program donasi,
sedangkan para oknum LSM tersebut  menerima gaji besar dan
dapat hidup senang dari berbagai proyek yang mereka dapatkan.

Cobalah pelajari berbagai "biaya manajemen" dari berbagai
proyek mereka, nilainya jauh lebih besar dari total "biaya
langsung" maupun "biaya belanja modal" yang sesungguhnya
diterima oleh masyarakat penerima manfaat.

Hasil pekerjaan LSM hampir tidak pernah diaudit secara terbuka
oleh lembaga yang kredibel dan independen.

Jika diteliti, efektifitas kinerja mereka sangatlah rendah,
demikian juga dengan tingkat efisiensinya. Kita perlu sadari
bahwa  metoda "by process" yang mereka agung-agungkan
semata-mata adalah suatu tipu daya agar mereka leluasa untuk
memperpanjang proses penyelesaian suatu masalah, sehingga
terus bisa mendapatkan uang.

Mereka menutup kekurangan dan kesalahan mereka dengan cara
selalu mengganti serta mengembangkan isu baru setiap tahun.

Dengan berbagai pola perilaku tersebut mereka bukan saja
telah mengeksploitir isu kemiskinan dan kerusakan
lingkungan, melainkan juga telah "memicu" serta
"mengobarkan" rasa "ketidakpercayaan" serta rasa
"ketidakpatuhan" masyarakat luas kepada pemerintah.

Dinamika selanjutnya adalah masyarakat dikondisikan untuk
"bersuara" dan "menuntut" serta "bergerak", sehingga
kemudian pemerintah dan DPR menjadi terpaksa untuk merasa
perlu membuatkan berbagai peraturan perundang-undangan
sesuai isu yang dihembuskan tersebut.

Sedangkan di tingkat atas, proses pembuatan dan pengesahan
peraturan perundang-undangan tersebut kembali "dikooptasi"
oleh para antek-antek bangsa asing.


Bolu Rambatan Lemah

Berbagai khilaf politik kita di atas telah menjadikan kita ibarat
"Kesrimpet Bebed Kesandhung Gelung" (terjerat bebed tersandung gelung)
sehingga harus tercekik oleh "Bolu Rambatan Lemah" (tanaman bolu
merambat di atas tanah).

Kita telah khilaf berperilaku suka pada yang terlihat indah
dan menyenangkan tanpa menyadari bahaya dan bencana yang ada
sesudahnya, sehingga  serangkaian perkara berbangsa dan
bernegara kita saat ini menjadi saling kait mengait dengan
begitu rumitnya serta menjadi sulit diselesaikan sejalan
dengan persoalannya yang terus berkembang dan meluas.

Kita semua tentu harus selalu tetap menyadari bahwa Tuhan
menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah
untuk bisa saling mengenal serta saling membantu, sehingga
dengan demikian persahabatan dan kerjasama antarbangsa adalah
harus selalu kita tegakan bersama.

Namun demikian, tentunya kita juga harus selalu siaga dan
waspada atas segala nafsu iblis siapa pun juga yang bisa
menghancurkan bangsa,  tanah air dan negara kita.



*)Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat
ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB

Pewarta: Dr. Ir. Ricky Avenzora M.Sc

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014