Hasil dari laporan penelitian Imperial Collage of London, Inggris. Jumlah kasus terkait virus corona baru atau COVID-19 di dunia diprediksi bisa mencapai angka 7 miliar infeksi dan 40 juta kematian pada tahun ini, jika masyarakat tetap tidak melakukan tindakan preventif pencegahan penyebaran virus seperti karantina dan pembatasan sosial. Hasil penelitian ini cukup mengkhawatirkan karena dunia sedang menghadapi darurat kesehatan yang parah dan akut karena pandemi global covid-19 yang berimbas langsung pada sektor ekonomi secara meluas.
Di Indonesia sendiri, hingga Sabtu (28/3/2020), kasus Covid-19 telah mencapai 1.155, dengan 102 meninggal, 59 sembuh. Perbandingan persentase kematian pun meningkat 8,8% dibanding seminggu lalu 8,2 %. Trend yang terus meningkat dalam tiap hari semakin memicu keresahan masyarakat sekaligus tekanan dipelbagai bidang dalam negeri. Mulai dari aktifitas pendidikan, pariwisata, hingga aktifitas peribadatan yang bersifat massal ikut terhambat akibat meluasnya penyebaran covid-19.
Dampak ke sendi-sendi ekonomi dalam negeri pun mulai terasa. Sektor-sektor ekonomi, seperti umkm, bursa saham, otomotif, perbankan, manufaktur hingga penerbangan ikut terganggu. Alhasil kondisi seperti ini bisa memicu resesi ekonomi Indonesia dan akan menambah kepanikan masyarakat bila tidak sesegera mungkin tertangani.
Pada situasi ini, beberapa negara merespon dengan melakukan lockdown atau sekedar membatasi akses keluar masuk ke wilayah guna meminimalisasi penyebaran covid-19. Kebijakan ini memiliki plus minus pada beberapa aspek. Kelebihannya penyebaran virus dapat diminimalisasi, serta kendali pemerintah terhadap hal ini menjadi lebih mudah. Kekurangan kebijakan ini menghambat sektor pariwisata, sektor ritel karena pasokan bahan baku menipis dengan adanya lockdown tersebut. Mungkin resiko ini tidak begitu parah bila sekedar dilakukan pembatasan akses keluar masuk saja, sehingga sektor pasokan bahan masih diperbolehkan keluar masuk pada wilayah tersebut.
Di Indonesia, kebijakan belum mengarah ke lockdown. Pemerintah masih sebatas membatasi aktivitas masyarakat yang berada di luar rumah dan melakukan kebijakan physical distancing. Kebijakan ini turut diikuti dengan kebijakan turunan oleh masing-masing pemimpin daerah dengan mengeluarkan kebijakan WFH (Work From Home).
Namun, bukan berarti peristiwa ini melulu berdampak negatif. Ada beberapa dampak strategis dengan adanya pandemi Covid-19 dan Kebijakan WFH diberlakukan di antaranya; rantai hulu hilir industri e–commerce yang justru meningkat jumlah permintaan dan kapasitas layanan ditengah pandemi Covid-19. Diikuti jasa pengiriman sebagai turunan dari meningkatnya industri e-commerce. Kemudian turunannya lagi adalah Pabrik produksi secondary yang memasok finish goods untuk penjualan e-commerce seperti pabrik packaging dan plastik.
Ada lagi produk-produk yang terkait dengan perlindungan, misalnya perlengkapan imunitas dan perlindungan diri. Belum lagi, jasa layanan higienitas atau sanitasi seperti penyemprotan disinfektan dan hama ikut pula meningkat. Industri obat tradisional juga ikut terdongkrak meningkat permintaannya seiring kesadaran masyarakat terhadap pentingnya daya tahan tubuh agar terhindar dari covid-19.
Dampak strategis lainnya adalah sektor pangan. Dengan keterbatasan akses masyarakat ke luar lingkungan sekitarnya mengakibatkan munculnya lonjakan permintaan akan kebutuhan pokok. Ajakan pemerintah melakukan kegiatan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah mendorong masyarakat untuk melakukan pembelian sembako secara masif sebagai upaya untuk memenuhi ketersediaan waktu mendatang. Dengan begitu, import untuk komoditas pangan berpeluang menjadi ikut meningkat guna menutupi kekurangan stok pangan dari industri lokal. Disamping itu, ketersediaan yang memadai di pasar akan mampu menjaga kestabilan harga sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan dan Syawal dimana permintaan kebutuhan pangan selalu meningkat. (42/*).
*) Penulis adalah, Pasca Sarjana Universitas Gunadharma.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Di Indonesia sendiri, hingga Sabtu (28/3/2020), kasus Covid-19 telah mencapai 1.155, dengan 102 meninggal, 59 sembuh. Perbandingan persentase kematian pun meningkat 8,8% dibanding seminggu lalu 8,2 %. Trend yang terus meningkat dalam tiap hari semakin memicu keresahan masyarakat sekaligus tekanan dipelbagai bidang dalam negeri. Mulai dari aktifitas pendidikan, pariwisata, hingga aktifitas peribadatan yang bersifat massal ikut terhambat akibat meluasnya penyebaran covid-19.
Dampak ke sendi-sendi ekonomi dalam negeri pun mulai terasa. Sektor-sektor ekonomi, seperti umkm, bursa saham, otomotif, perbankan, manufaktur hingga penerbangan ikut terganggu. Alhasil kondisi seperti ini bisa memicu resesi ekonomi Indonesia dan akan menambah kepanikan masyarakat bila tidak sesegera mungkin tertangani.
Pada situasi ini, beberapa negara merespon dengan melakukan lockdown atau sekedar membatasi akses keluar masuk ke wilayah guna meminimalisasi penyebaran covid-19. Kebijakan ini memiliki plus minus pada beberapa aspek. Kelebihannya penyebaran virus dapat diminimalisasi, serta kendali pemerintah terhadap hal ini menjadi lebih mudah. Kekurangan kebijakan ini menghambat sektor pariwisata, sektor ritel karena pasokan bahan baku menipis dengan adanya lockdown tersebut. Mungkin resiko ini tidak begitu parah bila sekedar dilakukan pembatasan akses keluar masuk saja, sehingga sektor pasokan bahan masih diperbolehkan keluar masuk pada wilayah tersebut.
Di Indonesia, kebijakan belum mengarah ke lockdown. Pemerintah masih sebatas membatasi aktivitas masyarakat yang berada di luar rumah dan melakukan kebijakan physical distancing. Kebijakan ini turut diikuti dengan kebijakan turunan oleh masing-masing pemimpin daerah dengan mengeluarkan kebijakan WFH (Work From Home).
Namun, bukan berarti peristiwa ini melulu berdampak negatif. Ada beberapa dampak strategis dengan adanya pandemi Covid-19 dan Kebijakan WFH diberlakukan di antaranya; rantai hulu hilir industri e–commerce yang justru meningkat jumlah permintaan dan kapasitas layanan ditengah pandemi Covid-19. Diikuti jasa pengiriman sebagai turunan dari meningkatnya industri e-commerce. Kemudian turunannya lagi adalah Pabrik produksi secondary yang memasok finish goods untuk penjualan e-commerce seperti pabrik packaging dan plastik.
Ada lagi produk-produk yang terkait dengan perlindungan, misalnya perlengkapan imunitas dan perlindungan diri. Belum lagi, jasa layanan higienitas atau sanitasi seperti penyemprotan disinfektan dan hama ikut pula meningkat. Industri obat tradisional juga ikut terdongkrak meningkat permintaannya seiring kesadaran masyarakat terhadap pentingnya daya tahan tubuh agar terhindar dari covid-19.
Dampak strategis lainnya adalah sektor pangan. Dengan keterbatasan akses masyarakat ke luar lingkungan sekitarnya mengakibatkan munculnya lonjakan permintaan akan kebutuhan pokok. Ajakan pemerintah melakukan kegiatan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah mendorong masyarakat untuk melakukan pembelian sembako secara masif sebagai upaya untuk memenuhi ketersediaan waktu mendatang. Dengan begitu, import untuk komoditas pangan berpeluang menjadi ikut meningkat guna menutupi kekurangan stok pangan dari industri lokal. Disamping itu, ketersediaan yang memadai di pasar akan mampu menjaga kestabilan harga sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan dan Syawal dimana permintaan kebutuhan pangan selalu meningkat. (42/*).
*) Penulis adalah, Pasca Sarjana Universitas Gunadharma.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020