Perupa Abdi Setiawan, yang karib disapa Set ini bakal menggelar Pameran Tunggal di Semarang Gallery, Jalan Taman Sri Gunting No. 5-6 Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Pameran yang digelar dari 16 November 2019-15 Desember 2019 itu mengusung bertajuk: "Set and His People" dikuratori oleh Wahyudin ini menaja 30 karya seni rupa (26 patung kayu dan 4 lukisan akrilik) karya Abdi Setiawan bertitimangsa dari 2010-2019.
Perupa kelahiran 29 Desember 1971, Sicincin, Pariaman, Sumatra Barat ini menyodorkan mater iperupaannya berupa: objek manusia dewasa, anak-anak, manusia-hewan, dan boneka dengan berbagai pose, gaya, penampilan, dan fesyen.
Berdasar karya-karyanya yang konsisten dengan objeknya itu yang digelutinya sejak 2004 -Set- dikenal sebagai Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia.
Menurut kurator Wahyudin, Set dalam praktik artistiknya boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film—yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung.
Dalam 6 pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang, sebagaimana sudah saya singgung di atas.
Wahyudin menambahkan, Itulah yang memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, amalan artistik-melukis patung Gregorius Sidharta (1932-2006) dan Amrus Natalsya (1933), sehingga menjadikannya semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia alih-alih membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal (1924-2000).
"Tapi ini kali, dalam pameran di Galeri Semarang ini, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara. Di sini, ia bertindak sebagai semacam juru-foto yang "menangkap" patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka," papar Wahyudin.
Dalam pameran tunggal ini selain menaja karya-karya patung terbarunya antara lain; To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.
Set juga mengalih-wahana patung-patung protagonis Malacca's Boys—Aktor, Hero, dan Sang Kapten—kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan.
Baca juga: Pelajar Lampung Tampil Di Pekan Budaya Nasional 2019
Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokohkartun Jepang dan Barat.
Keempat lukisan itu bertitimangsa 2019.
Dalam hal itu, lanjut Wahyudin, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.
Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran "model penggambaran" patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia-dewasa dan kanak-kanak—dan sedikit manusia-binatang-boneka-binatang, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini tandas Wahyudin. (RLs/ANT-BPJ).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Pameran yang digelar dari 16 November 2019-15 Desember 2019 itu mengusung bertajuk: "Set and His People" dikuratori oleh Wahyudin ini menaja 30 karya seni rupa (26 patung kayu dan 4 lukisan akrilik) karya Abdi Setiawan bertitimangsa dari 2010-2019.
Perupa kelahiran 29 Desember 1971, Sicincin, Pariaman, Sumatra Barat ini menyodorkan mater iperupaannya berupa: objek manusia dewasa, anak-anak, manusia-hewan, dan boneka dengan berbagai pose, gaya, penampilan, dan fesyen.
Berdasar karya-karyanya yang konsisten dengan objeknya itu yang digelutinya sejak 2004 -Set- dikenal sebagai Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia.
Menurut kurator Wahyudin, Set dalam praktik artistiknya boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film—yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung.
Dalam 6 pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang, sebagaimana sudah saya singgung di atas.
Wahyudin menambahkan, Itulah yang memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, amalan artistik-melukis patung Gregorius Sidharta (1932-2006) dan Amrus Natalsya (1933), sehingga menjadikannya semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia alih-alih membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal (1924-2000).
"Tapi ini kali, dalam pameran di Galeri Semarang ini, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara. Di sini, ia bertindak sebagai semacam juru-foto yang "menangkap" patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka," papar Wahyudin.
Dalam pameran tunggal ini selain menaja karya-karya patung terbarunya antara lain; To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.
Set juga mengalih-wahana patung-patung protagonis Malacca's Boys—Aktor, Hero, dan Sang Kapten—kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan.
Baca juga: Pelajar Lampung Tampil Di Pekan Budaya Nasional 2019
Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokohkartun Jepang dan Barat.
Keempat lukisan itu bertitimangsa 2019.
Dalam hal itu, lanjut Wahyudin, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.
Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran "model penggambaran" patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia-dewasa dan kanak-kanak—dan sedikit manusia-binatang-boneka-binatang, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini tandas Wahyudin. (RLs/ANT-BPJ).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019