Susu sapi merupakan salah satu bahan pangan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia baik dalam bentuk segar atau sudah dalam kemasan. Susu sapi digolongkan sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) apabila terlalu lama terpapar pada lingkungan yang tidak terkontrol serta tidak segera ditangani dengan tepat.

Kerusakan pada produk susu umunya disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri. Adanya bakteri dalam jumlah tertentu pada produk susu juga dapat menjadi indikator yang menunjukkan telah terjadinya kontaminasi kotoran dan sanitasi yang tidak baik.

Bakteri pencemar dalam susu sapi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bakteri pembusuk dan bakteri pathogen. Bakteri pembusuk dapat menyebabkan makanan menjadi busuk, merusak rasa, warna atau bau seperti Pseudomonas sp. dan Bacillus sp.

Menurut Suwito (2010) bakteri pembusuk dapat menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim lipase sehingga susu sapi menjadi asam dan berlendir.

Bakteri patogen yaitu jenis bakteri yang dapat menyebabkan penyakit dan bisa mematikan pada dosis tertentu. Bakteri patogen yang sering mencemari susu sapi salah satunya adalah Salmonela sp. dan E. coli. Salmonella sp. dapat menimbulkan infeksi bersifat invasif dengan cara menembus sel-sel epitel usus dan merangsang terbentuknya sel-sel radang sedangkan E. coli termasuk bakteri berbahaya karena dapat menyebabkan diare.

Berdasarkan regulasi di Indonesia SNI 01-6366-2000 keberadaan bakteri E. coli dan Salmonella sp. pada susu sapi harus negatif.

Pasteurisasi merupakan salah satu tindakan dilakukan untuk mematikan bakteri patogen. Pasteurisasi umumnya dilakukan dengan memanaskan susu sapi pada suhu 72ºC selama 15 detik.

Pasteurisasi tidak mengubah komposisi susu sapi sehingga komposisinya masih setara susu yang masih segar. Namun, melalui pasteurisasi, bakteri pembusuk yang berspora masih tahan hidup sehingga susu pasteurisasi hanya memiliki masa kedaluwarsa sekitar satu minggu.

Penyimpanan susu sapi pasteurisasi harus dilakukan disuhu dingin sampai ketangan konsumen. Hal ini dikarenakan susu sapi masih mengandung bakteri pembusuk yang akan berkembang pada suhu ruang. Oleh karena itu, susu sapi pasteurisasi harus disimpan pada kondisi dingin untuk menekan pertumbuhan bakteri pembusuk sehingga umur simpan susu sapi dapat menjadi lebih panjang.

Refrigerasi merupakan proses rekayasa pendinginan untuk mentransfer panas dari bahan pangan sehingga suhunya menjadi lebih rendah dengan memanfaatkan refrigerant. Refrigerant adalah semacam media yang dapat berubah fase dari liquid menjadi gas dan sebaliknya dengan adanya transfer panas pada sistem refrigerasi. Salah satu jenis refrigerant adalah ammonia yang memiliki titik didih jauh lebih rendah dari titik didih air yaitu -33ºC pada kondisi tekanan normal.

                     

Gambar 1. Ilustrasi sistem refrigerasi (Haryadi dan Wulandari 2019)

Sistem refrigerasi terdiri dari 4 bagian utama yaitu evaporator, kompresor, kondensor dan katup ekspansi. Produk susu sapi umumnya  memiliki suhu yang relatif tinggi.  

Pada bagian evaporator, kalor pada susu sapi diserap oleh refrigerant untuk berubah fase dari cair menjadi gas. Semakin banyak kalor yang diserap maka produk susu sapi akan cepat menjadi dingin sesuai dengan target suhu yang diinginkan. Bagian kompresor bertanggung jawab untuk menaikan tekanan sehingga suhu kondensasi refrigerant menjadi tinggi.

Setelah itu pada bagian kondensor terjadi pelepasan kalor dari refrigerant ke bagian luar sistem refrigerasi dan terjadi perubahan fase gas menjadi cair kembali. Refrigerant cair kemudian menuju ke katup ekspansi yang berfungsi sebagai penurun tekanan dan pengatur laju alir refrigerant kembali kebagian evaporator. Sistem ini terus berlajut sampai didapat suhu susu sapi turun dan sudah mencapai suhu target yang diinginkan.

Setiap bahan pangan termasuk susu sapi memiliki energy panas yang harus diserap oleh system refrigerasi. Berikut ini adalah cara menghitung jumlah panas yang harus  dipindahkan dari produk susu sapi:
 

Q = mCp ΔT

Keterangan:
Q     = jumlah panas yang ada pada susu sapi (joule atau BTU)
m     = massa susu sapi (kg)
Cp     = panas spesifik susu sapi (joule/kgºC)
Δ T     = perbedaan suhu susu sapi dengan suhu yang ditargetkan (ºC)

Kerja sistem refrigerasi juga dapat diukur dengan menentukan jenis refrigerant yang akan digunakan. Setiap refrigerant memiliki spesifisitas yang berbeda-beda misalnya jenis Freon 12 memiliki suhu evaporasi -34.4ºC pada tekanan 12,3 psia dengan suhu kondensasi 37.8ºC pada tekanan 133 psia.  

Melaui grafik hubungan antara tekanan (psia) dengan entalpi (BTU/lb) dapat ditentukan nilai entalpi setelah evaporasi yaitu 74 BTU/lb (H2) dan entalpi setelah kondensasi 32 BTU/lb (H1). Dengan demikian kapasitas sistem refrigerasi dapat diukur menggunakan perhitungan sebagai berikut:
 

Kapasitas refrigerasi = H2-H1

Keterangan:
H1    = entalpi sebelum evaporasi (BTU/lb)
H2     = entalpi setelah evaporasi (BTU/lb)

Melalui rumus tersebut dapat diketahui sistem refrigerasi yang menggunakan refrigerant Freon 12 dengan suhu evaporasi -34.4ºC dan suhu kondensasi 37.8ºC memiliki kapasitas refrigerasi sebesar = 74 BTU/lb – 32 BTU/lb = 42 BTU/lb atau setara dengan 98000 J/kg refrigerant.

Pengaplikasian pendinginan dengan sistem refrigerasi pada bahan pangan umumnya memiliki suhu target berkisar antara -2ºC sampai 16ºC.  

Di Indonesia rata rata masa simpan susu pasteurisasi adalah 5-7 hari. Samosir (2003) juga menyatakan bahwa susu sapi pasteurisasi disimpan pada suhu penyimpanan 9ºC atau lebih mempunyai daya simpan hanya sekitar 5 hari.

Berdasarkan penelitian Kristanti (2017) susu sapi pasteurisasi yang disimpan pada suhu dingin 4ºC ± 1ºC masih stabil sampai pada hari ke-15 dan tidak mengalami kerusakan.

Hal ini menunjukan bahwa pendinginan dengan sistem refrigerasi sangat membantu dalam memperpanjang umur simpan susu sapi yang secara langsung dapat berdampak pada ketersediaan pangan di Indonesia.

Pewarta: Adriyanus Ivan Pratama

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019