Sejumlah keluarga dan ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada Oktober 2018 menuntut kepastian pembayaran ganti rugi dari maskapai dan produsen pesawat bersangkutan.
"Sejujurnya kami bingung, frustasi dan kecewa dengan situasi ini. Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggung jawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang," ujar Merdian Agustin, keluarga dari korban Eka Suganda, kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Merdian berharap permintaan maaf dari CEO Boeing Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia pada 4 April lalu, dapat menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi baik dari pihak maskapai maupun produsen.
"Pernyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 MAX 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera, berarti maskapai merampas hak ahli waris korban," tutur Merdian.
Masalah ini mengemuka karena banyak keluarga korban yang belum menerima ganti rugi. Pihak keluarga korban dipaksa untuk menandatangani "Release and Discharge" (R&D), di mana dokumen ini mewajibkan keluarga dan ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu. R&D harus ditandatangani sebelum ganti rugi bisa diberikan kepada pihak keluarga.
Padahal Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan.
"Keluarga korban layak untuk mendapatkan ganti rugi dari semua pihak yang bertanggung jawab. Bagi keluarga yang sudah telanjur menandatangani R&D, tim kami siap mewakili. Bagi yang belum, kami menganjurkan untuk tidak menandatangani," ujar Harry Ponto dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto yang menjadi kuasa hukum sejumlah keluarga korban Lion Air JT 610.
Harry juga menambahkan bahwa tim Kabateck dan Kailimang Ponto akan memperjuangkan hak-hak keluarga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban Lion Air JT 610, Kantor Advokat Kailimang & Ponto bergabung bersama kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company dengan salah satu anggota kelompok itu yakni Kabateck LLP dari Los Angeles, Amerika Serikat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
"Sejujurnya kami bingung, frustasi dan kecewa dengan situasi ini. Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggung jawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang," ujar Merdian Agustin, keluarga dari korban Eka Suganda, kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Merdian berharap permintaan maaf dari CEO Boeing Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia pada 4 April lalu, dapat menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi baik dari pihak maskapai maupun produsen.
"Pernyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 MAX 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera, berarti maskapai merampas hak ahli waris korban," tutur Merdian.
Masalah ini mengemuka karena banyak keluarga korban yang belum menerima ganti rugi. Pihak keluarga korban dipaksa untuk menandatangani "Release and Discharge" (R&D), di mana dokumen ini mewajibkan keluarga dan ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu. R&D harus ditandatangani sebelum ganti rugi bisa diberikan kepada pihak keluarga.
Padahal Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyebutkan, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris menuntut ke pengadilan.
"Keluarga korban layak untuk mendapatkan ganti rugi dari semua pihak yang bertanggung jawab. Bagi keluarga yang sudah telanjur menandatangani R&D, tim kami siap mewakili. Bagi yang belum, kami menganjurkan untuk tidak menandatangani," ujar Harry Ponto dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto yang menjadi kuasa hukum sejumlah keluarga korban Lion Air JT 610.
Harry juga menambahkan bahwa tim Kabateck dan Kailimang Ponto akan memperjuangkan hak-hak keluarga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Untuk memperjuangkan hak-hak keluarga korban Lion Air JT 610, Kantor Advokat Kailimang & Ponto bergabung bersama kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company dengan salah satu anggota kelompok itu yakni Kabateck LLP dari Los Angeles, Amerika Serikat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019