Organisasi nirlaba global Marine Stewardship Council (MSC) menyatakan perubahan iklim meningkatkan risiko konflik pengelolaan tuna karena pergeseran stok yang terjadi di berbagai wilayah dunia membuat kuota tangkap antarnegara tidak lagi relevan.
Temuan itu disampaikan MSC melalui penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Cell Reports Sustainability, yang menganalisis lebih dari 500 perikanan bersertifikasi berkelanjutan di sejumlah negara. Studi tersebut menilai dampak perubahan suhu laut terhadap distribusi tuna dan spesies lain.
Data Science Manager MSC sekaligus penulis utama laporan, Lauren Koerner dalam keterangannya mengatakan perubahan ruaya (wilayah pergerakan ikan untuk tumbuh dan berkembang biak) menggeser dasar penetapan kuota tradisional.
“Ikan bergeser ke lokasi baru sehingga aturan kuota yang ada tidak lagi mencerminkan kondisi stok,” ujarnya.
Baca juga: Membaca gen laut untuk jaga aset ekonomi biru Indonesia
Baca juga: KKP-MSC bahas pengelolaan perikanan lemuru Selat Bali di Bogor
MSC menjelaskan perubahan ruaya terjadi karena kenaikan suhu laut mendorong tuna berpindah ke perairan lebih sejuk, sehingga negara yang sebelumnya menguasai stok harus menyesuaikan kuota dan pola pengelolaan. Kondisi ini meningkatkan potensi sengketa lintas batas jika tidak ada pengaturan bersama.
Penelitian itu menempatkan tuna, cakalang, dan ikan berparuh pada kelompok risiko tertinggi karena sensitif terhadap perubahan dinamika ekosistem laut. Pergeseran distribusi tuna, menurut MSC, mulai terlihat jelas di Atlantik dan Pasifik.
Tuna sirip biru Atlantik, misalnya, kembali muncul di sekitar Inggris setelah menghilang selama beberapa dekade. Di Samudra Pasifik, tren pergerakan tuna ke arah timur mulai menimbulkan tantangan baru bagi negara pengelola di kawasan barat.
Ketika perpindahan stok melintasi yurisdiksi atau memasuki laut lepas, negara-negara menghadapi perbedaan regulasi dan kesenjangan kepentingan. Jika tidak dikoordinasikan, situasi ini dapat memicu perselisihan kuota dan memperbesar risiko penangkapan berlebih.
Baca juga: MSC ajak nelayan Indonesia praktik perikanan berkelanjutan
Sementara itu, perikanan invertebrata seperti bivalvia, kepiting, dan udang dinilai memiliki risiko lebih rendah karena spesies tersebut tidak beruaya. Namun para ilmuwan mengingatkan kelompok ini tetap rentan terhadap pengasaman laut dan gelombang panas.
Penelitian yang didukung Tuna Project dari Common Oceans Programme pimpinan FAO tersebut merekomendasikan penerapan alokasi adaptif, yakni penyesuaian kuota mengikuti perubahan persebaran ikan, serta penguatan kerja sama internasional untuk mencegah konflik dan degradasi stok.
MSC menyampaikan bahwa analisis ini hanya mencakup perikanan bersertifikasi sehingga perikanan non-sertifikasi kemungkinan lebih rentan karena umumnya memiliki sistem pengelolaan yang belum sekuat standar keberlanjutan MSC.
Project Manager Common Oceans Tuna Project, Joe Zelasney, menambahkan negara kepulauan kecil yang bergantung pada tuna dapat mengalami dampak ekonomi paling signifikan.
“Koordinasi lima organisasi pengelola regional sangat penting untuk menjaga mata pencaharian,” katanya.
Editor : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025