Kamis pagi pekan kedua Oktober 2025, suara riuh menggema di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 9 Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berada di Pulau Penyengat, sebuah pulau mungil dan bersejarah yang terletak di seberang pusat ibukota tersebut.

Di sudut lapangan sekolah itu, puluhan siswa berseragam olahraga sibuk bermain gasing, permainan tradisional yang diakui sebagai salah satu warisan budaya Melayu, khususnya di Tanjungpinang.

Permainan gasing menjadi kegiatan rutin sekolah setiap hari Kamis, yang terintegrasi dengan jadwal pelajaran budaya Melayu dan olahraga tradisional. Antusiasme siswa bermain gasing pun sangat tinggi, terutama karena permainan ini dekat dengan kehidupan masyarakat Pulau Penyengat.

Sekolah yang dikenal sebagai Program Sekolah Penggerak (PSP) nasional sejak 2023 itu menggalakkan permainan gasing guna menanamkan kebanggaan terhadap warisan budaya lokal kepada para siswa.

Melalui permainan tradisional, anak-anak bisa bersosialisasi langsung, bergerak aktif, dan belajar nilai-nilai kebersamaan yang tidak mereka dapatkan dari layar gawai. Selain melestarikan budaya, kegiatan ini termasuk salah satu strategi agar mereka tidak tenggelam dalam dunia digital yang pasif.

Hal ini sejalan dengan program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) yang mengajak dunia pendidikan, orangtua, dan anak-anak kembali menghidupkan permainan tradisional sebagai alternatif hiburan yang sehat dan sarat nilai budaya.

Dengan mengulik kembali permainan tradisional, anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini diharapkan tidak terus-menerus terpaku pada telepon seluler atau ponsel.

 

Produksi konten budaya digital

Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mendekatkan budaya lokal kepada generasi muda agar tak tergerus zaman seiring derasnya arus digitalisasi.

Pemerintah Provinsi Kepri melalui Dinas Pariwisata menggandeng Nongsa Digital Park (NDP) Batam menggarap pembuatan film animasi bertema “Gurindam Dua Belas”, yang diangkat dari karya sastrawan legendaris Raja Ali Haji.

Gurindam 12 Belas dikenal sebagai karya yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran Islam dan kearifan lokal Melayu, khususnya di Tanjungpinang.

Ide pembuatan film animasi ini berangkat dari arahan Gubernur Kepri Ansar Ahmad yang menginginkan tokoh Raja Ali Haji dihadirkan dalam bentuk animasi edukatif, sehingga anak-anak makin tertarik mengenal sosok Pahlawan Nasional Bahasa Indonesia itu dengan nilai-nilai luhur yang diwariskannya.

Dengan adanya film animasi itu anak-anak bisa mengakses konten digital yang tak hanya menghibur, tapi sarat dengan pesan-pesan kehidupan sosial, budaya, agama, moral, dan pendidikan karakter.

Kepala Dinas Pariwisata Kepri Hasan mengatakan film itu dibuat dalam bentuk animasi 2D dan 3D, berdurasi dua menit. Saat ini, film animasi pendek tersebut dalam tahap pembuatan dan ditargetkan rampung November 2025.

Kelak, konten itu akan disebar luaskan kepada seluruh kalangan masyarakat terutama generasi muda Kepri. Tujuannya melindungi anak-anak dari paparan konten digital negatif sekaligus melestarikan warisan budaya lokal melalui panggung digital.

 

Anak dalam pusaran negatif digital

Pengaruh dunia digital bak dua sisi mata pisau. Satu sisi bisa digunakan menambah kreativitas dan pengetahuan anak, dan sisi lain bisa berdampak buruk terhadap tumbuh kembang anak apabila tanpa pengawasan ketat.

Data BPS 2024 menunjukkan 35,57 persen anak usia dini (0-6 tahun) sudah mengakses internet. Sedangkan data Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) 2025 menyatakan 9,17 persen pengguna internet berusia 12 tahun ke bawah, dan 48 persen pengguna berusia di bawah 18 tahun. Untuk anak-anak usia 13-18 tahun, akses internet mencapai 16,68 persen.

Kondisi itu menandakan bahwa dunia digital tak bisa dipisahkan dari anak-anak zaman sekarang. Ironinya, sebagian anak harus terjebak dalam pusaran negatif dunia digital, mulai dari risiko gangguan kesehatan, susah tidur, kurang pergaulan serta terpapar konten negatif hingga memicu mereka menjadi pelaku atau korban kejahatan daring.

Data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Tanjungpinang, ada puluhan kasus anak yang ditangani sepanjang tahun 2025 dipicu dari penggunaan gawai atau telefon seluler.

Berawal dari bermain gawai, sejumlah anak usia sekolah tercatat menjadi korban kekerasan seksual, karena menjalin komunikasi lewat dunia maya dengan orang yang salah.

Selain itu, kasus yang sekarang sedang berkembang ialah modus Child Grooming, berupa pemerasan yang dilakukan oknum tertentu dengan modus mengambil foto korban anak bawah umur, lalu diedit menggunakan Artificial Inteligence (AI) dan dibuat mirip dengan pemeran film pornografi.

Tak hanya itu, banyak juga anak-anak mengalami pengancaman melalui digital, serta penipuan daring. Beberapa kasus anak itu sampai harus dibawa ke meja hukum dan sebagian diselesaikan melalui jalur mediasi.

Bahkan di beberapa daerah lainnya di Kepri, seperti di Kabupaten Anambas, pernah terjadi anak SMP (16 tahun) menyebarkan video porno melalui platform sosial media. Video itu diperolehnya dari grup sosial media khusus konten pornografi. Kasus ini sempat menggemparkan publik sampai dilakukan pembinaan oleh pihak berwenang terhadap anak tersebut.

Kemudian di Batam, seorang remaja puteri (16 tahun) putus sekolah menjadi mucikari atau menawarkan pekerja seks komersial (PSK) secara online. Kasus ini lantas ditangani polisi dan berujung vonis penjara 10 bulan terhadap remaja tersebut.

Kasus-kasus anak itu menjadi alarm bagaimana pengaruh buruk digital dapat merusak masa depan generasi bangsa. Penggunaan media digital perlu dikontrol semua pihak terkait, mulai dari orangtua, sekolah, hingga pemerintah.

Fasilitator Forum Anak Tanjungpinang Muhammad Aidil memberikan kiat-kiat melindungi anak dari dampak negatif digitalisasi.

Pertama, dari sisi orangtua, diperlukan pendampingan aktif terhadap anak saat menggunakan gawai dan mengajak berdiskusi tentang apa yang mereka lihat atau mainkan.

Orangtua memberikan pendidikan literasi digital dengan mengajarkan anak cara menggunakan internet dengan bijak, termasuk mengenali hoaks, konten berbahaya, atau penipuan daring.

Orang tua pun perlu melakukan pengaturan pembatasan usia pada gadget melalui fitur kontrol orangtua atau Parental Control yang bisa diakses di aplikasi Playstore Android, serta penggunaan Youtube Kids.

Kedua, dari sisi sekolah disarankan memperbanyak kurikulum terkait dunia digital, mengampanyekan bahaya digital terhadap anak di lingkungan sekolah, serta pembiasaan positif lewat kegiatan yang berorientasi pada minat dan bakat siswa, misalnya di bidang seni dan budaya lokal.

Ketiga, dari sisi peran pemerintah yakni
memperkuat regulasi terkait pengawasan pemerintah dan pemblokiran situs-situs negatif, lalu memperkuat kerja sama antar instansi, organisasi dan LSM hingga tingkat RT/RW dalam pencegahan bahaya digitalisasi.

Muhammad Aidil pun menyarankan teknologi digital bisa diarahkan untuk  mengembangkan minat dan bakat secara positif, misalnya menjadi konten kreator atau wirausaha digital.

 

Langkah tegas pemerintah

Pemerintah Pusat melalui Kemkomdigi RI, akhirnya mengambil langkah tegas guna menjamin perlindungan anak di ruang digital, menyusul tren kasus anak terdampak negatif dunia digital terus berkembang dari tahun ke tahun.

Pemerintah secara resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Seluruh platform digital pun diwajibkan untuk mencegah anak dari paparan konten berbahaya.

Selain itu, ruang digital tidak boleh mendominasi seluruh kehidupan anak. Mereka pun tetap harus bersentuhan dengan budaya dan pengalaman nyata. Permainan tradisional misalnya, bisa menjadi ruang belajar bagi generasi muda agar dekat dengan akar budaya bangsa.

Penguatan budaya selaras dengan tugas Kemkomdigi yang tidak hanya mengatur tata kelola ruang siber, tetapi juga memastikan bahwa ruang komunikasi dan informasi menjadi medium bagi penyebaran nilai-nilai budaya bangsa.

Pemberlakuan PP Tunas tersebut disambut baik oleh semua kalangan terutama stakeholder anak, karena selama ini pengawasan terhadap anak di ruang digital secara umum masih lemah dari segi regulasi.

Pemerhati Anak Kepri Ery Syahrial berharap kehadiran PP Tunas itu betul-betul mampu melindungi anak dari segala bentuk kejahatan dunia digital yang terus berkembang, karena ruang digital kerap dimanfaatkan untuk menyasar anak sebagai korban kekerasan seksual hingga perdagangan.

Dengan adanya PP itu, tentu ruang gerak pelaku kejahatan anak di media digital bisa diminimalisasi bahkan ditindak lanjuti oleh semua pihak terkait.

Selama ini kasus-kasus kejahatan anak melalui ruang digital hanya bisa ditangani Polri melalui Direktorat Tindak Pidana Siber. Melalui PP Tunas, semua stakeholder diharapkan ikut terlibat menindak lanjuti ketika ada kasus kejahatan anak di ruang digital.

Mantan Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) itu pun mendorong pemerintah mencegah anak dalam hal mencari konten-konten digital berbau negatif, seperti judi online, kekerasan maupun pornografi.

Pengawasan orangtua pada gawai juga harus bisa diterapkan secara maksimal, sehingga anak tak bisa mengakses konten sembarangan. Sebagai contoh di negara China, pemerintahnya membatasi ketat anak di bawah usia 18 tahun tidak bebas mengakses internet.

Selain itu, diperlukan pula regulasi pembatasan pembuatan akun media sosial bagi anak-anak dengan pertimbangan faktor usia dan tingkat risiko digitalisasi.

Sosialisasi masif terhadap para orangtua tentang PP Tunas harus segera dilakukan agar mereka mengetahui regulasi itu dan melaksanakannya seusai harapan pemerintah. PP itu menjadi acuan bagaimana orangtua bersikap terhadap anak dalam konteks digitalisasi.

Bila perlu, ada aturan khusus yang memudahkan orangtua dalam hal membuat pelaporan konten berbahaya yang diakses anak di ruang digital, sehingga konten itu bisa segera di-takedown.

Keterlibatan dan peran orangtua perlu ditingkatkan lagi dalam mewujudkan ruang digital aman dan ramah bagi anak. PP Tunas pun mengakomodasi hal itu, karena tidak semua aktivitas ruang digital anak bisa diawasi pemerintah, tapi perlu melibatkan orangtua.

Tujuan akhirnya jelas, anak Indonesia tumbuh aman di dunia digital, sehat secara jasmani, dan kuat dalam identitas budaya menuju Indonesia Emas 2045.

Pewarta: Ogen

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025