Bogor (Antaranews Megapolitan) - Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr.Ir. Agus Purwito memaparkan metode baru dalam pemuliaan tanaman. Menurutnya saat ini diperlukan teknologi pembibitan yang menghasilkan bibit tanaman dengan cepat dan massal pada tanaman hortikultura.
Pemuliaan konvensional itu artinya mendapatkan bibit unggul dengan penyilangan. Proses penyilangan ini ada banyak sekali keterbatasan seperti sifat gen unggul yang tidak ada pada tanaman atau tidak bisa disilangkan karena jauh keragamannya. Selain itu, proses untuk menghasilkan bibit unggulnya juga lama. Hal ini disampaikannya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (2/8).
“Padahal tantangan pertanian kita sangat berat dengan adanya pertumbuhan penduduk, lahan yang menyempit, serangan penyakit (karena kita di iklim tropis dan kelembaban udara itu cocok untuk tanaman dan mikroorganisme) sehingga kita butuh varietas baru. Selain itu, ada pula tuntutan kelas menengah terkait dengan produk yang bermutu semakin meningkat. Oleh karena itu, kami mengembangkan beberapa metode non konvensional untuk menyediakan bibit bermutu dan perakitan varietas baru,” ujarnya.
Dikatakannya, metode non konvensional ini bisa menghasilkan tanaman yang seragam (mirip dengan induknya), menghasilkan bibit dengan jumlah yang banyak dalam waktu singkat dan bibit dengan produktivitas yang tinggi.
“Penggunaan bibit kultur jaringan in vitro sangat penting. Sebagai contoh selama ini Indonesia selalu impor bibit kentang mini. Pada tahun 1981, kami mulai menghasilkan bibit umbi mini dari kultur jaringan yang saat ini sudah memasyarakat di Indonesia. Dari kultur jaringan distek dan dikarantina. Hasilnya adalah umbi mini G0. Ini yang kemudian kami berikan ke petani. Kami juga sedang memperkenalkan metode embrio somatik dimana satu sel bisa jadi satu tanaman. Jika punya jutaan sel, potensinya seluruh sel itu bisa jadi tanaman semua. Ini bisa kita buat bioreaktor sehingga berapapun bibit yang kita butuhkan menjadi tidak masalah,” ujarnya.
Menurutnya dengan menggunakan teknik in vitro, media tumbuh dapat menjadi agen seleksi. Misalnya dengan menambahkan zat kimia PEG untuk ketahanan terhadap kekeringan (untuk mencari bibit yang tahan kekeringan), meningkatkan konsentrasi garam untuk seleksi terhadap salinitas, atau meningkatkan konsentrasi aluminium untuk ketahanan terhadap kemasaman tanah, atau dengan menginokulasikan isolat bakteri untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit sehingga menghasilkan varietas unggul.
Dalam upaya menghasilkan varietas baru, pemulia bisa menggunakan metode mutagenesis in vitro. Metode ini menjadi salah satu alternatif untuk mendapatkan keragaman dan alternatif untuk meng –on/off-kan gen sehingga dapat mengekspresikan gen sesuai dengan yang diinginkan.
Varietas unggul juga dihasilkan dari kombinasi metode konvensional dan metode non konvensional. Yakni metode SSICD (Single Seed Invitro Clonal Descent). Dua tetua tanaman kentang disilangkan, kemudian biji yang dihasilkan dikecambahkan secara in vitro. Setiap biji yang berkecambah diperbanyak juga dengan cara invitro menjadi satu klon. Ratusan klon yang dihasilkan dapat diseleksi secara invitro untuk mendapatkan klon yang vigor, berproduksi tinggi dan tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
“Pada tahap akhir, klon yang terseleksi ditanam di lahan untuk dikonfirmasi hasilnya. Dan metode SSICD ini telah menghasilkan kultivar kentang unggul yakni kentang DEA, kentang katineng, kentang kagawa dan kentang gotik (garut otentik),” terangnya.
Cara lainnya adalah dengan fusi protoplas. Ini adalah metode yang mengintroduksikan gen yang berasal dari tanaman yang memiliki kekerabatan jauh. Fusi protoplas juga bisa digunakan untuk menghasilkan tanaman yang menghasilkan buah tanpa biji. Yakni dengan memfusikan protoplas dari jaringan somatik tanaman dengan protoplas serbuk sari sehingga menghasilkan tanaman triploid yang menghasilkan buah tanpa biji. Tanaman dengan buah tanpa biji dapat dihasilkan dari kultur endosperma.
“Kami telah berhasil memperoleh jeruk tanpa biji dan penampilan warna yang disukai konsumen dengan memfusikan jeruk siam simadu dengan jeruk mandarin satsuma. Dihasilkan 24 hibrida somatik yang masing-masing memiliki karakter yang unik dan tanpa biji. Jeruk hasil fusi ini telah diuji adaptasinya di Malang, Banyuwangi, Cianjur, Garut dan Brastagi,” tandas guru besar yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Sumberdaya, Perencanaan dan Keuangan IPB ini. (zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Pemuliaan konvensional itu artinya mendapatkan bibit unggul dengan penyilangan. Proses penyilangan ini ada banyak sekali keterbatasan seperti sifat gen unggul yang tidak ada pada tanaman atau tidak bisa disilangkan karena jauh keragamannya. Selain itu, proses untuk menghasilkan bibit unggulnya juga lama. Hal ini disampaikannya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (2/8).
“Padahal tantangan pertanian kita sangat berat dengan adanya pertumbuhan penduduk, lahan yang menyempit, serangan penyakit (karena kita di iklim tropis dan kelembaban udara itu cocok untuk tanaman dan mikroorganisme) sehingga kita butuh varietas baru. Selain itu, ada pula tuntutan kelas menengah terkait dengan produk yang bermutu semakin meningkat. Oleh karena itu, kami mengembangkan beberapa metode non konvensional untuk menyediakan bibit bermutu dan perakitan varietas baru,” ujarnya.
Dikatakannya, metode non konvensional ini bisa menghasilkan tanaman yang seragam (mirip dengan induknya), menghasilkan bibit dengan jumlah yang banyak dalam waktu singkat dan bibit dengan produktivitas yang tinggi.
“Penggunaan bibit kultur jaringan in vitro sangat penting. Sebagai contoh selama ini Indonesia selalu impor bibit kentang mini. Pada tahun 1981, kami mulai menghasilkan bibit umbi mini dari kultur jaringan yang saat ini sudah memasyarakat di Indonesia. Dari kultur jaringan distek dan dikarantina. Hasilnya adalah umbi mini G0. Ini yang kemudian kami berikan ke petani. Kami juga sedang memperkenalkan metode embrio somatik dimana satu sel bisa jadi satu tanaman. Jika punya jutaan sel, potensinya seluruh sel itu bisa jadi tanaman semua. Ini bisa kita buat bioreaktor sehingga berapapun bibit yang kita butuhkan menjadi tidak masalah,” ujarnya.
Menurutnya dengan menggunakan teknik in vitro, media tumbuh dapat menjadi agen seleksi. Misalnya dengan menambahkan zat kimia PEG untuk ketahanan terhadap kekeringan (untuk mencari bibit yang tahan kekeringan), meningkatkan konsentrasi garam untuk seleksi terhadap salinitas, atau meningkatkan konsentrasi aluminium untuk ketahanan terhadap kemasaman tanah, atau dengan menginokulasikan isolat bakteri untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit sehingga menghasilkan varietas unggul.
Dalam upaya menghasilkan varietas baru, pemulia bisa menggunakan metode mutagenesis in vitro. Metode ini menjadi salah satu alternatif untuk mendapatkan keragaman dan alternatif untuk meng –on/off-kan gen sehingga dapat mengekspresikan gen sesuai dengan yang diinginkan.
Varietas unggul juga dihasilkan dari kombinasi metode konvensional dan metode non konvensional. Yakni metode SSICD (Single Seed Invitro Clonal Descent). Dua tetua tanaman kentang disilangkan, kemudian biji yang dihasilkan dikecambahkan secara in vitro. Setiap biji yang berkecambah diperbanyak juga dengan cara invitro menjadi satu klon. Ratusan klon yang dihasilkan dapat diseleksi secara invitro untuk mendapatkan klon yang vigor, berproduksi tinggi dan tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
“Pada tahap akhir, klon yang terseleksi ditanam di lahan untuk dikonfirmasi hasilnya. Dan metode SSICD ini telah menghasilkan kultivar kentang unggul yakni kentang DEA, kentang katineng, kentang kagawa dan kentang gotik (garut otentik),” terangnya.
Cara lainnya adalah dengan fusi protoplas. Ini adalah metode yang mengintroduksikan gen yang berasal dari tanaman yang memiliki kekerabatan jauh. Fusi protoplas juga bisa digunakan untuk menghasilkan tanaman yang menghasilkan buah tanpa biji. Yakni dengan memfusikan protoplas dari jaringan somatik tanaman dengan protoplas serbuk sari sehingga menghasilkan tanaman triploid yang menghasilkan buah tanpa biji. Tanaman dengan buah tanpa biji dapat dihasilkan dari kultur endosperma.
“Kami telah berhasil memperoleh jeruk tanpa biji dan penampilan warna yang disukai konsumen dengan memfusikan jeruk siam simadu dengan jeruk mandarin satsuma. Dihasilkan 24 hibrida somatik yang masing-masing memiliki karakter yang unik dan tanpa biji. Jeruk hasil fusi ini telah diuji adaptasinya di Malang, Banyuwangi, Cianjur, Garut dan Brastagi,” tandas guru besar yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Sumberdaya, Perencanaan dan Keuangan IPB ini. (zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018