Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Centre Strategic and International Studies (CSIS) menggelar Diskusi Publik bertajuk “Menakar Politik Identitas dan Pilkada 2018”. Diskusi ini digelar di Ruang Sidang PSP3, Kampus IPB, (30/5) dan dihadiri aktivis mahasiswa IPB.
Sekretaris PSP3 IPB, Dr. Suprehatin mengatakan bahwa saat ini ada 171 pilkada serentak dengan jumlah pemilih 150 juta orang. PPSP3 IPB ingin mahasiswa selaku agent of change mengerti tentang perkembangan politik Indonesia saat ini.
''Dalam sebuah survei, dari 600 reponden mahasiswa hanya 5,9 persen yang tertarik membicarakan politik. Bicara politik tak perlu punya ilmunya, yang penting adalah terbangunnya awareness mahasiswa terhadap bidang politik. Kita ingin membuat generasi baru calon pemimpin masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi, Prof. Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa topik diskusi ini menarik karena terkait dengan politik identitas. Menurutnya negara maju pun masih berkutat dengan politik identitas. Pemilih masih melihat sosok kandidat yang bertarung.
Politik identitas merupakan sebuah keniscayaan politik, sehingga dibutuhkan kanalisasi agar tidak muncul secara ekstrim. Secara keseluruhan, hasil diskusi merekomendasikan beberapa kanal politik identitas yang ditawarkan dalam diskusi publik ini. Yakni penguatan pranata dan kearifan lokal sebagai simbol pemersatu komunitas, dorongan netralitas tokoh agama dan budaya dalam pilkada, larangan penggunaan rumah ibadah dan fasilitas publik untuk praktek politik sektarian, penguatan institusi-institusi pelaksana pilkada dalam menangani gejala politik identitas yang ekstrim, serta penegakan hukum dalam pelaksanaan pilkada.
Sementara itu Kepala PSP3 IPB, Dr. Sofyan Sjaf menegaskan bahwa dominasi etnisitas masih menjadi salah satu faktor penting untuk masa depan politik Indonesia. Politik Etnik akan bersinggungan secara antagonis dengan praktek politik pilkada yang muncul secara biner dalam dua kutub, yakni konflik dan re-integrasi. Setiap pilkada di Indonesia selalu dimulai dengan ‘konflik’ pada masa kampanye dan upaya re-integrasi pasca pilkada.
CSIS sendiri telah melakukan riset di tiga lokasi yang mengalami gejolak konflik etnis dan potensi radikalisme yakni, Bogor, Palangkaraya, dan Ambon. Terdapat dua isu potensial yang bakal muncul di pilkada 2018 yakni isu agama 68,3% dan isu etnis 11,2 % sebagaimana dipotret di Kota Bogor.
Hasil riset ini menjadi refleksi bagaimana memotret relasi, strategi, dan afiliasi berbagai aktor di ranah lokal dalam penggunaan simbol-simbol identitas untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan dalam kontestasi pilkada di 2018. (dh/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Sekretaris PSP3 IPB, Dr. Suprehatin mengatakan bahwa saat ini ada 171 pilkada serentak dengan jumlah pemilih 150 juta orang. PPSP3 IPB ingin mahasiswa selaku agent of change mengerti tentang perkembangan politik Indonesia saat ini.
''Dalam sebuah survei, dari 600 reponden mahasiswa hanya 5,9 persen yang tertarik membicarakan politik. Bicara politik tak perlu punya ilmunya, yang penting adalah terbangunnya awareness mahasiswa terhadap bidang politik. Kita ingin membuat generasi baru calon pemimpin masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi, Prof. Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa topik diskusi ini menarik karena terkait dengan politik identitas. Menurutnya negara maju pun masih berkutat dengan politik identitas. Pemilih masih melihat sosok kandidat yang bertarung.
Politik identitas merupakan sebuah keniscayaan politik, sehingga dibutuhkan kanalisasi agar tidak muncul secara ekstrim. Secara keseluruhan, hasil diskusi merekomendasikan beberapa kanal politik identitas yang ditawarkan dalam diskusi publik ini. Yakni penguatan pranata dan kearifan lokal sebagai simbol pemersatu komunitas, dorongan netralitas tokoh agama dan budaya dalam pilkada, larangan penggunaan rumah ibadah dan fasilitas publik untuk praktek politik sektarian, penguatan institusi-institusi pelaksana pilkada dalam menangani gejala politik identitas yang ekstrim, serta penegakan hukum dalam pelaksanaan pilkada.
Sementara itu Kepala PSP3 IPB, Dr. Sofyan Sjaf menegaskan bahwa dominasi etnisitas masih menjadi salah satu faktor penting untuk masa depan politik Indonesia. Politik Etnik akan bersinggungan secara antagonis dengan praktek politik pilkada yang muncul secara biner dalam dua kutub, yakni konflik dan re-integrasi. Setiap pilkada di Indonesia selalu dimulai dengan ‘konflik’ pada masa kampanye dan upaya re-integrasi pasca pilkada.
CSIS sendiri telah melakukan riset di tiga lokasi yang mengalami gejolak konflik etnis dan potensi radikalisme yakni, Bogor, Palangkaraya, dan Ambon. Terdapat dua isu potensial yang bakal muncul di pilkada 2018 yakni isu agama 68,3% dan isu etnis 11,2 % sebagaimana dipotret di Kota Bogor.
Hasil riset ini menjadi refleksi bagaimana memotret relasi, strategi, dan afiliasi berbagai aktor di ranah lokal dalam penggunaan simbol-simbol identitas untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan dalam kontestasi pilkada di 2018. (dh/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018