Bogor, (Antaranews Megapolitan) - Stunting adalah masalah gizi utama yang masih banyak terjadi di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi nasional anak balita pendek (stunted) dan anak balita sangat pendek (severe stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 37.2 persen (terdiri dari 18.0 perse sangat pendek dan 19.2 persen pendek).

Artinya, lebih dari sepertiga anak balita Indonesia adalah stunting. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya stunting. Status gizi orang tua, terutama status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian anak pendek. 

Tiga orang peneliti dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Farida Hanum, Ali Khomsan dan Yayat Heryatno mencoba mengamati hubungan asupan gizi dan tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita. 

Ali Khomsan mengatakan anak usia balita membutuhkan asupan gizi per kilogram berat badan relatif lebih banyak dan memadai dibandingkan usia lain, guna mendukung optimalnya pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tinggi badan ibu, asupan gizi, dan status gizi anak balita.  

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study dengan subjek sebanyak 90 anak terdiri dari 47 anak stunting dan 43 anak normal. Tinggi badan ibu dikelompokkan menjadi ibu pendek (<150 cm) dan ibu normal (>150 cm). 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu anak (67.8persen) tergolong pendek. Ibu yang pendek (TB<150 cm) lebih banyak terdapat pada anak stunting (74.5 persen) dibandingkan anak normal (60.5 persen).  

Tingkat kecukupan energi dan protein anak stunting maupun anak normal masih tergolong defisit berat. Anak stunting lebih banyak berumur 48-59 bulan (29.8persen), sedangkan anak normal lebih banyak berumur 6-11 bulan (37.2persen). Hal ini mengindikasikan bertambahnya umur anak, maka akan semakin jauh dari pertumbuhan linier normal.  

Kondisi ini diduga disebabkan oleh semakin tinggi usia anak, maka kebutuhan energi dan zat gizi juga semakin meningkat. Pertum-buhan anak semakin menyimpang dari normal dengan bertambahnya umur jika penyediaan makanan (kuantitas maupun kualitas) tidak memadai. 

Dari uji yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada hubungan signifikan antara tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Hal ini diduga karena ibu pendek akibat patologis atau kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen dalam kromosom. Namun, terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi. 

"Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan energi dengan status gizi. Namun, terdapat hubungan negatif antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi anak balita," katanya. 

Sosial ekonomi keluarga antara anak stunting dan normal tidak jauh berbeda. Tingkat kecukupan energi dan protein anak normal masih tergolong defisit berat. Kondisi ini membuat perlu dilakukan intervensi terutama berupa peningkatan konsumsi kepada anak normal yang umur mereka lebih muda dibandingkan anak stunting agar tidak menjadi stunting ke depannya," tuturnya. (IR/nm) 

 

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018