Bogor (Antara Megapolitan) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan rekomendasi terkait pencantuman aliran kepercayaan dalam kartu tanda penduduk bagi penganutnya agar dibuatkan KTP khusus tanpa mengubah yang sudah ada di masyarakat.
"MUI mengusulkan KTP-nya dibuat secara khusus saja. Supaya tidak menimbulkan masalah dan penolakan, tapi putusan MK itu supaya terpenuhi," kata Ketua Umum MUI KH Ma`ruf Amin, usai penutupan Rakernas III MUI, di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/11) malam.
Rekomendasi MUI tersebut dihasilkan dalam rakenas.
Upaya untuk mencegah timbul kontraksi dan kegaduhan di masyarakat MUI mengusulkan langkah-langkah sebagai berikut, yakni pemerintah wajib melayani warga negara yang membutuhkan pelayanan terkait putusan MK tentang identigas pribadinya dengan ketentuan.
Pemerintah dapat melakukan pencatuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada kartu keluarga. Pemerintah dapat mencetak KTP yang mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan.
Adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Menurut KH Ma`ruf Amin tidak perlu menambah KTP yang ada dengan menambahkan aliran kepercayaan. KTP yang sudah ada tetap saja, karena agama tidak boleh disejajarkan dengan aliran kepercayaan.
"Jadi buatkan KTP khusus buat mereka dengan ada pencantuman aliran kepercayaan," kata Ma`ruf.
Ia mengatakan jika mengubah KTP yang sudah ada tidak efisien karena akan menelan biaya besar. Pembuatan KTP baru hanya dibutuhkan bagi warga yang menganut penghayatan kepercayaan.
"Supaya lebih efisien, dibuatkan untuk mereka saja, kalau bikin baru lagi, nanti ada tiang listrik yang ketabrak lagi," kata Ma`ruf pula.
Dalam rekomenasi Rakernas III MUI disampaikan sikap Majelis Ulama Indonesia terkait putusan MK Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP yang sudah bersifat final dan mengikat sebagai berikut.
Pertama, MUI sangat menyesalkan putusan MK tersebut. Putusan MK dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Kedua, MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Ketiga, MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hiduo orang banyak, membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga dapat mengambil keputusan secara objektif, arif, bijak dan aspiratif.
Keempat, MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima, MUI sapakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"MUI mengusulkan KTP-nya dibuat secara khusus saja. Supaya tidak menimbulkan masalah dan penolakan, tapi putusan MK itu supaya terpenuhi," kata Ketua Umum MUI KH Ma`ruf Amin, usai penutupan Rakernas III MUI, di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/11) malam.
Rekomendasi MUI tersebut dihasilkan dalam rakenas.
Upaya untuk mencegah timbul kontraksi dan kegaduhan di masyarakat MUI mengusulkan langkah-langkah sebagai berikut, yakni pemerintah wajib melayani warga negara yang membutuhkan pelayanan terkait putusan MK tentang identigas pribadinya dengan ketentuan.
Pemerintah dapat melakukan pencatuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada kartu keluarga. Pemerintah dapat mencetak KTP yang mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan.
Adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Menurut KH Ma`ruf Amin tidak perlu menambah KTP yang ada dengan menambahkan aliran kepercayaan. KTP yang sudah ada tetap saja, karena agama tidak boleh disejajarkan dengan aliran kepercayaan.
"Jadi buatkan KTP khusus buat mereka dengan ada pencantuman aliran kepercayaan," kata Ma`ruf.
Ia mengatakan jika mengubah KTP yang sudah ada tidak efisien karena akan menelan biaya besar. Pembuatan KTP baru hanya dibutuhkan bagi warga yang menganut penghayatan kepercayaan.
"Supaya lebih efisien, dibuatkan untuk mereka saja, kalau bikin baru lagi, nanti ada tiang listrik yang ketabrak lagi," kata Ma`ruf pula.
Dalam rekomenasi Rakernas III MUI disampaikan sikap Majelis Ulama Indonesia terkait putusan MK Nomor Perkara 97/PPU-XIV/2016 tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP yang sudah bersifat final dan mengikat sebagai berikut.
Pertama, MUI sangat menyesalkan putusan MK tersebut. Putusan MK dinilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.
Kedua, MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Ketiga, MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hiduo orang banyak, membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga dapat mengambil keputusan secara objektif, arif, bijak dan aspiratif.
Keempat, MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima, MUI sapakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017