Bogor, (Antara Megapolitan)  - Kemenpora bekerja sama dengan Yayasan Rahmatan Lil`alamin, Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menggelar pelatihan kepemimpinan dan pemberdayaan pemuda.

"Melalui pelatihan seperti ini akan tumbuh cakrawala pemikiran yang terbuka, visi jauh ke depan, tanggung jawab serta spirit nasionalisme guna memberikan yang terbaik bagi NKRI tercinta," kata Ketua Yayasan Rahmatan Lil `alamin, KH Saepul Milah di Bogor, Sabtu.

Kegiatan hasil kerja sama antara Keasdepan Tenaga dan Peningkatan Sumber Daya Pemuda, Kedeputian Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan pihaknya itu diselenggarakan selama satu hari, pada Jumat (3/11), di komplek Pendidikan Ma`arif Nahdlatul Ulama (NU) Ciomas, Jalan Kreteg 55, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.

Peserta kegiatan berjumlah 50 orang generasi muda, baik laki-laki dan perempuan, yang berasal dari unsur pondok pesantren dan, SMA dan SMK.

Tema yang diangkat dalam pelatihan itu adala "Membangun Pemberdayaan Pemuda Etos Kepemimpinan Berkarakter dan Berwawasan Global".

Narasumber pada kegiatan itu yakni dari Kemenpora, Manajer Desk Internasional Perum LKBN-Antara Drs Rahmad Nasution, MA, dan Pengasuh Pesantren Al-A`la Kecamatan Kemang, Bogor, Ahmad Suhadi.

Saepul Milah menegaskan bahwa dengan keterbukaan wawasan dan luasnya pergaulan, ia berharap para peserta pelatihan ini -- yang merupakan generasi muda -- akan tumbuh sebagai agen perubahan di tengah masyarakat.

"Para pemuda harus berpartisipasi dan ambil bagian nyata dalam memberdayakan masyarakat. Pemuda harus menjadi lokomotif perubahan di komunitas atau lingkungannya," katanya.

Pembina sekaligus panitia kegiatan, Rusmana mengatakan, pelatihan yang diselenggarakan itu sebagai upaya nyata dalam meningkatkan sumber daya manusia, mengingat pemuda sebaga harapan menuju masa depan Indonesia yang kuat, mandiri, adil dan berdaya saing.

"Jika potensi pemuda dapat dikembangkan secara optimal akan tumbuh kreasi dan inovasi yang dapat mendorong transformasi masyarakat dan bangsa. Pemuda dapat menjadi agen perubahan sosial," kata mantan sekretaris Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Bogor.

Sementara itu, Rahmad Nasution pada kegiatan itu memaparkan tema bertajuk "Mendorong Pemuda Berwawasan Luas dan Bervisi Kebangsaan pada Era Keterbukaan Informasi".

Ia mengulas mengenai empat hal, yakni peta mutu SDM Indonesia di dunia, bonus demografi, tantangan di era digital, dan solusi mengatasinya.

Merujuk pada penelitian John W Miller dari Universitas Negeri Central Connecticut (CCSU) Amerika Serikat, Rahmat menyampaikan kepada peserta bahwa

Indonesia berada di urutan 60 atau kedua terbawah dari 61 negara yang disurvei.

"Posisi Indonesia dari hasil tes pencapaian literasi dalam Studi Literasi Membaca Internasional (PIRLS) dan Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) itu hanya setingkat lebih baik dari Bostswana yang berada di urutan paling bontot," katanya.

Tingkat literasi Indonesia -- negara berpenduduk terbesar keempat dunia setelah Cina, India dan AS -- ini, katanya, kalah dari Singapura yang berada di urutan 36, Malaysia (53) dan Thailand (59).

Ada pun 10 negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia masih didominasi negara-negara industri maju yakni Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, Jerman, Latvia, dan Belanda sedangkan Cina berada di urutan 39.

Negara maju di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang masing-masing berada di posisi 22 dan 32.

"Jadi, ini menjadi pekerjaan rumah besar bersama agar Indonesia kualitas SDM-nya lebih baik lagi," kata mantan pegiat HMI Sumatera Utara itu.

Ketika membahas bonus demografi yang harus diperjuangkan, ia menyatakan Indonesia berpotensi menjadi negara maju yang hebat.

"Potensi itu bisa terwujud jika generasi muda kita yang mendukung bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada 2020-2030 disiapkan dengan baik dari sekarang," katanya.

Sebaliknya, jika tingkat literasi warga berusia produktif yang jumlahnya diperkirakan mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia pada 2020-2030 itu rendah, mereka dikhawatirkan hanya akan jadi beban negara.

Bahkan, kondisi demikian berpotensi menjadi ancaman serius karena, seperti diingatkan John W.Miller dalam buku yang ditulisnya bersama Michael C. McKenna (2016), masyarakat yang jauh dari perilaku literasi umumnya miskin, terbelakang, kurang wawasan, kasar, brutal, dan mudah melanggar hak azasi manusia.�

Sedangkan terkait tantangan di era digital, generasi muda Indonesia juga menghadapi fenomena berita bohong (Fake News).

"Fake News" ini sengaja disebar orang-orang tak bertanggung jawab ke jejaring media sosial dan hilangnya kepercayaan sebagian publik pada kredibilitas pemberitaan media arus utama.

Ia menyebut "Fake news" ini mengancam demokrasi dan menjadi masalah besar di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.

Atas fenomena itu, ia menawarkan solusi, yakni generasi muda, termasuk dari pesantren harus babnyak membaca dan memperkaya pustaka.

Apalagi, kata dia, firman Allah SWT di dalam Al-Quran jelas memerintahkan kepada umatnya agar melakukan "Iqra" (membaca).

"Bacalah dengan nama Tuhanmu dan banyak ayat dalam Al Qur`an yang mengingatkan kita (umat Islam) untuk berfikir/menuntut ilmu," katanya dan menambahkan bahwa "buku adalah jendela dunia".

Ia menambahkan bahwa gerakan literasi sekolah melalui program wajib membaca buku nonpelajaran selama 15 menit, yakni sebuah gerakan yang sudah dilaksanakan di Kota Bandung, adalah salah satu upaya yang baik. ***4***

(T.A035/B/B012/B012) 04-11-2017 13:42:11

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017