Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Yanto Santosa menyatakan sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan energi.
Pada 2020, tambahnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan ada sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi.
"Kawasan hutan yang sudah rusak ini sebaiknya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dalam rangka menggapai ketahanan pangan maupun ketahanan energi," ujar Yanto melalui keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, penambahan lahan sawit di kawasan hutan tersebut bukanlah kegiatan deforestasi apabila dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan atau terdegradasi.
Oleh karena itu Prof Yanto mendukung rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengoptimalkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit.
Namun demikian, ia mengingatkan agar kawasan hutan terdegradasi tersebut jangan semuanya ditanami sawit, cukup 70 persennya, sedangkan sebagiannya harus ditanami tanaman hutan unggulan seperti bangkirai, ulin, kayu hitam atau bisa juga meranti.
"Daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali, lebih baik ditanami sawit dan tanaman hutan yang proporsinya 70 persen sawit dan 30 persen tanaman hutan,” katanya.
Sementara itu, pengamat lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso menyatakan jika pemerintah ingin menambah produksi minyak sawit, maka yang perlu dilakukan adalah peremajaan atau "replanting" kebun sawit secara besar-besaran.
Sebab, produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu masih sangat rendah, tambahnya. Data Statistik Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan produktivitas rata-rata perkebunan sawit nasional 3,89 ton CPO/ha/tahun.
Baca juga: IPB: Perluasan sawit lewat hutan negara bukan deforestasi
Baca juga: Sawit Watch: Emisi alih fungsi lahan dan hutan besar
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025