Peningkatan usia pensiun menjadi 59 tahun mulai 2025 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun adalah langkah penting dalam menjawab tantangan demografi dan keberlanjutan dana pensiun.
Langkah serupa juga telah dilakukan oleh banyak negara maju seperti Jerman, yang meningkatkan usia pensiun bertahap dari 65 menjadi 67 tahun sejak 2012, dan Prancis, yang menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 64 tahun pada 2023.
Di kawasan ASEAN, Singapura akan meningkatkan usia pensiun dari 63 menjadi 65 tahun pada 2030, sementara Malaysia telah menetapkan usia pensiun 60 tahun sejak 2013.
Namun, kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan perbedaan usia harapan hidup dan kesejahteraan usia produktif di tiap negara.
Kebijakan tersebut perlu disikapi dengan hati-hati karena penambahan usia pensiun tidak serta merta dapat diterapkan secara universal, mengingat perbedaan usia harapan hidup dan tingkat kesejahteraan usia produktif di tiap negara.
Selain itu, kebijakan ini memiliki implikasi luas, baik bagi pekerja lanjut usia yang menghadapi tantangan kesehatan dan produktivitas, maupun generasi muda yang bisa kehilangan peluang kerja akibat lambatnya regenerasi tenaga kerja.
Tanpa langkah mitigasi yang memadai, perubahan usia pensiun ini dapat membawa lebih banyak dampak negatif daripada manfaat.
Tantangan Lansia
Memperpanjang usia pensiun berarti pekerja lanjut usia harus tetap berada di dunia kerja dalam waktu yang lebih lama.
Meski ini dapat memberikan tambahan waktu untuk menabung bagi masa pensiun, tidak semua pekerja mampu mempertahankan produktivitas pada usia yang semakin lanjut.
Sebuah survei dari OECD menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja mulai menurun secara signifikan setelah usia 55 tahun, terutama di sektor yang membutuhkan tenaga fisik.
Selain itu, sebuah laporan BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat bahwa sekitar 30% pekerja lansia melaporkan mengalami penurunan kinerja akibat masalah kesehatan.
Terutama di sektor-sektor yang membutuhkan tenaga fisik, risiko kesehatan pekerja meningkat seiring bertambahnya usia.
Selain itu, diskriminasi usia di tempat kerja masih menjadi tantangan nyata.
Misalnya, banyak perusahaan yang lebih memilih merekrut pekerja muda karena dianggap lebih adaptif terhadap teknologi baru, sementara pekerja senior sering kali diabaikan dalam promosi atau pelatihan ulang.
Fenomena ini terlihat dalam survei global yang menunjukkan bahwa pekerja di atas usia 50 tahun memiliki peluang promosi 30 persen lebih rendah dibandingkan rekan mereka yang lebih muda.
Banyak pekerja senior menghadapi anggapan bahwa mereka kurang adaptif terhadap teknologi baru atau perubahan cepat di organisasi.
Di sisi lain, akses terhadap layanan kesehatan yang merata masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Tidak semua perusahaan memberikan dukungan kesehatan yang memadai untuk pekerja lanjut usia, sehingga mereka rentan terhadap masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kinerja mereka.
Hal ini semakin krusial karena tekanan fisik dan mental cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.
*) Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025