Bogor (Antara Megapolitan) - Potensi ikan hias di Indonesia memberi peluang usaha cukup besar mengingat dari sekitar 9 ribu jenis ikan hias di dunia, Indonesia memiliki 4 ribu jenis yang tersebar di laut maupun perairan tawar.
Dari sekitar 1.100 jenis ikan hias air tawar di dunia sebanyak 450 jenis berada di Indonesia. Akan tetapi Indonesia baru mengisi sekitar 8,12 persen dari pasokan tanaman dan ikan hias di pasar dunia.
Ini menunjukkan pangsa pasar ikan akuakultur terutama budidaya ikan hias sangat prospektif dan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan.
Produktivitas ikan hias selama ini masih rendah. Ikan hias sering dianggap sebagai ikan yang dipelihara dengan kepadatan rendah dengan air selalu jernih, sehingga teknologinya kini masih tradisional.
Upaya untuk meningkatkan produksi ikan hias diantaranya dengan teknologi intensif menggunakan pakan dengan jumlah dan kualitas tinggi serta dengan kepadatan tinggi. Sayangnya upaya ini menurunkan kualitas air media budidaya.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB), Dr. Iis Diatin melakukan sebuah percobaan untuk meningkatkan produktivitas ikan hias Platydoras costatus dengan menggunakan teknologi bioflok.
Teknologi bioflok merupakan suatu metode untuk mengoptimalkan kualitas air media budidaya. Dengan teknologi ini ikan dipelihara dalam wadah terkontrol dengan padat tebar tinggi.
Teknologi bioflok dilakukan dengan menambahkan molase pada media budidaya.
''Masalah utama yang sering ditimbulkan budidaya intensif adalah degradasi kualitas air yang berasal dari aplikasi pakan yang cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis penerapan teknologi bioflok pada kelompok ikan hias ekspor khususnya ikan Platydoras secara intensif pada berbagai padat tebar,'' jelas Dr.Iis.
Dalam percobaan ini ikan Platydoras berukuran 2,17 - 2,71 centimeter dipelihara dalam akuarium dengan kepadatan dan perlakuan berbeda.
Sebanyak 450 ekor dan 750 ekor ikan Platydoras dipelihara dalam wadah yang berbeda dengan tanpa bioflok, serta 450 ekor dan 750 ekor ikan dipelihara pada wadah berbeda dengan bioflok.
Ikan diberi pakan dengan pelet sebanyak 5 persen dari berat total, pemberian pakan dengan frekuensi dua kali sehari dan dilakukan penambahan molase setiap hari.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui ikan yang dipelihara tanpa bioflok pada kepadatan 450 ekor memiliki pertumbuhan terbaik diikuti dengan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dengan nilai 93 persen.
Kelangsungan hidup ikan Platydoras yang dipelihara dengan teknologi bioflok mencapai 72 persen. Sementara nilai kualitas air seperti suhu, pH dan oksigen selama periode pemeliharaan berada pada kisaran toleransi ikan.
Kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan pergerakan ikan menjadi terbatas. Hal tersebut mengakibatkan persaingan dalam media pemeliharaan ikan serta meningkatkan agresi ikan yang pada akhirnya mengakibatkan ikan stres dan berujung pada kematian.
Hal ini menunjukkan ikan Platydoras yang dipelihara dengan teknologi bioflok mengalami stres yang lebih tinggi sehingga menyebabkan kelangsungan hidupnya menjadi rendah.
Menurut Dr. Iis karakter ikan hias yang biasanya dipelihara di air jernih dan sering diganti air cenderung tidak terlalu menyukai air yang keruh.
Padahal bioflok sendiri konsepnya tanpa ganti air dan memiliki kekeruhan yang tinggi. Dr. Iis menyarankan solusi untuk melakukan pergantian air tapi dengan waktu yang lama yaitu dua minggu sekali sebanyak 30-50 persen.
''Saya menyarankan dua minggu sekali sebanyak 50 persen. Berbeda dengan pemeliharaan secara konvensional tiap hari 30 persen air yang diganti. Dengan bioflok tidak perlu setiap hari air diganti, tetapi dua minggu sebanyak 30-50 persen konsep hemat airnya sudah terpenuhi,'' jelasnya.
Untuk menilai sisi produktivitas tidak dapat dilihat dari jumlah kelangsungan hidup atau SR (Survival Rate) semata. Akan tetapi juga harus dilihat dari segi peningkatan padat tebar yang dilakukan.
''SR-nya di atas 70 persen sementara di pembudidaya sekitar 80 persen. Menurut saya sudah bagus karena sudah bisa ditingkatkan padat tebarnya, sudah ditingkatkan sepuluh sampai 20 kali SR-nya tidak beda jauh yaitu 70 persen. Peningkatan padat tebarnya SR-nya mendekati 80 persen, memang belum bisa menyamai pembudidaya. Maka solusinya mengganti air dua minggu sekali atau juga flok-flok yang terlalu tinggi dibuang. Flok itu kalau untuk ikan konsumsi biasanya banyak supaya jadi makanan, tapi kalau kebanyakan ikan hias tidak kuat. Jadi kita jangan melihat angka SR-nya saja tetapi kita lihat produksi persatuan luasnya juga. SR rendah tetapi padat tebar tinggi otomatis jumlah yang diproduksi tetap tinggi,'' tuturnya. (IRM/ris).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Dari sekitar 1.100 jenis ikan hias air tawar di dunia sebanyak 450 jenis berada di Indonesia. Akan tetapi Indonesia baru mengisi sekitar 8,12 persen dari pasokan tanaman dan ikan hias di pasar dunia.
Ini menunjukkan pangsa pasar ikan akuakultur terutama budidaya ikan hias sangat prospektif dan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan.
Produktivitas ikan hias selama ini masih rendah. Ikan hias sering dianggap sebagai ikan yang dipelihara dengan kepadatan rendah dengan air selalu jernih, sehingga teknologinya kini masih tradisional.
Upaya untuk meningkatkan produksi ikan hias diantaranya dengan teknologi intensif menggunakan pakan dengan jumlah dan kualitas tinggi serta dengan kepadatan tinggi. Sayangnya upaya ini menurunkan kualitas air media budidaya.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB), Dr. Iis Diatin melakukan sebuah percobaan untuk meningkatkan produktivitas ikan hias Platydoras costatus dengan menggunakan teknologi bioflok.
Teknologi bioflok merupakan suatu metode untuk mengoptimalkan kualitas air media budidaya. Dengan teknologi ini ikan dipelihara dalam wadah terkontrol dengan padat tebar tinggi.
Teknologi bioflok dilakukan dengan menambahkan molase pada media budidaya.
''Masalah utama yang sering ditimbulkan budidaya intensif adalah degradasi kualitas air yang berasal dari aplikasi pakan yang cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis penerapan teknologi bioflok pada kelompok ikan hias ekspor khususnya ikan Platydoras secara intensif pada berbagai padat tebar,'' jelas Dr.Iis.
Dalam percobaan ini ikan Platydoras berukuran 2,17 - 2,71 centimeter dipelihara dalam akuarium dengan kepadatan dan perlakuan berbeda.
Sebanyak 450 ekor dan 750 ekor ikan Platydoras dipelihara dalam wadah yang berbeda dengan tanpa bioflok, serta 450 ekor dan 750 ekor ikan dipelihara pada wadah berbeda dengan bioflok.
Ikan diberi pakan dengan pelet sebanyak 5 persen dari berat total, pemberian pakan dengan frekuensi dua kali sehari dan dilakukan penambahan molase setiap hari.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui ikan yang dipelihara tanpa bioflok pada kepadatan 450 ekor memiliki pertumbuhan terbaik diikuti dengan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dengan nilai 93 persen.
Kelangsungan hidup ikan Platydoras yang dipelihara dengan teknologi bioflok mencapai 72 persen. Sementara nilai kualitas air seperti suhu, pH dan oksigen selama periode pemeliharaan berada pada kisaran toleransi ikan.
Kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan pergerakan ikan menjadi terbatas. Hal tersebut mengakibatkan persaingan dalam media pemeliharaan ikan serta meningkatkan agresi ikan yang pada akhirnya mengakibatkan ikan stres dan berujung pada kematian.
Hal ini menunjukkan ikan Platydoras yang dipelihara dengan teknologi bioflok mengalami stres yang lebih tinggi sehingga menyebabkan kelangsungan hidupnya menjadi rendah.
Menurut Dr. Iis karakter ikan hias yang biasanya dipelihara di air jernih dan sering diganti air cenderung tidak terlalu menyukai air yang keruh.
Padahal bioflok sendiri konsepnya tanpa ganti air dan memiliki kekeruhan yang tinggi. Dr. Iis menyarankan solusi untuk melakukan pergantian air tapi dengan waktu yang lama yaitu dua minggu sekali sebanyak 30-50 persen.
''Saya menyarankan dua minggu sekali sebanyak 50 persen. Berbeda dengan pemeliharaan secara konvensional tiap hari 30 persen air yang diganti. Dengan bioflok tidak perlu setiap hari air diganti, tetapi dua minggu sebanyak 30-50 persen konsep hemat airnya sudah terpenuhi,'' jelasnya.
Untuk menilai sisi produktivitas tidak dapat dilihat dari jumlah kelangsungan hidup atau SR (Survival Rate) semata. Akan tetapi juga harus dilihat dari segi peningkatan padat tebar yang dilakukan.
''SR-nya di atas 70 persen sementara di pembudidaya sekitar 80 persen. Menurut saya sudah bagus karena sudah bisa ditingkatkan padat tebarnya, sudah ditingkatkan sepuluh sampai 20 kali SR-nya tidak beda jauh yaitu 70 persen. Peningkatan padat tebarnya SR-nya mendekati 80 persen, memang belum bisa menyamai pembudidaya. Maka solusinya mengganti air dua minggu sekali atau juga flok-flok yang terlalu tinggi dibuang. Flok itu kalau untuk ikan konsumsi biasanya banyak supaya jadi makanan, tapi kalau kebanyakan ikan hias tidak kuat. Jadi kita jangan melihat angka SR-nya saja tetapi kita lihat produksi persatuan luasnya juga. SR rendah tetapi padat tebar tinggi otomatis jumlah yang diproduksi tetap tinggi,'' tuturnya. (IRM/ris).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017