Pasca dikeluarkannya Perppu No. 2/2017 dan dicabutnya status badan hukum HTI pada 19 Juli 2017, Sikon perpolitikkan nasional diwarnai dengan pro dan kontra terhadap produk hukum tersebut. Ternyata banyak kalangan di Indonesia yang mendukung produk hukum tersebut antara lain DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah/IMM DKI Jakarta; Forum Komunikasi Putera Puteri Purnawirawan TNI/Polri-FKKPI Jabar; Aliansi Mahasiswa Islam Jakarta, Gerakan Pemuda Ansor Kab. Sumbawa Barat/KSB, Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kalimantan Barat; PMII Komisariat Universitas Tanjungpura, Aliansi Pemuda Jember Cinta Pancasila dan NKRI, LMND Kabupaten Lombok Timur, PB PMII, PP Muhammadiyah, PBNU, Komunitas Perempuan Peduli Indonesia, dipimpin Emmy Hafild, Kaukus Muda Banyuwangi, Pemuda Pancasila, GMKI, PMKRI, LBH NU dan lain-lain.
Alasan atau sikap mendukung dukungan terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 disampaikan berbagai tokoh elemen masyarakat di daerah diantaranya karena: pertama, pembubaran Ormas HTI merupakan langkah yang tepat. Ormas yang anti Pancasila harus dibubarkan, dari pada membuat gaduh dan memecah-belah bangsa. Selama ini HTI menjadi persoalan sangat serius, karena dalam target perjuangannya ingin mengganti negara Pancasila menjadi negara Khilafah. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah hukum yang konstitusional dalam proses pembubaran Ormas yang mengancam eksistensi Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, Ormas HTI memang memiliki tujuan mendirikan negara berdasarkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), padahal tidak ada lagi khalifah setelah Khalifah Ar-Rasyidin. Jika hal tersebut dibiarkan tentunya akan mengancam kedaulatan NKRI. Menyikapi persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, maka Muhammadiyah memandang keputusan pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 sudah tepat dan selanjutnya kita serahkan kepada DPR untuk membahas dengan arif dan bijaksana untuk kemudian memutuskan Perppu tersebut menjadi UU. Bagi Muhammadiyah, ideologi Pancasila adalah final dan harga mati.
Ketiga, Ormas yang memiliki prinsip membentuk negara berdasarkan ideologi selain Pancasila harus dibubarkan. Paham-paham yang anti Pancasila harus segera dibubarkan, akan tetapi harus melalui ketentuan hukum yang berlaku.
Di sisi yang lain, adanya kelompok masyarakat (Ormas, organisasi mahasiswa, organisasi pemuda dll) yang dengan kesadarannya mendukung langkah pemerintah mengeluarkan Perppu No 2/2017 tetap perlu dijaga momentumnya, apalagi produk hukum ini sedang digugat uji materi ke MK oleh setidaknya 5 pihak baik perseorangan yaitu Ismail Yusanto, mantan Jubir HTI dan Afriandy Putra, serta beberapa lembaga yaitu Aliansi Nusantara, Yayasan Shari Law Al Qunoni dan Pusat Persatuan Islam. Hal ini mengindikasikan banyak kelompok yang tetap mendesak pencabutan/pembatalan Perppu ini, sehingga suara atas aspirasi kelompok yang mendukung Perppu No 2/2017 tetap perlu difasilitasi dan diperluas.
Apa tujuannya?
Gerakan kelompok masyarakat yang mendukung Perppu No. 2/2017 sebenarnya mengindikasikan kedewasaan bernegara mereka, loyalitas kepada pemerintah dan sekaligus untuk menghilangkan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan hilangnya semangat keberagaman, pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia dimana 483 etnik dan 719 bahasa di Indonesia merupakan kristalisasi empat gelombang migrasi leluhur manusia Indonesia sejak 50.000 tahun lalu (Prof. Herawati Sudoyo, ahli genetika Lembaga Biologi Mokuler Eijkman) yang potensinya tidak dapat dipandang remeh, terutama apabila kecintaan terhadap ideologi negara dan pemahaman kebangsaan yang benar kepada generasi milenial kita, maka ancaman runtuh dan bubarnya NKRI bukan lagi utopia di masa mendatang.
Hasil Survei Nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menunjukan meski mayoritas umat Islam di Indonesia menolak radikalisme, namun ada sekitar 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, dan 0,4% pernah melakukan tindakan radikal. Selain itu, Survei juga menemukan bahwa 59,9% responden memiliki kebencian terhadap kelompok sosial tertentu, baik etnis, agama maupun ideologi politik. Kebencian itu juga diikuti dengan penolakan terhadap hak politik untuk duduk dalam pemerintahan, serta untuk berinteraksi secara sosial. Temuan Wahid Foundation yang dirilis pada 2016 ini membuka mata kita bahwa intoleransi merupakan realitas faktual yang kian meningkat dan menjadi persemaian bagi berkembangnya paham dan tindakan radikal di Indonesia.
Data yang cukup mencengangkan terkait dengan intoleransi juga dirilis oleh SETARA Institute (16/2/2017), yang mencatat ada 208 peristiwa intoleransi dan 270 tindakan intoleransi pada 2016. Pelaku intoleransi ini melibatkan warga, ormas, korporasi hingga aktor negara dalam berbagai bentuk meliputi penyesatan, intimidasi, ucapan kebencian, ancaman, pelarangan pendirian tempat ibadah, perusakan properti, hingga pembubaran paksa kegiatan keagamaan. Catatan SETARA Institute juga menunjukan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan angka intolerasi tertinggi dengan jumlah 41 kasus, disusul Jakarta (31 kasus), Jawa Timur (22), Jawa Tengah (14), dan Bangka Belitung (11).
Menurut data yang dirilis oleh Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM, Pendeta Jayadi Damanik, jumlah kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Data Komnas HAM mencatat ada 74 kasus intoleransi yang dilaporkan ke pos pengaduan Desk KBB pada tahun 2014, meningkat menjadi 87 kasus pada tahun 2015, dan hampir 100 kasus pada tahun 2016 (Kompas, 5/1/2017). Kasus intoleransi itu marak terjadi terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti melarang aktivitas keagamaan, merusak rumah ibadah, diskriminasi atas dasar keyakinan atau agama, intimidasi, dan pemaksaan keyakinan. Intoleransi itu telah berkontribusi pada terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya. Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.
Oliver Roy dalam tulisan "Who are the New Jihadis?", banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus Islamisasi radikalisme sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat "terrorism does not arise from radicalization of Islam, but from the Islamization of radicalism".
Adanya data dari Wahid Foundation, Setara Institute dan Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM ditambah pendapat Haedar Nashir dan Oliver Roy di atas, maka keputusan hukum dan politik pemerintahan Jokowi dengan mengeluarkan Perppu No. 2/2017 sudah tepat, dan bukan kebijakan yang otoriter atau ditaktor, karena tujuannya melenyapkan ancaman masa depan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, jajaran pemerintah atau K/L terutama dijajaran aparat keamanan, aparat penegak hukum dan aparat intelijen jelas perlu membantu, mendukung dan memperluas apapun kegiatan atau ide-ide yang dikemukakan oleh kelompok pendukung Perppu No. 2/2017 yang muncul dari beragam kalangan mulai dari organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, Parpol sampai NGO dan akademisi, karena sejatinya mereka juga memperlancar tugas-tugas yang dilaksanakan oleh beragam Satgas yang dibentuk K/L dalam "mengamankan" kebijakan terkait Perppu No. 2/2017.
Jika K/L mendukung dan membantu kegiatan kelompok pendukung Perppu No. 2/2017, maka setidaknya ada beberapa tujuan yang akan diperoleh K/L antara lain: Pertama, sarana untuk menyerap aspirasi, respons dan pemikiran dari kalangan Ormas terutama pendukung Perppu No. 2/2017. Hal ini juga dapat dijadikan masukan oleh pemerintah dalam mengevaluasi pelaksanaannya. Kedua, memanage kalangan pendukung Perppu No. 2/2017 untuk tetap bersatu dan solid. Ketiga, terkonsolidasikannya dan pemberdayaan kelompok pendukung Perppu No. 2/2017.
*) Penulis adalah peneliti muda di Cersia, Jakarta.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Alasan atau sikap mendukung dukungan terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 disampaikan berbagai tokoh elemen masyarakat di daerah diantaranya karena: pertama, pembubaran Ormas HTI merupakan langkah yang tepat. Ormas yang anti Pancasila harus dibubarkan, dari pada membuat gaduh dan memecah-belah bangsa. Selama ini HTI menjadi persoalan sangat serius, karena dalam target perjuangannya ingin mengganti negara Pancasila menjadi negara Khilafah. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah hukum yang konstitusional dalam proses pembubaran Ormas yang mengancam eksistensi Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, Ormas HTI memang memiliki tujuan mendirikan negara berdasarkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), padahal tidak ada lagi khalifah setelah Khalifah Ar-Rasyidin. Jika hal tersebut dibiarkan tentunya akan mengancam kedaulatan NKRI. Menyikapi persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, maka Muhammadiyah memandang keputusan pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 sudah tepat dan selanjutnya kita serahkan kepada DPR untuk membahas dengan arif dan bijaksana untuk kemudian memutuskan Perppu tersebut menjadi UU. Bagi Muhammadiyah, ideologi Pancasila adalah final dan harga mati.
Ketiga, Ormas yang memiliki prinsip membentuk negara berdasarkan ideologi selain Pancasila harus dibubarkan. Paham-paham yang anti Pancasila harus segera dibubarkan, akan tetapi harus melalui ketentuan hukum yang berlaku.
Di sisi yang lain, adanya kelompok masyarakat (Ormas, organisasi mahasiswa, organisasi pemuda dll) yang dengan kesadarannya mendukung langkah pemerintah mengeluarkan Perppu No 2/2017 tetap perlu dijaga momentumnya, apalagi produk hukum ini sedang digugat uji materi ke MK oleh setidaknya 5 pihak baik perseorangan yaitu Ismail Yusanto, mantan Jubir HTI dan Afriandy Putra, serta beberapa lembaga yaitu Aliansi Nusantara, Yayasan Shari Law Al Qunoni dan Pusat Persatuan Islam. Hal ini mengindikasikan banyak kelompok yang tetap mendesak pencabutan/pembatalan Perppu ini, sehingga suara atas aspirasi kelompok yang mendukung Perppu No 2/2017 tetap perlu difasilitasi dan diperluas.
Apa tujuannya?
Gerakan kelompok masyarakat yang mendukung Perppu No. 2/2017 sebenarnya mengindikasikan kedewasaan bernegara mereka, loyalitas kepada pemerintah dan sekaligus untuk menghilangkan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan hilangnya semangat keberagaman, pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia dimana 483 etnik dan 719 bahasa di Indonesia merupakan kristalisasi empat gelombang migrasi leluhur manusia Indonesia sejak 50.000 tahun lalu (Prof. Herawati Sudoyo, ahli genetika Lembaga Biologi Mokuler Eijkman) yang potensinya tidak dapat dipandang remeh, terutama apabila kecintaan terhadap ideologi negara dan pemahaman kebangsaan yang benar kepada generasi milenial kita, maka ancaman runtuh dan bubarnya NKRI bukan lagi utopia di masa mendatang.
Hasil Survei Nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menunjukan meski mayoritas umat Islam di Indonesia menolak radikalisme, namun ada sekitar 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, dan 0,4% pernah melakukan tindakan radikal. Selain itu, Survei juga menemukan bahwa 59,9% responden memiliki kebencian terhadap kelompok sosial tertentu, baik etnis, agama maupun ideologi politik. Kebencian itu juga diikuti dengan penolakan terhadap hak politik untuk duduk dalam pemerintahan, serta untuk berinteraksi secara sosial. Temuan Wahid Foundation yang dirilis pada 2016 ini membuka mata kita bahwa intoleransi merupakan realitas faktual yang kian meningkat dan menjadi persemaian bagi berkembangnya paham dan tindakan radikal di Indonesia.
Data yang cukup mencengangkan terkait dengan intoleransi juga dirilis oleh SETARA Institute (16/2/2017), yang mencatat ada 208 peristiwa intoleransi dan 270 tindakan intoleransi pada 2016. Pelaku intoleransi ini melibatkan warga, ormas, korporasi hingga aktor negara dalam berbagai bentuk meliputi penyesatan, intimidasi, ucapan kebencian, ancaman, pelarangan pendirian tempat ibadah, perusakan properti, hingga pembubaran paksa kegiatan keagamaan. Catatan SETARA Institute juga menunjukan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan angka intolerasi tertinggi dengan jumlah 41 kasus, disusul Jakarta (31 kasus), Jawa Timur (22), Jawa Tengah (14), dan Bangka Belitung (11).
Menurut data yang dirilis oleh Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM, Pendeta Jayadi Damanik, jumlah kasus intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Data Komnas HAM mencatat ada 74 kasus intoleransi yang dilaporkan ke pos pengaduan Desk KBB pada tahun 2014, meningkat menjadi 87 kasus pada tahun 2015, dan hampir 100 kasus pada tahun 2016 (Kompas, 5/1/2017). Kasus intoleransi itu marak terjadi terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti melarang aktivitas keagamaan, merusak rumah ibadah, diskriminasi atas dasar keyakinan atau agama, intimidasi, dan pemaksaan keyakinan. Intoleransi itu telah berkontribusi pada terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya. Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.
Oliver Roy dalam tulisan "Who are the New Jihadis?", banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus Islamisasi radikalisme sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat "terrorism does not arise from radicalization of Islam, but from the Islamization of radicalism".
Adanya data dari Wahid Foundation, Setara Institute dan Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM ditambah pendapat Haedar Nashir dan Oliver Roy di atas, maka keputusan hukum dan politik pemerintahan Jokowi dengan mengeluarkan Perppu No. 2/2017 sudah tepat, dan bukan kebijakan yang otoriter atau ditaktor, karena tujuannya melenyapkan ancaman masa depan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, jajaran pemerintah atau K/L terutama dijajaran aparat keamanan, aparat penegak hukum dan aparat intelijen jelas perlu membantu, mendukung dan memperluas apapun kegiatan atau ide-ide yang dikemukakan oleh kelompok pendukung Perppu No. 2/2017 yang muncul dari beragam kalangan mulai dari organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, Parpol sampai NGO dan akademisi, karena sejatinya mereka juga memperlancar tugas-tugas yang dilaksanakan oleh beragam Satgas yang dibentuk K/L dalam "mengamankan" kebijakan terkait Perppu No. 2/2017.
Jika K/L mendukung dan membantu kegiatan kelompok pendukung Perppu No. 2/2017, maka setidaknya ada beberapa tujuan yang akan diperoleh K/L antara lain: Pertama, sarana untuk menyerap aspirasi, respons dan pemikiran dari kalangan Ormas terutama pendukung Perppu No. 2/2017. Hal ini juga dapat dijadikan masukan oleh pemerintah dalam mengevaluasi pelaksanaannya. Kedua, memanage kalangan pendukung Perppu No. 2/2017 untuk tetap bersatu dan solid. Ketiga, terkonsolidasikannya dan pemberdayaan kelompok pendukung Perppu No. 2/2017.
*) Penulis adalah peneliti muda di Cersia, Jakarta.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017