Bagi Guntur Wijanarko, atlet para-atletik nomor lari tunanetra dari Jawa Tengah Muhammad Dimas Ubaidillah sudah seperti adiknya sendiri karena mereka nyaris tidak terpisahkan sejak tahun 2019.
Semuanya berawal ketika Guntur diminta untuk bermitra dengan Dimas sebagai guide atau pendamping. Sebagai atlet dengan kebutaan total, Dimas memang memerlukan panduan untuk berlari di lintasan.
Guntur, yang ketika itu baru setahun menekuni karier sebagai atlet lari jarak pendek, menerima tawaran tersebut meski belum pernah menjadi seorang pendamping.
Pada mulanya, semua terasa sulit. Guntur harus banyak menyesuaikan diri dan menekan ego demi Dimas. Laki-laki berusia 27 tahun itu tidak mau Dimas merasa tidak nyaman dengan kehadirannya karena itu dapat mengganggu performa.
Hari demi hari terlewati. Guntur dan Dimas semakin rutin berlatih bersama. Gerakan mereka mulai harmonis, kecepatan langkah pun pelan-pelan senada.
Tugas Guntur adalah untuk beradaptasi dengan gerakan Dimas di lintasan. Misalnya, ketika Dimas mulai menapak dengan kaki kanan, Guntur mesti melangkahkan kaki kiri. Hal yang sama berlaku pula untuk gerak tangan mereka yang terikat dengan tali kala berlari.
Sesuatu yang tampak sederhana itu ternyata sangat rumit dilakukan. Butuh waktu berbulan-bulan hingga tahun untuk menemukan ritme yang pas.
"Dan, sebagai guide kita tidak boleh mendahului atlet atau sebaliknya, jangan sampai atlet yang berada di depan," ujar Guntur.
Bukan cuma itu, atlet yang merebut medali perunggu nomor lari estafet 4x400 meter putra PON 2024 tersebut juga menekankan pentingnya komunikasi dengan atlet tunanetra yang mereka dampingi.
Komunikasi yang dilakukan dengan suara itu vital karena atlet tunanetra tidak dapat mengetahui medan di sekelilingnya. Di sinilah guide menjadi "mata" mereka dan menginformasikan apa saja yang terjadi di lintasan.
Guide pun mesti aktif memberikan informasi ketika berlari contohnya mengatakan "lurus", "belok" dan, saat tertinggal dari lawan, ada instruksi seperti "lebih cepat".
"Saya hampir tidak pernah memberikan memberikan kata-kata motivasi atau semangat ketika berlari. Saya tahu semangat mereka sudah berkobar. Daripada begitu saya lebih baik fokus mengatur napas dan ritme," tutur Guntur.
Guna semakin mempererat ikatan batin (chemistry) dengan Dimas, Guntur sering mengajak atlet berumur 21 tahun itu untuk sekadar berjalan-jalan.
Guntur pun mendekatkan diri ke keluarga Dimas, di mana dia diterima dengan hangat. Mereka pun selalu sekamar ketika harus menjalani pemusatan latihan dan turnamen.
Guntur sudah mendampingi Dimas sebagai guide di banyak kompetisi termasuk di Asian Youth Para Games 2021 di Bahrain, di mana Dimas meraih medali emas dan perak serta ASEAN Para Games 2023, kala Dimas merebut dua medali perak dan satu perunggu.
Terkini, mereka berkolaborasi di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2024 dan sukses menjadi yang terbaik di nomor estafet 4x100 meter T11-T13 putra. T11 merupakan klasifikasi untuk atlet dengan kebutaan total.
"Hubungan saya dan Dimas dekat, bisa dikatakan seperti kakak dan adik. Kalau dia sakit, saya bisa stres. Begitu Dimas gagal melampaui target, saya juga ikut sedih," kata Guntur.
Kebersamaan yang dalam dengan Guntur membuat Dimas Ubaidillah mengaku kurang nyaman bila harus berganti guide saat harus berlomba lari meski sejatinya pihak National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) Jawa Tengah menyediakan guide cadangan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Bagi dirinya, Guntur sosok yang tepat menjadi pendamping dirinya di lintasan.
"Saya dan Mas Guntur itu cocok karena dia setinggi saya dan larinya kencang. Kalau sedang tidak berlatih atau menjalani turnamen kami sering keluar, makan, nongkrong di angkringan. Kami sekamar terus. Jadi kalau guide saya diganti rasanya kurang nyaman," ujar Dimas.
Tepuk tangan
Di nomor lompat jauh tunanetra total atau klasifikasi T11, sosok guide atau pendamping berperan krusial untuk menuntun sang atlet supaya dapat mendarat di bak pasir dengan sempurna.
Defritus Dameritus Benu, guide lompat jauh kontingen Nusa Tenggara Timur (NTT) di Peparnas 2024, menekankan bahwa di lompat jauh, guide memberikan pengarahan melalui tepukan tangan.
Dalam pertandingan, Defritus menggambarkan, atlet lompat jauh tunanetra pertama-tama mesti mengetahui jarak dari balok tumpuan lompat ke lokasi start di mana mereka mulai berlari untuk menemukan momentum. Untuk atlet tunanetra, jarak itu diukur dengan langkah.
Begitu tiba di area start, guide akan membantu atlet untuk meluruskan posisinya dengan bak pendaratan.
Setelah arah posturnya sudah tepat, atlet akan berlari dengan menghitung jumlah langkah mereka. Saat proses itu berlangsung, guide menuntun atlet dengan tepukan tangan. Semakin dekat ke titik lompat, tepukan akan semakin cepat dan atlet berlari semakin kencang lalu melompat sesuai dengan hitungan yang sudah dilakukan sebelumnya.
"Untuk melatih ini, kami memerlukan waktu lebih dari enam bulan. Itu memang sulit dilakukan untuk atlet tunanetra," ujar Defritus.
Di tengah banyak tantangan, pria yang sudah berusia 61 tahun itu mengaku sangat senang bisa menjadi guide untuk atlet disabilitas khususnya tunanetra.
Pensiunan guru sekolah luar biasa (SLB) di Kupang itu mengaku belajar banyak dari perannya sebagai guide di NPCI NTT.
"Saya merasakan sukacita luar biasa. Anak-anak saya ini dapat berprestasi dengan keterbatasan mereka. Mereka ini banyak yang dipandang sebelah mata oleh orang lain. Namun bagi saya, semua manusia sama di hadapan Tuhan, setara di depan pemerintah. Jadi saya melayani mereka dengan senang hati," tutur Defritus.
Sementara guide lari untuk atlet tunanetra dari Papua Barat Daya Irfan Dzulvikar Waroka menggarisbawahi, ketika bersama atletnya, seorang guide tidak bisa mengedepankan kehendak sendiri.
"Guide harus menggunakan hati dan perasaan atletnya," kata Irfan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024