Bogor (Antara Megapolitan) - Dalam perjalanan penelitiannya, Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB), Prof. Dr. Muhamad Syukur, SP, M.Si ini fokus melakukan penelitian pada komoditas cabai, di samping beberapa tanaman pangan lainnya yang sudah dilakukan sejak tahun 2003.

Hingga tahun 2012, sebanyak 18 varietas mendapat sertifikat dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) dan/atau telah dilepas oleh Menteri Pertanian RI. Sedangkan, beberapa varietas cabai unggul yang pernah dirakit diantaranya Cabai IPB CH3, Pesona IPB dan cabai pelangi.
 
''Komoditas yang utama ada cabai, tomat, kacang panjang, okra, kemudian terong. Saya merakit cabai sejak 2003. Awalnya adalah cabai besar untuk keperluan industri kemudian cabai keriting, cabai rawit, dan terakhir  cabai hias,'' ungkap Prof. Syukur.

Cabai IPB CH3 dan Pesona IPB diluncurkan oleh Rektor IPB dan Menteri Pertanian RI pada Oktober 2010. Keunggulan cabai IPB CH3 adalah produktivitas tinggi , umur panen lebih cepat, kepedasan tinggi (2-3 kali kepedasan cabai biasa), sehingga cocok untuk industri saos.
 
Pesona IPB mempunyai keunggulan produktivitas tinggi ukuran buah panjang, kepedasan tinggi (hampir sepuluh kali kepedasan cabai biasa) dan dirakit menggunakan sumberdaya genetik lokal.

IPB CH3 masuk dalam 103 Inovasi Indonesia tahun 2011 dengan judul ''IPB CH3: Merah, Besar, Pedas, Berkualitas'', sedangkan Pesona IPB masuk dalam 104 Inovasi Indonesia tahun 2012 dengan judul ''Cabai Pesona IPB: Panjang, Pedas nan Mempesona''.

Benih IPB CH3 dan Pesona IPB diperbanyak dan dikomersialkan oleh Darmaga Seed IPB.
 
Salah satu hasil rakitan Prof.Syukur yang lain adalah cabai pelangi yang memiliki fungsi yang unik, selain cabai hias juga dapat dikonsumsi serta dapat menjadi solusi dalam fluktuasi harga cabai.

''Saya melihat bahwa fluktuasi harga cabai itu lebih disebabkan oleh suplay dan demand (ketersediaannya dan kebutuhannya),'' ungkap Prof. Syukur.
 
Fluktuasi harga cabai itu sebetulnya adalah karena rumah tangga. Kalau industri sudah fix mereka industri sudah mengambil 30 persen dari total produksi sisanya adalah rumah tangga.

''Nah kalau rumah tangga, kalau kita ingin mengatasi fluktuasi harga maka rumah tangga harus mandiri pangan. Jadi kalau rumah tangga bisa menanam lima sampai sepuluh pot secara periodik maka dalam setahun mereka tidak perlu lagi membeli cabai. Cabai itu nanti untuk keperluan industri saja. Agar rumah tangga tertarik menanam cabai, maka saya buat cabainya bisa ditanam di dalam pot dan berupa cabai hias agar menarik,'' jelas Prof. Syukur.

Cabai hias memiliki ukuran yang pendek, dapat ditanam di dalam pot, menarik untuk dilihat serta bisa dikonsumsi jika buahnya sudah tua.

Warna pelangi merupakan daya tarik tersendiri dari cabai ini.

Fase pertumbuhan buah dari  tanaman cabai ini akan menyebabkan ekspresi warna yang berbeda.

Mulai dari warna ungu, lalu keluar warna hijau dan merah, dari warna kuning, keluar warna ungu, keluar warna orange atau putih dan terakhir merah. Jadi itu  fase dari pertumbuhan buah sampai dia menjadi merah.

Karena masing-masing nut (cabang) itu mengeluarkan bunga yang berbeda-beda dengan bertahap, mulai dari cabang bawah muncul, seminggu kemudian muncul cabang kedua, seminggu kemudian cabang ketiga, seminggu kemudian cabang keempat, sementara yang pertama sudah berumur satu bulan dan yang terakhir baru berumur seminggu akibatnya ada degradasi warna.

Dalam satu tanaman itu akan mempunyai warna yang berbeda-beda karena ada variasi umur buah itu. Tahapan pertumbuhan buah ini yang menyebabkan cabai ini disebut cabai pelangi.

''Kita dapat mengkonsumsi buah cabai yang warna ungu yang antosianinnya lebih tinggi.  Dengan mengkonsumsi cabai dari satu tanaman cabai, kita mendapatkan asupan pangan dengan kandungan gizi beragam. Itulah cabe hias selain bagus ditanam dalam pot, juga untuk mengatasi fluktuasi harga,'' tandasnya. (IRM/ris)

Pewarta: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017