Bogor (Antara Megapolitan) - Dessy Adventamia, Mahasiswa Departemen Teknologi dan Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) membuat sensor kimia bentuk stik untuk deteksi zat perwarna makanan pada bahan pangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2016. Bertempat di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Slipi, Jakarta Pusat.

Zat pewarna makanan merupakan suatu senyawa berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap benda yang diwarnainya.

Pewarna yang sering digunakan untuk mewarnai produk makanan adalah pewarna sintetik rhodamin B. Rhodamin B merupakan zat warna yang dilarang penggunaannya di Indonesia karena mengandung senyawa karsinogen yang berbahaya bagi tubuh bila dikonsumsi oleh manusia.

Bahan tambahan makanan yang sering digunakan masyarakat salah satunya adalah bahan pewarna. Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami).

Zat warna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral.

Pewarna makanan alami sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, misalnya daun suji, kunyit, kesumba dan sebagainya.

Pewarna makanan sintetik pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia.
 
Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.

Bahan tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan misalnya amaran, auramin, methanyl yellow dan rhodamin B.

Rhodamin B termasuk golongan xanthenes dyes yang digunakan pada industri tekstil dan kertas. Nama lain rhodamin B adalah D and C Red no 19.

Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, dan Brilliant Pink. Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B misalnya menyebabkan iritasi bila terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit serta sifatnya yang karsinogen juga dapat menyebabkan kanker.

Analisis rhodamin B umumnya banyak dilakukan secara kuantitatif seperti menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan High Performance Liquid Chromatography(HPLC) serta metode sensor potensiometri yang menggunakan Elektroda Selektif Ion (ESI).

Metode-metode tersebut dalam pengaplikasiannya bagi kebanyakan masyarakat sangat mahal dan masih terlalu rumit karena membutuhkan serangkaian proses yang cukup panjang.

Penggunaan sensor kimia dalam bentuk stik memiliki beberapa keunggulan diantaranya mudah digunakan, membutuhkan reagen dalam jumlah sedikit, lebih sederhana, dan akurat.

Metode yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi rhodamin B pada daging ikan nila merah dan terasi dengan sensor kimia dalam bentuk stik dan melakukan penentuan keakuratan stik sensor menggunakan Zn(SCN)2 sebagai reagennya.

Sedangkan sampel yang diuji yaitu daging sebanyak 20 g yang sebelumnya telah direndam larutan rhodamin B sebanyak 40 mL (konsentrasi 10 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 100 ppm) dengan lama perendamam 2 jam dan rhodamin B 50 ppm dengan lama perendaman 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis pada sampel yang mengandung rhodamin B menunjukkan bahwa stik sensor mampu untuk mengidentifikasi kandungan zat pewarna berbahaya tersebut dengan penampakan stik berwarna violet.

Pengaplikasian stik sensor pada sampel terasi menunjukkan bahwa dari 7 merek terasi ditemukan satu yang positif. Stik sensor tersebut juga mempunyai nilai keakuratan sebesar 88,74 %. (AT/Zul)

Pewarta: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017