Membangun peradaban sebuah bangsa yang menjunjung tinggi budaya antikorupsi tidak bisa dilakukan dalam semalam, tetapi butuh waktu lama, sarat konsistensi, serta harus ditanamkan sejak dini kepada setiap anak bangsa.
Institusi yang bersentuhan langsung dengan pendidikan generasi muda dan paling tepat untuk menanamkan bibit antikorupsi sejak dini selain keluarga adalah sekolah.
Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi sekolah untuk bersih dari segala perilaku koruptif. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan masih ada sekolah yang melakukan praktik koruptif dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Temuan maraknya praktik kecurangan pada proses penyelenggaraan PPDB terungkap dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 dengan responden terdiri atas peserta didik, wali murid, tenaga pendidik, dan pimpinan instansi pendidikan. Survei itu mengukur tiga aspek utama, yaitu karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan, dan risiko korupsi pada tata kelola pendidikan.
Survei oleh KPK mengungkapkan ada 24,6 persen guru yang mengatakan ada siswa yang diterima di sekolahnya lantaran memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah.
SPI Pendidikan 2023 KPK juga mengungkapkan sebanyak 42,4 persen guru menyatakan ada siswa yang sebenarnya tidak layak diterima di sekolah tersebut, namun pada akhirnya diterima karena memberikan sesuatu.
Mengingat banyaknya jumlah sekolah yang ada di Indonesia, temuan KPK tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata sehingga harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.
KPK bahkan mengungkapkan ada pihak yang menyindir bahwa sebelumnya penerimaan siswa baru bisa menggunakan jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan mutasi, namun kini ada jalur baru yakni gratifikasi.
Sindiran tersebut muncul tentu saja karena ada penyebabnya. Oleh karena itu harus ditanggapi dengan bijaksana agar tidak ada lagi praktik lancung di lembaga pendidikan di masa depan.
Segala perilaku koruptif seharusnya tidak punya tempat dan tidak boleh dibiarkan terjadi di dunia pendidikan karena segala hal yang terjadi selama para siswa mengenyam pendidikan akan terbawa pada saat mereka terjun ke masyarakat.
Para siswa tidak hanya belajar lewat buku selama duduk di bangku sekolah. Segala hal yang mereka lihat dan alami selama bersekolah akan menjadi contoh lalu terekam di dalam ingatan mereka untuk selamanya.
Dalam fase ini, yang harus ditanamkan adalah nilai-nilai integritas, bukan perilaku koruptif dari pihak yang berkepentingan di bidang ini.
Apabila para siswa terus terpapar pada perilaku koruptif, jangan heran jika pada akhirnya hal itu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk mereplikasi tindakan-tindakan koruptif di tempat lain.
Perbuatan orang tua siswa yang menghalalkan segala cara untuk memasukkan putra dan putri mereka ke sekolah yang sejatinya bukan hak mereka, bisa saja menjadi contoh bagi anak-anak tersebut untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Hal seperti mencontek yang kadang dianggap sebagai hal sepele, pada hakikatnya adalah sebuah perilaku koruptif yang bisa menular dan mendorong siswa lain melakukan hal serupa.
Perilaku koruptif lainnya yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan adalah terkait dengan kedisiplinan, antara lain, siswa atau guru datang tidak tepat waktu atau tidak hadir tanpa alasan yang bisa diterima.
Dari sini bisa terlihat jelas betapa penting peran faktor lingkungan dalam membentuk perilaku para siswa. Apabila yang ditanamkan adalah bibit antikorupsi, hasilnya akan membawa kebaikan untuk semua. Namun jika yang tertanam adalah perilaku koruptif akan ada banyak yang dirugikan di masa depan.
Satu hal lain yang menjadi sorotan KPK adalah soal kebiasaan atau tradisi orang tua siswa untuk memberikan sesuatu kepada guru agar anaknya bisa mendapatkan apresiasi tertentu dari gurunya. Yang paling umum adalah agar anak diberi nilai bagus.
Benih-benih korupsi tidak boleh ada di dunia pendidikan yang sakral untuk menuntut ilmu bagi para pemuda yang nantinya akan menjadi tulang punggung bangsa.
Bisa dipastikan dalam setiap generasi siswa baru, kelak ada siswa yang bakal menjadi pejabat, baik di instansi pemerintah maupun swasta.
Apabila anak-anak ini sejak awal telah terpapar praktik culas dan korup, jangan heran mereka kelak juga tidak akan takut melakukan tindakan yang merusak karakter bangsa tersebut.
Demi efektivitas penguatan praktik antikorupsi di sekolah, dosen Program Studi Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, menyarankan pendidikan dan pembelajaran antikorupsi sudah selayaknya bergeser dari sekadar teori tanpa banyak aksi riil menjadi pembelajaran yang sampai pada melakukan aksi riil mencegah dan melawan praktik korupsi.
"... Pendidikan dan pembelajaran antikorupsi hendaknya juga tidak bertele-tele membahas pengertian-pengertian dan norma-norma atau moralitas saja, tetapi harus mengajak siswa untuk aktif mencari informasi dan kemudian merumuskan aksi, melakukan aksi, dan refleksi," ujar Edi pada makalah "Pendidikan Antikorupsi Perspektif Pedagogi Kritis" dalam "Integritas: Jurnal Antikorupsi".
Dengan begitu, pendidikan antikorupsi akan memiliki daya ubah dan daya dobrak, termasuk dan terutama terhadap kultur korup yang masih ada di beberapa sekolah.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip pedagogi kritis ini pula, menurut Edi, pembelajaran antikorupsi jadi lebih punya makna bagi siswa karena mereka punya pengalaman riil bersikap tegas dalam mencegah dan melawan praktik korupsi.
Bergerak bersama
Komisi antirasuah selalu menyuarakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh KPK sendirian. Seluruh lapisan masyarakat harus bergerak bersama untuk membasmi praktik korupsi.
Pernyataan KPK itu bukan sekadar ajakan basa basi. Jika melihat lebih dekat ada bibit korupsi yang sangat dekat dengan masyarakat dan harus dibasmi sejak dini, salah satunya adalah yang terjadi di dunia pendidikan.
Apabila orang tua dan guru bisa menanamkan sikap dan pendidikan antikorupsi di rumah dan sekolah, korupsi pada akhirnya tidak akan punya tempat di Indonesia.
Semua orang pasti sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan bersama-sama meski perjalanan menuju Indonesia bebas korupsi memang terjal dan banyak rintangan.
Namun satu hal yang pasti adalah titik awal menuju Indonesia bebas korupsi sudah ada di depan mata, garis start itu ada di keluarga dan sekolah.
Sekarang saatnya bagi para orang tua dan guru untuk mengambil langkah pertama dengan menuju Indonesia bebas korupsi dengan menolak segala tindakan koruptif di dunia pendidikan.
Mungkin bibit antikorupsi di dunia pendidikan yang kita tanam saat ini tidak bisa langsung dinikmati, namun manisnya buah antikorupsi akan menjadi hadiah dari kita kepada generasi penerus bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Institusi yang bersentuhan langsung dengan pendidikan generasi muda dan paling tepat untuk menanamkan bibit antikorupsi sejak dini selain keluarga adalah sekolah.
Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi sekolah untuk bersih dari segala perilaku koruptif. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan masih ada sekolah yang melakukan praktik koruptif dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Temuan maraknya praktik kecurangan pada proses penyelenggaraan PPDB terungkap dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 dengan responden terdiri atas peserta didik, wali murid, tenaga pendidik, dan pimpinan instansi pendidikan. Survei itu mengukur tiga aspek utama, yaitu karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan, dan risiko korupsi pada tata kelola pendidikan.
Survei oleh KPK mengungkapkan ada 24,6 persen guru yang mengatakan ada siswa yang diterima di sekolahnya lantaran memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah.
SPI Pendidikan 2023 KPK juga mengungkapkan sebanyak 42,4 persen guru menyatakan ada siswa yang sebenarnya tidak layak diterima di sekolah tersebut, namun pada akhirnya diterima karena memberikan sesuatu.
Mengingat banyaknya jumlah sekolah yang ada di Indonesia, temuan KPK tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata sehingga harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.
KPK bahkan mengungkapkan ada pihak yang menyindir bahwa sebelumnya penerimaan siswa baru bisa menggunakan jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan mutasi, namun kini ada jalur baru yakni gratifikasi.
Sindiran tersebut muncul tentu saja karena ada penyebabnya. Oleh karena itu harus ditanggapi dengan bijaksana agar tidak ada lagi praktik lancung di lembaga pendidikan di masa depan.
Segala perilaku koruptif seharusnya tidak punya tempat dan tidak boleh dibiarkan terjadi di dunia pendidikan karena segala hal yang terjadi selama para siswa mengenyam pendidikan akan terbawa pada saat mereka terjun ke masyarakat.
Para siswa tidak hanya belajar lewat buku selama duduk di bangku sekolah. Segala hal yang mereka lihat dan alami selama bersekolah akan menjadi contoh lalu terekam di dalam ingatan mereka untuk selamanya.
Dalam fase ini, yang harus ditanamkan adalah nilai-nilai integritas, bukan perilaku koruptif dari pihak yang berkepentingan di bidang ini.
Apabila para siswa terus terpapar pada perilaku koruptif, jangan heran jika pada akhirnya hal itu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk mereplikasi tindakan-tindakan koruptif di tempat lain.
Perbuatan orang tua siswa yang menghalalkan segala cara untuk memasukkan putra dan putri mereka ke sekolah yang sejatinya bukan hak mereka, bisa saja menjadi contoh bagi anak-anak tersebut untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Hal seperti mencontek yang kadang dianggap sebagai hal sepele, pada hakikatnya adalah sebuah perilaku koruptif yang bisa menular dan mendorong siswa lain melakukan hal serupa.
Perilaku koruptif lainnya yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan adalah terkait dengan kedisiplinan, antara lain, siswa atau guru datang tidak tepat waktu atau tidak hadir tanpa alasan yang bisa diterima.
Dari sini bisa terlihat jelas betapa penting peran faktor lingkungan dalam membentuk perilaku para siswa. Apabila yang ditanamkan adalah bibit antikorupsi, hasilnya akan membawa kebaikan untuk semua. Namun jika yang tertanam adalah perilaku koruptif akan ada banyak yang dirugikan di masa depan.
Satu hal lain yang menjadi sorotan KPK adalah soal kebiasaan atau tradisi orang tua siswa untuk memberikan sesuatu kepada guru agar anaknya bisa mendapatkan apresiasi tertentu dari gurunya. Yang paling umum adalah agar anak diberi nilai bagus.
Benih-benih korupsi tidak boleh ada di dunia pendidikan yang sakral untuk menuntut ilmu bagi para pemuda yang nantinya akan menjadi tulang punggung bangsa.
Bisa dipastikan dalam setiap generasi siswa baru, kelak ada siswa yang bakal menjadi pejabat, baik di instansi pemerintah maupun swasta.
Apabila anak-anak ini sejak awal telah terpapar praktik culas dan korup, jangan heran mereka kelak juga tidak akan takut melakukan tindakan yang merusak karakter bangsa tersebut.
Demi efektivitas penguatan praktik antikorupsi di sekolah, dosen Program Studi Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, menyarankan pendidikan dan pembelajaran antikorupsi sudah selayaknya bergeser dari sekadar teori tanpa banyak aksi riil menjadi pembelajaran yang sampai pada melakukan aksi riil mencegah dan melawan praktik korupsi.
"... Pendidikan dan pembelajaran antikorupsi hendaknya juga tidak bertele-tele membahas pengertian-pengertian dan norma-norma atau moralitas saja, tetapi harus mengajak siswa untuk aktif mencari informasi dan kemudian merumuskan aksi, melakukan aksi, dan refleksi," ujar Edi pada makalah "Pendidikan Antikorupsi Perspektif Pedagogi Kritis" dalam "Integritas: Jurnal Antikorupsi".
Dengan begitu, pendidikan antikorupsi akan memiliki daya ubah dan daya dobrak, termasuk dan terutama terhadap kultur korup yang masih ada di beberapa sekolah.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip pedagogi kritis ini pula, menurut Edi, pembelajaran antikorupsi jadi lebih punya makna bagi siswa karena mereka punya pengalaman riil bersikap tegas dalam mencegah dan melawan praktik korupsi.
Bergerak bersama
Komisi antirasuah selalu menyuarakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh KPK sendirian. Seluruh lapisan masyarakat harus bergerak bersama untuk membasmi praktik korupsi.
Pernyataan KPK itu bukan sekadar ajakan basa basi. Jika melihat lebih dekat ada bibit korupsi yang sangat dekat dengan masyarakat dan harus dibasmi sejak dini, salah satunya adalah yang terjadi di dunia pendidikan.
Apabila orang tua dan guru bisa menanamkan sikap dan pendidikan antikorupsi di rumah dan sekolah, korupsi pada akhirnya tidak akan punya tempat di Indonesia.
Semua orang pasti sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan bersama-sama meski perjalanan menuju Indonesia bebas korupsi memang terjal dan banyak rintangan.
Namun satu hal yang pasti adalah titik awal menuju Indonesia bebas korupsi sudah ada di depan mata, garis start itu ada di keluarga dan sekolah.
Sekarang saatnya bagi para orang tua dan guru untuk mengambil langkah pertama dengan menuju Indonesia bebas korupsi dengan menolak segala tindakan koruptif di dunia pendidikan.
Mungkin bibit antikorupsi di dunia pendidikan yang kita tanam saat ini tidak bisa langsung dinikmati, namun manisnya buah antikorupsi akan menjadi hadiah dari kita kepada generasi penerus bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024