Awal Juni lalu, lini masa heboh oleh kasus seorang perempuan polisi Briptu FN yang membakar suaminya sendiri, Briptu Rian Dwi Wicaksono (27), di asrama polisi Mojokerto. Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Timur mengungkapkan motif pembunuhan tersebut lantaran almarhum suami FN sering menghabiskan uang belanja sehari-hari untuk bermain judi dalam jaringan (daring).
Kasus tersebut kemudian menjadi titik balik bagi Pemerintah. Pada pertengahan Juni, Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Daring yang dikomandoi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto.
Peran satgas tersebut fokus pada tiga operasi. Pertama, yakni pembekuan rekening, kedua, penindakan jual-beli rekening, dan ketiga, penindakan terhadap transaksi pada permainan judi daring melalui isi ulang saldo di minimarket.
Sistem sosial
Dari sisi kebudayaan, antropolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Semiarto Aji Purwanto menyampaikan bahwa judi merupakan sebuah sistem sosial yang sudah lekat dengan budaya masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Dari sisi kebudayaan, aktivitas berjudi sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Semiarto menjelaskan ada dua definisi berbeda terkait judi di dalam ilmu antropologi. Pertama, gambling atau judi, kedua, betting atau taruhan.
Taruhan itu, misalnya, dalam pertandingan bola, antara satu kawan dengan yang lainnya saja, kalau judi lebih terorganisasi dan biasanya sudah sangat terstruktur.
Sebagai sebuah sistem sosial, judi tidak bisa dihapus sepenuhnya dari budaya masyarakat Indonesia. Semiarto pun menyebutkan salah satu penelitian dari seorang antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang telah banyak meneliti sistem sosial di Jawa dan Bali, termasuk salah satunya tentang sabung ayam. Adapun di Jawa, masyarakat lebih akrab dengan istilah totohan atau taruhan.
Ada dua hal yang digarisbawahi Semiarto dalam aktivitas berjudi yang telah melekat dengan budaya masyarakat, yakni solidaritas dan harapan. Kedua hal tersebut membuat judi sulit diberantas dari sistem tatanan sosial.
“Menghilangkan judi, sabung ayam, misalnya, sama dengan menghilangkan gagasan-gagasan yang ada di komunitas itu. Gagasan dalam sabung ayam itu ada harapan, di sana yang bermain tidak hanya pejudinya, tetapi yang menonton juga ikut bertaruh, mereka meletakkan kepercayaan pada satu sama lain,” paparnya.
Sabung ayam dalam penelitian Clifford Geertz juga menunjukkan aspek yang kompleks dari kedekatan kebudayaan. Sama halnya dengan tradisi totohan di Jawa, yang mengedepankan solidaritas, di mana kedekatan dapat menentukan apakah seseorang layak menerima modal lebih besar berdasarkan tingkat kepercayaan sesama rekan penjudi.
Dalam penelitian Clifford Geertz terkait dengan hierarki sosial, perjudian itu story they tell themselves about themselves, atau cerita yang mereka ceritakan tentang diri mereka sendiri. Jadi, menurut dia, yang bertaruh bukan hanya yang punya jago, yang menonton juga bertaruh. Maka, judi itu salah satu cerita yang menggambarkan kehidupan mereka.
Judi yang sudah melekat dalam tatanan sosial tersebut membuat keberadaannya tidak bisa dihapus begitu saja karena sudah masuk ke dalam tatanan nilai, struktur sosial, dan tatanan kehidupan sehari-hari.
Apalagi ketika sudah menjadi industri, perputaran uang di dalam judi menjadi semakin besar, bahkan melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat dan berpengaruh di lingkungan sekitar.
“Di level yang lebih tinggi, perusahaan-perusahaan itu bahkan sudah memiliki kerangka hukum, biasanya (arena judi) ditutup dengan arena ketangkasan atau hiburan, ada entitas legalnya. Jadi kalau ditangkap, mereka bisa bilang bahwa mereka sudah punya izin. Jadi, ini sudah saling terikat satu sama lain, sistem yang rumit, tidak akan bisa akan hilang begitu saja,” paparnya.
Kebijakan melindungi masyarakat rentan
Para ahli antropologi dunia menilai bahwa judi adalah permainan yang membutuhkan kemampuan atau skill tingkat rendah (low skill games), karena hanya akan menghasilkan tiga kemungkinan yaitu menang, kalah, atau seri.
“Judi yang low skill itu, kita sangat familier, biasanya menggunakan metakomunikasi sinyal, atau sinyal-sinyal meta-komunikatif. Kita melihat perilaku binatang tertentu, serombongan burung berputar beberapa kali, angka-angkanya ketemu, lalu dipasang angkanya, kita menerjemahkan itu sebagai isyarat dan tanda-tanda, itulah yang ditemukan di tengah masyarakat sehari-hari,” kata Semiarto.
Mengingat judi telah menjadi sebuah sistem keyakinan, ia menilai bahwa sangat sulit untuk menghilangkan judi sepenuhnya. Namun, yang ingin ditekankan yakni mengurangi dampak judi daring pada kelompok-kelompok marjinal.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budie Arie Setiadi bahkan mengungkap salah satu modus baru judi daring yang bisa diakses melalui deposit pulsa. Akses terhadap judi daring cukup dengan pulsa tersebut membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi lebih mudah mengakses dan semakin rentan terpapar judi daring.
Untuk membasmi judi daring hingga ke akarnya memang cukup sulit. Namun, menurutnya, langkah yang dilakukan oleh Menkominfo sudah tepat untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari judi daring pada masyarakat rentan.
“... judi daring sudah menggerogoti ketahanan masyarakat kecil, itu persoalan. Bagian yang ingin dihapus adalah judi di kalangan terbatas karena, itu dianggap menghimpun uang dari kelompok-kelompok marjinal yang seharusnya malah mendapatkan bantuan,” tuturnya.
Memperkuat peran komunitas
Kasus Briptu FN yang membakar suaminya sendiri menjadi pembelajaran akan pentingnya ketahanan keluarga dalam menghadapi paparan judi daring. Momen Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 yang jatuh pada hari ini sangat tepat untuk merefleksi kembali bahwa efek judi daring bisa berdampak sangat besar di sistem sosial yang terkecil, yakni keluarga.
Menanggapi bagaimana judi daring berpengaruh pada ketahanan keluarga, Semiarto membedakan dua peraturan yang ada di tatanan sosial. Pertama, institusi Pemerintah yang mengatur kehidupan bernegara. Kedua, institusi keluarga yang lebih menganut peraturan komunitas.
Setiap komunitas tentu memiliki sistem nilai yang berbeda, termasuk dalam kehidupan masyarakat Bali yang lekat dengan sabung ayam dan sudah disebutkan sebelumnya, beberapa komunitas masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa berjudi adalah bagian dari kebudayaan yang tidak bisa dilepas begitu saja dari kehidupan sehari-hari mereka.
“Banyak sistem masyarakat yang memperbolehkan berjudi, nonton wayang berjudi, menunggu bayi lahir juga diterapkan sistem taruhan, jadi kalau berbicara urusan domestik, penyelesaiannya bukan dengan memperkuat aturan dari negara, melainkan memperkuat peran komunitas,” ucap Semiarto.
Bentuk penyelesaian yang paling konkret yakni melalui rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Solidaritas antartetangga yang masih menjadi kekuatan di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mengurangi dampak judi daring di lingkungan keluarga, melalui edukasi, sosialisasi, yang diselipkan pada setiap pertemuan-pertemuan kecil.
Alih-alih berharap pada aturan negara atau Pemerintah melalui regulasi untuk mengatur keluarga, akan lebih relevan apabila komunitas bisa lebih memperkuat dirinya untuk membentengi diri dari pengaruh judi daring.
Melalui penguatan peran di komunitas terkecil tersebut, maka kelompok-kelompok yang rentan dapat terhindar dari pengaruh judi daring. Dengan begitu, negara bisa fokus membasmi judi daring yang sudah melibatkan institusi di level internasional, sembari komunitas memperkuat dirinya demi ketahanan keluarga yang terbebas dari judi daring.
Semiarto juga menegaskan, alih-alih saling menyalahkan siapa yang menjadi korban dan pelaku dalam jerat judi daring ini, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bisa fokus membuat kebijakan yang menghindarkan kaum-kaum rentan dari lingkaran judi daring, dengan menguatkan sistem sosial yang aman dan menjamin kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain itu, untuk mengatasi adiksi terhadap judi daring, penting untuk menyediakan bantuan psikologis yang bisa membantu para pelaku keluar dari kecanduan judi daring.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menekankan peran keluarga untuk mencegah praktik judi daring.
Menurut Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti, keluarga adalah sistem sosial terdekat yang dapat mengawasi dan membina anggotanya untuk tidak bermain judi daring.
"Keluarga itu sistem sosial yang paling dekat dengan kita. Membina, mendidik, membimbing itu berawal dari keluarga. Keluarga harus selalu mengingatkan anggota keluarganya agar jangan mendekatkan diri kepada tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang negatif, salah satunya judi daring," kata Nopian.
Menghentikan aktivitas berjudi memang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Akan tetapi, dukungan lewat tatanan sosial terkecil, yakni lingkungan tetangga, bisa memperkecil risiko kelompok rentan terseret judi.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Kasus tersebut kemudian menjadi titik balik bagi Pemerintah. Pada pertengahan Juni, Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Daring yang dikomandoi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto.
Peran satgas tersebut fokus pada tiga operasi. Pertama, yakni pembekuan rekening, kedua, penindakan jual-beli rekening, dan ketiga, penindakan terhadap transaksi pada permainan judi daring melalui isi ulang saldo di minimarket.
Sistem sosial
Dari sisi kebudayaan, antropolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Semiarto Aji Purwanto menyampaikan bahwa judi merupakan sebuah sistem sosial yang sudah lekat dengan budaya masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Dari sisi kebudayaan, aktivitas berjudi sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Semiarto menjelaskan ada dua definisi berbeda terkait judi di dalam ilmu antropologi. Pertama, gambling atau judi, kedua, betting atau taruhan.
Taruhan itu, misalnya, dalam pertandingan bola, antara satu kawan dengan yang lainnya saja, kalau judi lebih terorganisasi dan biasanya sudah sangat terstruktur.
Sebagai sebuah sistem sosial, judi tidak bisa dihapus sepenuhnya dari budaya masyarakat Indonesia. Semiarto pun menyebutkan salah satu penelitian dari seorang antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang telah banyak meneliti sistem sosial di Jawa dan Bali, termasuk salah satunya tentang sabung ayam. Adapun di Jawa, masyarakat lebih akrab dengan istilah totohan atau taruhan.
Ada dua hal yang digarisbawahi Semiarto dalam aktivitas berjudi yang telah melekat dengan budaya masyarakat, yakni solidaritas dan harapan. Kedua hal tersebut membuat judi sulit diberantas dari sistem tatanan sosial.
“Menghilangkan judi, sabung ayam, misalnya, sama dengan menghilangkan gagasan-gagasan yang ada di komunitas itu. Gagasan dalam sabung ayam itu ada harapan, di sana yang bermain tidak hanya pejudinya, tetapi yang menonton juga ikut bertaruh, mereka meletakkan kepercayaan pada satu sama lain,” paparnya.
Sabung ayam dalam penelitian Clifford Geertz juga menunjukkan aspek yang kompleks dari kedekatan kebudayaan. Sama halnya dengan tradisi totohan di Jawa, yang mengedepankan solidaritas, di mana kedekatan dapat menentukan apakah seseorang layak menerima modal lebih besar berdasarkan tingkat kepercayaan sesama rekan penjudi.
Dalam penelitian Clifford Geertz terkait dengan hierarki sosial, perjudian itu story they tell themselves about themselves, atau cerita yang mereka ceritakan tentang diri mereka sendiri. Jadi, menurut dia, yang bertaruh bukan hanya yang punya jago, yang menonton juga bertaruh. Maka, judi itu salah satu cerita yang menggambarkan kehidupan mereka.
Judi yang sudah melekat dalam tatanan sosial tersebut membuat keberadaannya tidak bisa dihapus begitu saja karena sudah masuk ke dalam tatanan nilai, struktur sosial, dan tatanan kehidupan sehari-hari.
Apalagi ketika sudah menjadi industri, perputaran uang di dalam judi menjadi semakin besar, bahkan melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat dan berpengaruh di lingkungan sekitar.
“Di level yang lebih tinggi, perusahaan-perusahaan itu bahkan sudah memiliki kerangka hukum, biasanya (arena judi) ditutup dengan arena ketangkasan atau hiburan, ada entitas legalnya. Jadi kalau ditangkap, mereka bisa bilang bahwa mereka sudah punya izin. Jadi, ini sudah saling terikat satu sama lain, sistem yang rumit, tidak akan bisa akan hilang begitu saja,” paparnya.
Kebijakan melindungi masyarakat rentan
Para ahli antropologi dunia menilai bahwa judi adalah permainan yang membutuhkan kemampuan atau skill tingkat rendah (low skill games), karena hanya akan menghasilkan tiga kemungkinan yaitu menang, kalah, atau seri.
“Judi yang low skill itu, kita sangat familier, biasanya menggunakan metakomunikasi sinyal, atau sinyal-sinyal meta-komunikatif. Kita melihat perilaku binatang tertentu, serombongan burung berputar beberapa kali, angka-angkanya ketemu, lalu dipasang angkanya, kita menerjemahkan itu sebagai isyarat dan tanda-tanda, itulah yang ditemukan di tengah masyarakat sehari-hari,” kata Semiarto.
Mengingat judi telah menjadi sebuah sistem keyakinan, ia menilai bahwa sangat sulit untuk menghilangkan judi sepenuhnya. Namun, yang ingin ditekankan yakni mengurangi dampak judi daring pada kelompok-kelompok marjinal.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budie Arie Setiadi bahkan mengungkap salah satu modus baru judi daring yang bisa diakses melalui deposit pulsa. Akses terhadap judi daring cukup dengan pulsa tersebut membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi lebih mudah mengakses dan semakin rentan terpapar judi daring.
Untuk membasmi judi daring hingga ke akarnya memang cukup sulit. Namun, menurutnya, langkah yang dilakukan oleh Menkominfo sudah tepat untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari judi daring pada masyarakat rentan.
“... judi daring sudah menggerogoti ketahanan masyarakat kecil, itu persoalan. Bagian yang ingin dihapus adalah judi di kalangan terbatas karena, itu dianggap menghimpun uang dari kelompok-kelompok marjinal yang seharusnya malah mendapatkan bantuan,” tuturnya.
Memperkuat peran komunitas
Kasus Briptu FN yang membakar suaminya sendiri menjadi pembelajaran akan pentingnya ketahanan keluarga dalam menghadapi paparan judi daring. Momen Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 yang jatuh pada hari ini sangat tepat untuk merefleksi kembali bahwa efek judi daring bisa berdampak sangat besar di sistem sosial yang terkecil, yakni keluarga.
Menanggapi bagaimana judi daring berpengaruh pada ketahanan keluarga, Semiarto membedakan dua peraturan yang ada di tatanan sosial. Pertama, institusi Pemerintah yang mengatur kehidupan bernegara. Kedua, institusi keluarga yang lebih menganut peraturan komunitas.
Setiap komunitas tentu memiliki sistem nilai yang berbeda, termasuk dalam kehidupan masyarakat Bali yang lekat dengan sabung ayam dan sudah disebutkan sebelumnya, beberapa komunitas masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa berjudi adalah bagian dari kebudayaan yang tidak bisa dilepas begitu saja dari kehidupan sehari-hari mereka.
“Banyak sistem masyarakat yang memperbolehkan berjudi, nonton wayang berjudi, menunggu bayi lahir juga diterapkan sistem taruhan, jadi kalau berbicara urusan domestik, penyelesaiannya bukan dengan memperkuat aturan dari negara, melainkan memperkuat peran komunitas,” ucap Semiarto.
Bentuk penyelesaian yang paling konkret yakni melalui rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Solidaritas antartetangga yang masih menjadi kekuatan di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mengurangi dampak judi daring di lingkungan keluarga, melalui edukasi, sosialisasi, yang diselipkan pada setiap pertemuan-pertemuan kecil.
Alih-alih berharap pada aturan negara atau Pemerintah melalui regulasi untuk mengatur keluarga, akan lebih relevan apabila komunitas bisa lebih memperkuat dirinya untuk membentengi diri dari pengaruh judi daring.
Melalui penguatan peran di komunitas terkecil tersebut, maka kelompok-kelompok yang rentan dapat terhindar dari pengaruh judi daring. Dengan begitu, negara bisa fokus membasmi judi daring yang sudah melibatkan institusi di level internasional, sembari komunitas memperkuat dirinya demi ketahanan keluarga yang terbebas dari judi daring.
Semiarto juga menegaskan, alih-alih saling menyalahkan siapa yang menjadi korban dan pelaku dalam jerat judi daring ini, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bisa fokus membuat kebijakan yang menghindarkan kaum-kaum rentan dari lingkaran judi daring, dengan menguatkan sistem sosial yang aman dan menjamin kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain itu, untuk mengatasi adiksi terhadap judi daring, penting untuk menyediakan bantuan psikologis yang bisa membantu para pelaku keluar dari kecanduan judi daring.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menekankan peran keluarga untuk mencegah praktik judi daring.
Menurut Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti, keluarga adalah sistem sosial terdekat yang dapat mengawasi dan membina anggotanya untuk tidak bermain judi daring.
"Keluarga itu sistem sosial yang paling dekat dengan kita. Membina, mendidik, membimbing itu berawal dari keluarga. Keluarga harus selalu mengingatkan anggota keluarganya agar jangan mendekatkan diri kepada tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang negatif, salah satunya judi daring," kata Nopian.
Menghentikan aktivitas berjudi memang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Akan tetapi, dukungan lewat tatanan sosial terkecil, yakni lingkungan tetangga, bisa memperkecil risiko kelompok rentan terseret judi.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024