Ken Arok dan Ken Dedes bukan semata kisah romantika terlarang yang berakhir tragis sehingga meleganda ke seluruh pelosok Nusantara.
Namun nafsu angkara untuk memperebutkan tahta menjadikan Ken Arok-Ken Dedes sebagai cerita rakyat yang diingat sepanjang masa.
Lazimnya sebuah cerita rakyat, maka lakon tersebut setidaknya harus mudah dicerna masyarakat dalam segala lapisan.
Oleh sebab itu, Ken Arok dan Ken Dedes akan sangat cocok ditampilkan di panggung ketoprak yang masih memegang pakem tradisi feodalisme masyarakat Jawa.
Panggung ketoprak sebagai salah satu cabang seni pertunjukan untuk sementara ini memang masih bisa dijumpai di pasar-pasar malam di Jawa, walau pun sangat langka.
Kalau sudah begini, maka ancaman akan pudarnya cerita rakyat sudah di depan mata. Generasi berikutnya mungkin lebih mengenal Marvel atau Captain America daripada Jaka Tingkir atau tokoh cerita rakyat lainnya yang lebih mengilhami.
Sekelompok anak negeri yang kebetulan sedang menimba ilmu di Harbin, China, merasa terpanggil untuk melestarikan cerita rakyat.
Berbekal kreativitas sesuai dengan bidangnya masing-masing, Jeremia William Chandra, Joshua Adriel Mulyanto, Ruiz Orlando Albert Witopo dan kawan-kawan mengusung Ken Arok ke panggung seni opera.
Tentu saja mereka tidak semata bertujuan untuk menaikkan gengsi Ken Arok yang biasanya dipentaskan di panggung pertunjukan ketoprak ke panggung seni opera.
Mereka tetap mempertahankan pakem-pakem feodalisme ala masyarakat Jawa seperti yang tertuang dalam naskah Pararaton pada tahun 1247 M.
Para mahasiswa Indonesia dari berbagai jurusan itu mengemas lakon Ken Arok tidak hanya menyuguhkan seni bertutur ala opera, melainkan juga penuh dengan adegan perkelahian "full body contact" ala film laga.
Di samping bekal kreativitas, mereka juga mendapatkan dukungan penuh teman-teman sekampus mereka yang berasal dari China, Rusia, India, Bangladesh, bahkan Nigeria.
Sebanyak 25 mahasiswa selain yang berasal dari Indonesia itu terjaring setelah mengikuti serangkaian audisi yang digelar secara terbuka oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) Cabang Harbin sejak November 2016.
Mereka dianggap yang terbaik dan layak mendapatkan kesempatan tampil dalam "Ken Arok, The Legend of Cursed Keris" di gedung teater kampus Harbin Institute of Technology (HIT), Sabtu (20/5) malam.
Penawar Pergantian Musim
Pertunjukan seni yang diusung para mahasiswa Indonesia di ibu kota provinsi paling utara China yang berbatasan langsung dengan Rusia itu tidak semata memukau perhatian publik setempat.
Melainkan juga menjadi penawar bagi warga kota yang musim dinginnya lebih lama dibandingkan wilayah lain di daratan Tiongkok saat menghadapi musim panas.
Delapan bulan diliputi musim dingin dengan intensitas hujan salju yang relatif lebih tinggi membuat warga setempat tidak banyak melakkukan aktivitas di luar.
Dalam beberapa hari terakhir Kota Harbin yang berjuluk "Oriental of Moscow" itu bergeliat.
Berbagai aktivitas di luar rumah mulai terlihat, bahkan di kampus-kampus juga mulai padat kegiatan di luar perkuliahan.
Opera Ken Arok bukan satu-satunya seni pertunjukan di kampus HIT yang digelar pada hari itu. Setidaknya ada dua kegiatan pentas seni pada hari yang sama.
Namun gedung teater yang berada di lantai II pusat aktivitas masyarakat HIT berkapasitas 300 orang itu penuh.
Selain mahasiswa mancanegara dan civitas akademika serta anggota PPIT Harbin, para penonton pertunjukan itu juga berasal dari kalangan warga setempat.
Meskipun narasi yang dibawakan menggunakan bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin melalui dua layar monitor di dua sisi depan panggung, para penonton tak henti-hentinya berdecak kagum.
Mereka seakan tidak percaya, jika para pelajar Indonesia yang usianya baru menginjak 20-an itu bisa memainkan adegan laga secara total bersama pelajar asing.
Joshua yang memerankan Ken Arok, Ruiz (Anusapati), dan Albert (Kebo Ijo) secara kebetulan menguasai seni beladiri sehingga kalau pun mereka harus saling pukul dan saling banting di atas panggung bukan pekerjaan susah.
"Tetapi kami melakukan latihan berkali-kali agar tidak sampai celaka," tutur Joshua, Ketua PPIT Harbin yang mahir kungfu itu.
Penampilan dara-dara jelita asal Rusia yang berperan sebagai selir tidak hanya mempermanis panggung berlatar budaya masyarakat Jawa pada era Kerajaan Singhasari, melainkan juga pengantar babak demi babak opera yang ditonton sekitar 350 pasang mata itu.
Bahkan, meskipun gadis-gadis itu tidak mengucapkan bahasa Jawa, penampilan mereka yang "kemayu" menghidupkan alur cerita, terutama pada adegan Ken Dedes (Tabitha Geosany Upoyo) diliputi rasa cemburu di depan suaminya Raja Tunggul Ametung (Farrel).
Bukan sesuatu yang mengherankan bila panggung di gedung teater itu kemudian berubah menjadi semrawut setelah lakon berdurasi 1 jam 15 menit itu usai.
Ratusan penonton dari berbagai latar belakang ras berebut foto dengan para pemain dan pendukung lakon tersebut.
Irfan Uddin, mahasiwa asal Bangladesh yang berperan sebagai prajurit dalam lakon, itu mendadak dikerubuti teman-teman mahasiswa senegaranya, seusai pertunjukan.
Demikian pula dengan Anthony Ebede Chinonso, mahasiswa asal Nigeria, yang mengenakan seragam prajurit kerajaan Tumapel, terlihat kewalahan menghadapi permintaan foto dari para penonton.
Para penonton juga tidak melewatkan kesempatan berfoto bersama dara-dara cantik asal Rusia yang mengenakan kemben Jawa itu.
"Saya sama sekali tak menduga, sambutan penonton sangat luar biasa seperti ini," kata Jeremi selaku sutradara "Ken Arok, The Legend of Keris."
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing, Priyanto Wibowo, tidak bisa menutupi rasa bahagia yang mengharu-biru seusai pertunjukan berlangsung.
"Peran mahasiswa Indonesia dalam mengenalkan budaya Nusantara di luar negeri sangat besar," komentarnya singkat.
Apresiasi juga ditunjukkan oleh civitas akademika HIT sebagai sebuah penghargaan yang tinggi terhadap karya seni anak bangsa.
Para pelajar Indonesia di Harbin bukan kali ini saja mementaskan cerita rakyat dalam kemasan bernuansa global.
Pada tahun lalu mereka mengusung legenda Roro Jonggrang di tempat yang sama, meskipun tidak seheboh tahun ini.
"Romantika sejenis Ken Arok-Ken Dedes di negara saya juga ada. Tapi menariknya di sini ada unsur mistis dan klenik. Inilah yang menurut saya bagian dari kekayaan budaya Indonesia," kata Julia Batorova, mahasiswi asal Rusia, setelah menyaksikan pertunjukan tersebut.
Mistis dan klenik itu pula yang mendorong Qiliang Huang dan Anastasia Sagalakova, pelajar dari China dan Rusia, rela bersaing dengan 100 mahasiswa asing lainnya agar bisa tampil sepanggung dengan mahasiswa Indonesia.
"Melalui cerita ini, saya jadi tahu apa itu keris dan bagaimana daya magisnya," kata Huang yang berperan sebagai prajurit diamini oleh Anastasia yang memerankan tokoh jin cantik penggoda Ken Arok.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Namun nafsu angkara untuk memperebutkan tahta menjadikan Ken Arok-Ken Dedes sebagai cerita rakyat yang diingat sepanjang masa.
Lazimnya sebuah cerita rakyat, maka lakon tersebut setidaknya harus mudah dicerna masyarakat dalam segala lapisan.
Oleh sebab itu, Ken Arok dan Ken Dedes akan sangat cocok ditampilkan di panggung ketoprak yang masih memegang pakem tradisi feodalisme masyarakat Jawa.
Panggung ketoprak sebagai salah satu cabang seni pertunjukan untuk sementara ini memang masih bisa dijumpai di pasar-pasar malam di Jawa, walau pun sangat langka.
Kalau sudah begini, maka ancaman akan pudarnya cerita rakyat sudah di depan mata. Generasi berikutnya mungkin lebih mengenal Marvel atau Captain America daripada Jaka Tingkir atau tokoh cerita rakyat lainnya yang lebih mengilhami.
Sekelompok anak negeri yang kebetulan sedang menimba ilmu di Harbin, China, merasa terpanggil untuk melestarikan cerita rakyat.
Berbekal kreativitas sesuai dengan bidangnya masing-masing, Jeremia William Chandra, Joshua Adriel Mulyanto, Ruiz Orlando Albert Witopo dan kawan-kawan mengusung Ken Arok ke panggung seni opera.
Tentu saja mereka tidak semata bertujuan untuk menaikkan gengsi Ken Arok yang biasanya dipentaskan di panggung pertunjukan ketoprak ke panggung seni opera.
Mereka tetap mempertahankan pakem-pakem feodalisme ala masyarakat Jawa seperti yang tertuang dalam naskah Pararaton pada tahun 1247 M.
Para mahasiswa Indonesia dari berbagai jurusan itu mengemas lakon Ken Arok tidak hanya menyuguhkan seni bertutur ala opera, melainkan juga penuh dengan adegan perkelahian "full body contact" ala film laga.
Di samping bekal kreativitas, mereka juga mendapatkan dukungan penuh teman-teman sekampus mereka yang berasal dari China, Rusia, India, Bangladesh, bahkan Nigeria.
Sebanyak 25 mahasiswa selain yang berasal dari Indonesia itu terjaring setelah mengikuti serangkaian audisi yang digelar secara terbuka oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) Cabang Harbin sejak November 2016.
Mereka dianggap yang terbaik dan layak mendapatkan kesempatan tampil dalam "Ken Arok, The Legend of Cursed Keris" di gedung teater kampus Harbin Institute of Technology (HIT), Sabtu (20/5) malam.
Penawar Pergantian Musim
Pertunjukan seni yang diusung para mahasiswa Indonesia di ibu kota provinsi paling utara China yang berbatasan langsung dengan Rusia itu tidak semata memukau perhatian publik setempat.
Melainkan juga menjadi penawar bagi warga kota yang musim dinginnya lebih lama dibandingkan wilayah lain di daratan Tiongkok saat menghadapi musim panas.
Delapan bulan diliputi musim dingin dengan intensitas hujan salju yang relatif lebih tinggi membuat warga setempat tidak banyak melakkukan aktivitas di luar.
Dalam beberapa hari terakhir Kota Harbin yang berjuluk "Oriental of Moscow" itu bergeliat.
Berbagai aktivitas di luar rumah mulai terlihat, bahkan di kampus-kampus juga mulai padat kegiatan di luar perkuliahan.
Opera Ken Arok bukan satu-satunya seni pertunjukan di kampus HIT yang digelar pada hari itu. Setidaknya ada dua kegiatan pentas seni pada hari yang sama.
Namun gedung teater yang berada di lantai II pusat aktivitas masyarakat HIT berkapasitas 300 orang itu penuh.
Selain mahasiswa mancanegara dan civitas akademika serta anggota PPIT Harbin, para penonton pertunjukan itu juga berasal dari kalangan warga setempat.
Meskipun narasi yang dibawakan menggunakan bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin melalui dua layar monitor di dua sisi depan panggung, para penonton tak henti-hentinya berdecak kagum.
Mereka seakan tidak percaya, jika para pelajar Indonesia yang usianya baru menginjak 20-an itu bisa memainkan adegan laga secara total bersama pelajar asing.
Joshua yang memerankan Ken Arok, Ruiz (Anusapati), dan Albert (Kebo Ijo) secara kebetulan menguasai seni beladiri sehingga kalau pun mereka harus saling pukul dan saling banting di atas panggung bukan pekerjaan susah.
"Tetapi kami melakukan latihan berkali-kali agar tidak sampai celaka," tutur Joshua, Ketua PPIT Harbin yang mahir kungfu itu.
Penampilan dara-dara jelita asal Rusia yang berperan sebagai selir tidak hanya mempermanis panggung berlatar budaya masyarakat Jawa pada era Kerajaan Singhasari, melainkan juga pengantar babak demi babak opera yang ditonton sekitar 350 pasang mata itu.
Bahkan, meskipun gadis-gadis itu tidak mengucapkan bahasa Jawa, penampilan mereka yang "kemayu" menghidupkan alur cerita, terutama pada adegan Ken Dedes (Tabitha Geosany Upoyo) diliputi rasa cemburu di depan suaminya Raja Tunggul Ametung (Farrel).
Bukan sesuatu yang mengherankan bila panggung di gedung teater itu kemudian berubah menjadi semrawut setelah lakon berdurasi 1 jam 15 menit itu usai.
Ratusan penonton dari berbagai latar belakang ras berebut foto dengan para pemain dan pendukung lakon tersebut.
Irfan Uddin, mahasiwa asal Bangladesh yang berperan sebagai prajurit dalam lakon, itu mendadak dikerubuti teman-teman mahasiswa senegaranya, seusai pertunjukan.
Demikian pula dengan Anthony Ebede Chinonso, mahasiswa asal Nigeria, yang mengenakan seragam prajurit kerajaan Tumapel, terlihat kewalahan menghadapi permintaan foto dari para penonton.
Para penonton juga tidak melewatkan kesempatan berfoto bersama dara-dara cantik asal Rusia yang mengenakan kemben Jawa itu.
"Saya sama sekali tak menduga, sambutan penonton sangat luar biasa seperti ini," kata Jeremi selaku sutradara "Ken Arok, The Legend of Keris."
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing, Priyanto Wibowo, tidak bisa menutupi rasa bahagia yang mengharu-biru seusai pertunjukan berlangsung.
"Peran mahasiswa Indonesia dalam mengenalkan budaya Nusantara di luar negeri sangat besar," komentarnya singkat.
Apresiasi juga ditunjukkan oleh civitas akademika HIT sebagai sebuah penghargaan yang tinggi terhadap karya seni anak bangsa.
Para pelajar Indonesia di Harbin bukan kali ini saja mementaskan cerita rakyat dalam kemasan bernuansa global.
Pada tahun lalu mereka mengusung legenda Roro Jonggrang di tempat yang sama, meskipun tidak seheboh tahun ini.
"Romantika sejenis Ken Arok-Ken Dedes di negara saya juga ada. Tapi menariknya di sini ada unsur mistis dan klenik. Inilah yang menurut saya bagian dari kekayaan budaya Indonesia," kata Julia Batorova, mahasiswi asal Rusia, setelah menyaksikan pertunjukan tersebut.
Mistis dan klenik itu pula yang mendorong Qiliang Huang dan Anastasia Sagalakova, pelajar dari China dan Rusia, rela bersaing dengan 100 mahasiswa asing lainnya agar bisa tampil sepanggung dengan mahasiswa Indonesia.
"Melalui cerita ini, saya jadi tahu apa itu keris dan bagaimana daya magisnya," kata Huang yang berperan sebagai prajurit diamini oleh Anastasia yang memerankan tokoh jin cantik penggoda Ken Arok.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017