Hiruk pikuk persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 telah berakhir. Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai “tangan kedua" Tuhan telah memberikan putusannya dalam sidang pengucapan putusan yang digelar pada 22 April 2024.
Putusan itu menyatakan bahwa seluruh permohonan yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud Md., ditolak untuk seluruhnya. Keputusan itu diambil setelah lima hakim menyatakan setuju dan tiga lainnya memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda).
Hakim juga menolak eksepsi pihak termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait, yaitu pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang pada intinya menolak permohonan kedua pihak tersebut yang meminta Mahkamah menyatakan tidak berwenang mengadili permohonan a quo.
Otomatis, Prabowo-Gibran yang memperoleh suara terbanyak dalam rekapitulasi suara Pilpres 2024, yakni sebanyak 96.214.691 suara atau 58,6 persen, bakal melenggang maju untuk memimpin Indonesia.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari pun mengonfirmasi bahwa “konsekuensi” dari adanya putusan MK tersebut adalah penetapan Prabowo-Gibran sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada 24 April 2024.
Dengan diundangkannya putusan, respons positif maupun negatif, pro maupun kontra, tumpah ruah di tengah-tengah masyarakat, baik itu melalui demonstrasi ataupun di dunia maya dengan bertebarnya pendapat-pendapat di media sosial.
Hal positif yang disoroti adalah dissenting opinion disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Dalam sejarah penanganan perkara PHPU pilpres di Indonesia yang telah digelar sebanyak empat kali, tidak pernah ada dissenting opinion dalam putusannya.
Terdapat poin-poin penting di dalam pendapat berbeda tersebut adalah saran korektif bagi badan penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi agar lembaga-lembaga itu dapat makin memperkuat independensinya demi terciptanya pesta demokrasi yang lebih baik pada masa mendatang.
Titik terang untuk pemilu lebih baik
Tiga dissenting opinion yang disampaikan itu menekankan dua poin utama, yaitu pentingnya pemilu yang berlandaskan asas jujur dan adil sebagaimana yang tercantum dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Inti dari isi permohonan yang diajukan oleh Anies-Baswedan dan Ganjar-Mahfud Md. adalah adanya dugaan kecurangan dalam masa pemilu dengan tujuan untuk menaikkan suara Prabowo-Gibran, salah satunya melalui pembagian bantuan sosial (bansos).
Apabila berkaca pada asas jujur dan adil, tuduhan pembagian bansos untuk menaikkan jumlah suara sudah menunjukkan ketimpangan karena celah dalam hukum yang mengatur, dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki privilese lebih. Padahal, asas jujur dan adil bukan hanya sekadar patuh pada aturan, tetapi juga harus ditunjukkan melalui sikap yang tidak memanfaatkan kelemahan hukum.
Aturan milik badan-badan penyelenggara pemilu yang telah dicanangkan seharusnya harus dijalankan secara sempurna. Tidak boleh ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, hal itu dinilai belum termanifestasi secara sempurna oleh ketiga hakim tersebut.
Hakim Saldi Isra menyatakan bahwa pada titik tersebut, moralitas atau etika memainkan peran penting. Persoalan tersebut seharusnya dipahami dalam suasana kebatinan oleh semua penyelenggara pemilu dan pejabat negara untuk menerapkan standar etika tertinggi (the highest moral).
Selain di dalam dissenting opinion, MK juga menyentil Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), salah satunya, di dalam pertimbangan putusan terkait dalil pemohon tentang dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh beberapa menteri.
MK menyebut laporan terhadap Mendag memang sudah ditindaklanjuti, namun bagi lembaga peradilan tersebut, Bawaslu belum memperhatikan aspek lain, seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara, maupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu.
MK menilai hal itu terjadi karena tidak adanya persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu, tidak dilakukan secara komprehensif.
Sentilan-sentilan itu menjadi pekerjaan rumah bagi Bawaslu untuk memulai lembaran baru dalam penegakan hukum pada pemilihan umum selanjutnya. Lembaga pengawas itu harus kembali menegakkan wibawanya dalam mengatasi berbagai dugaan pelanggaran pemilu.
Mengkaji perkara secara substansial
Satu hal lain yang menjadi catatan penting di dalam dissenting opinion adalah status MK yang seharusnya tak lagi mengadili perkara secara prosedural, baik dari sisi angka-angka maupun secara legalistik.
Hakim Enny Nurbaningsih dalam dissenting opinion-nya mengatakan bahwa apabila Mahkamah dibatasi untuk memeriksa angka semata, justru sama artinya dengan menurunkan derajat amanah konstitusi itu sendiri, mengingat Mahkamah harus menjaga nilai-nilai konstitusi (constitutional values) dan prinsip-prinsip demokrasi (democratic principles).
Sejak penanganan PHPU Pilpres 2004, MK tidak pernah membatasi diri untuk memeriksa dugaan kesalahan penghitungan suara semata sehingga perdebatan apakah MK hanya berwenang untuk memeriksa perselisihan angka saja seharusnya dapat diakhiri.
Hakim Arief Hidayat juga mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sepatutnya tidak boleh sekadar berhukum melalui pendekatan yang formal-legalistik-dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural.
MK dinilai perlu berhukum secara informal-nonlegalistik-ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif terhadap pelanggaran terhadap asas-asa pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Lalu, seberapa penting bagi MK untuk mengadili melalui pendekatan substansial?
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, berpendapat bahwa undang-undang tidak pernah bisa mengejar perkembangan dan perubahan yang begitu cepat. Akan selalu ada perubahan dan rasa-rasa keadilan baru yang harus direspons oleh semua insan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, apabila para hakim MK hanya menjadi corong undang-undang dengan mengadili perkara secara prosedural, maka akan tertinggal dengan perubahan zaman dan asas-asas pemilu yang jujur dan adil juga bakal terancam.
Namun, untuk mengadili secara substansial, diperlukan waktu pembuktian yang lebih panjang daripada yang telah tercantum dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2024, yaitu selama 14 hari.
Organisasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) telah melakukan pemantauan terhadap jalannya proses penanganan PHPU Pilpres. Project Manager Perludem Fadli Ramadhanil memberikan catatan penting terkait singkatnya waktu pembuktian dalam perkara tersebut, terlebih pada PHPU Pilpres 2024, permohonan yang diajukan lebih cenderung berbentuk kualitatif.
Penilaian semua rangkaian dan cerita atas pelanggaran harus didasarkan pada sebuah proses pembuktian dan cross examination yang mendalam. Cara tersebut tidak mungkin dilakukan dalam speeding trial yang hanya 14 hari. Temuan ini pun dapat menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam penentuan masa penanganan PHPU pilpres ke depan.
Harapan pada pemilu mendatang
Permasalahan yang timbul dalam proses pesta demokrasi di Indonesia pada masa mendatang mungkin saja akan semakin rumit. Zaman akan terus berkembang, begitu pula dengan paradigma di masyarakat. Penanganan mungkin saja perlu menggunakan pendekatan ilmu ataupun sikap tertentu.
Dua poin penting yang disampaikan dalam dissenting opinion hakim MK harus menjadi sebuah catatan penting dalam pelaksanaan pemilihan umum yang akan digelar di masa depan. Dengan menerapkan saran-saran perbaikan tersebut, proses demokrasi akan menjadi berkualitas dan kepercayaan publik terkait suara mereka berada di tangan yang tepat, akan meningkat.
Terlebih, masyarakat Indonesia akan memilih kepala daerah masing-masing melalui Pilkada Serentak 2024 pada tanggal 27 November mendatang. Inilah momentum penting bagi lembaga penyelenggara pemilu untuk menunjukkan kerja terbaiknya kepada publik.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024