Ketika masyarakat datang berobat ke Puskesmas, maka mereka tidak akan bertanya, apakah Puskesmas tersebut sudah terakreditasi atau belum. Bahkan kata Akreditasi sendiri mungkin belum pernah terbersit di benak mereka.

Penanganan yang cepat, layanan yang ramah dan tindakan yang aman serta bertanggungjawab menjadi harapan masyarakat untuk datang ke Puskesmas.

Sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang mudah diakses, Puskesmas sudah dilirik bukan hanya oleh masyarakat strata menengah ke bawah, tetapi juga oleh strata atas.

Apalagi dengan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menegaskan bahwa upaya pelayanan kesehatan harus berjenjang mulai dari tingkat pertama. Hanya kasus-kasus yang tidak bisa terselesaikan di puskesmas yang dapat dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan kedua atau tingkat rujukan.

Hal ini menjadi peluang bagi Puskesmas untuk unggul dalam persaingan menyediakan pelayanan kesehatan. Bertambah cerdasnya masyarakat membuat mereka tidak sekedar mencari fasilitas pelayanan yang mudah, tetapi akan berupaya mencari yang lebih memberikan kenyamanan, walaupun sedikit sulit aksesnya.

Sampai saat ini, Puskesmas menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang telah diberikan sudah sesuai dengan prosedur. Ironinya, dalam kenyataan, masih banyak keluhan masyarakat, mulai dari ketidakramahan hingga alur pelayanan yang terkesan semrawut, tidak mendahulukan pasien-pasien tertentu seperti yang berusia lanjut atau yang memiliki kebutuhan khusus dan lain-lain.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini, tetapi hasil yang diharapkan kadang belum maksimal. Satu kelemahan adalah, Puskesmas belum dapat menjalankan sistem penyelenggaraannya sesuai yang diharapkan, apalagi melakukan peningkatan mutu dari waktu ke waktu.

Sistem Penyelenggaraan Puskesmas sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014, yaitu Penyelenggaraan yang meliputi pelayanan kesehatan atau upaya kesehatan.

Karena ruang kerja Puskesmas adalah suatu wilayah, maka penyelenggaraan upaya kesehatan mencakup upaya kesehatan terhadap masyarakat di wilayahnya, inilah yang disebut dengan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).

Kemudian Puskesmas turut menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara klinis, sehingga upaya kesehatan juga mencakup upaya kesehatan individual, inilah yang disebut dengan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).

Selain itu penyelenggaraan Puskesmas harus memiliki tata kelola yang baik agar sistem dapat berjalan dengan seharusnya, sehingga memerlukan adanya pengadministrasian manajemen.

Untuk mengetahui apakah sistem penyelenggaraan Puskesmas sudah berjalan seperti yang diharapkan, maka dilakukan standarisasi penyelenggaraan Puskesmas baik UKM, UKP hingga administrasi manajemennya.

Standarisasi yang dimaksud adalah penetapan indikator-indikator yang seharusnya dicapai.

Indikator- indikator ini nantinya mengalami peningkatan, yang menunjukkan bahwa standar Puskesmas terus berproses mencapai suatu kualitas atau mutu. Puskesmas dikatakan telah memenuhi standar dalam penyelenggaraannya apabila terjadi peningkatan mutu secara terus menerus (continous of quality).

Bagaimana mengetahui bahwa Puskesmas sudah memenuhi standar dalam penyelenggaraannya, atau telah berhasil meningkatkan mutu penyelenggaraan dari waktu ke waktu? Cara yang paling baik untuk mengetahuinya adalah melakukan audit terhadap penyelenggaraan Puskesmas.

Audit yang dilakukan secara berkala, diharapkan akan menjadi pengontrol sehingga standar atau pencapaian mutu Puskesmas tetap berjalan.

Pada umumnya, gambaran suatu audit adalah kegiatan mencari kesenjangan atau hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sebagai fasilitas kesehatan pemerintah, Puskesmas tidak serta merta berdiri sesempurna mungkin, pasti terdapat kekurangan, sehingga perlu diaudit. Meski demikian, konsep audit yang dibutuhkan oleh Puskesmas bukan sekedar mencari-cari kesalahan. Audit Puskesmas harus memberikan efek yang signifikan dan berkesinambungan.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan tata cara mengaudit Puskesmas dengan Konsep yang dinamakan Akreditasi melalui sistem pembinaan yang terencana.

Keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 tahun 2015 tentang Akreditasi menjelaskan bagaimana metode dan teknisnya.

Secara operasional, Akreditasi dapat dikatakan sebagai pengakuan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan lewat Badan atau Komisi Akreditasi terhadap fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, yang dianggap telah memenuhi standar mutu pada manajemen dan layanannya.

Pengakuan ini diberikan dalam secarik kertas yang disebut sertifikat. Bukan melihat bentuknya, tetapi makna akreditasi sendiri yang perlu dipahami, terutama efek perbaikan bagi Puskesmas.

Pelaksanaan akreditasi tidak seperti audit biasa, tetapi lebih menekankan pembinaan dan bimbingan terhadap Puskesmas. Oleh karena itu audit Akreditasi disebut dengan survei dan pelaksanaan akreditasi Puskesmas disebut survei akreditasi Puskesmas.

Survei yang dimaksud adalah tinjauan terhadap kondisi atau keadaan Puskesmas, apakah sudah sesuai dengan standar mutu, jika belum maka akan direkomendasikan perbaikannya.

Akreditasi wajib dilaksanakan secara terus menerus untuk mempertahankan standar mutu, dengan penetapan status akreditasi.

Tingkatan status disusun secara berjenjang dengan sebutan strata, dimulai dari yang terendah yaitu strata Akreditasi Dasar, Madya, Utama dan yang tertinggi adalah Paripurna. Strata- strata ini menjadi bukti standar yang sudah dicapai Puskesmas.

Agar terlaksananya kegiatan survei akreditasi, diperlukan suatu alat penunjang. Alat yang dimaksud disebut dengan Instrumen Akreditasi. Karena alat ini adalah penguji dan pengukur bagaimana penyelenggaraan Puskesmas sesuai standar, maka instrumen akreditasi wajib dipahami dengan sebaik-baiknya.

Instrumen Akreditasi sendiri disusun dengan suatu pola tinjau yang disesuaikan untuk puskesmas, terutama pada ide layanan mutu. Ada sembilan Bab dalam instrumen akreditasi.

Tiga Bab pertama (Bab I, Bab II dan Bab III) adalah instrumen untuk administrasi manajemen, tiga Bab selanjutnya (Bab IV, Bab V dan Bab VI) adalah instrumen untuk UKM dan tiga bab terakhir (Bab VII, Bab VIII dan Bab IX) adalah instrumen untuk UKP.

Bab-bab ini juga dikelompokkan dalam pola Bab Operasional (Bab I, Bab IV dan Bab VII), Bab Kepemimpinan (Bab II, Bab V dan Bab VIII) dan Bab Mutu (Bab III, Bab VI dan Bab IX).

Terlaksananya Akreditasi Puskesmas bukan ditentukan oleh kegiatan survei selama tiga hari saja, tetapi bagaimana membuat puskesmas sedemikian rupa agar benar-benar layak untuk mendapat pengakuan.

Kondisi ini tidak boleh sesaat saja, tetapi harus kontinyu, terstruktur dan menyeluruh hingga ke sistemnya. Oleh karena itu perlu adanya komitmen mulai dari Kepala Puskesmas hingga staf terkecil, disertai dengan pembinaan dan pendampingan dari  Dinas Kesehatan.

Apabila Puskesmas benar-benar telah siap, maka akan diusulkan untuk dilakukan survei Akreditasi.

Begitu repotnya menjadikan Puskesmas terakreditasi, sehingga terlihat seperti suatu keterpaksaan atau keharusan. Mungkin beberapa karyawan Puskesmas akan merasa berat, apalagi jika sistem baru berjalan dan butuh penyesuaian.

Tetapi bila Puskesmas memang memiliki niat yang luhur untuk melayani kesehatan masyarakat dengan lebih baik, berbekal komitmen, integrasi serta dukungan dari semua sektor dan program maka sebenarnya akreditasi itu adalah lebih dari sekedar kebutuhan. (ASR)

Oleh: dr. Armein Sjuhary Rowi, M.Kes
Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer dan Tradisional Dinas Kesehatan Kota Bogor.

(Advertorial)

Pewarta: dr. Armein Sjuhary Rowi, M.Kes

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017