Pemungutan suara telah dilakukan dan menurut hitung cepat (Quick Count) Paslon 02 saat ini mengungguli dua Paslon lainnya, dan sudah dianggap akan menjadi pemenang dalam satu putaran karena sudah diatas 50% + 1 dan menang di 20 Provinsi. Bagaimana perhitungan KPU, kita masih harus menunggu 35 hari kedepan sesuai dengan UU.
Antara perhitungan Quick Count dengan perhitungan KPU ada rentang waktu yang cukup lama, sekarang seolah-olah Quick Count lah yang menentukan pemenang Pilpres, padahal UU menyatakan bahwa penentuan pemenang adalah KPU melalui perhitungan manual.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian negara, karena jika dibiarkan Quick Count tanpa aturan, sangat dimungkinkan dapat digunakan oleh pihak tertentu untuk memanipulasi suara, dengan cara dibuat opini melalui Quick Count bahwa pemenangnya adalah Paslon 02, kemudian suara yang masih dihitung diberbagai jenjang penghitungan yang berliku-liku.
Sangat dimungkinkan ditengah perjalanan dirubah sesuai dengan hasil Quick Count, dan semua orang sudah mahfum bahwa di Indonesia dari Pilpres ke Pilpres selalu ada kecurangan, sebagaimana di negara berkembang di dunia yang Pilpresnya 80% penuh dengan kecurangan.
Kita semua tahu bahwa lembaga-lembaga penyelenggara Quick Count adalah juga lembaga-lembaga yang sering mengadakan survei, dan banyak lembaga survei yang dibayar oleh Paslon tertentu untuk mendongkrak elektabilitas atau survei abal-abal atau melacurkan dirinya demi cuan.
Oleh karena itu, di negara berkembang seperti Indonesia yang tidak perduli dengan etika atau kehormatan, harus ada UU khusus tentang lembaga survei khususnya baik pilpres maupun pilkada, karena pilpres ataupun pilkada akan sangat menentukan masa depan bangsa, jangan sampai bangsa ini dikuasai oleh bajingan-bajingan tolol yang merampok uang rakyat dan digunakan untuk menipu rakyat yang pendidikannya masih rendah dan mudah dinina-bobokan oleh beberapa kilogram beras dan uang seratus sampai tiga ratus ribu rupiah yang itupun diambil dari uang negara, baik melalui APBN atau hasil korupsi uang negara atau hasil manipulasi SDA yang sebagiannya untuk menyuap rakyat.
Kemudian para oknum tersebut memoles dirinya salah satunya melalui lembaga survei, bisa jadi juga mempersiapkan manipulasi kecurangan melalui lembaga Quick Count, lalu KPU menyesuaikan dengan hasil Quick Count tersebut.
Sebelum pencoblosan dilakukan, dari beberapa media yang kami amati, ternyata Paslon 02 telah tahu hasilnya yaitu sampai 58%. Sehingga apa yang dijelaskan di dalam Dirty Vote ternyata terbukti yaitu kemenangan yang direncanakan jauh hari sebelumnya secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) itulah yang memenangkan Paslon 02.
Berikut beberapa contoh persiapan dan perencanaan “kejahatan” secara Terstruktur, Sistematik dan Masif tersebut :
1.Bahwa manipulasi peraturan perundangan melalui putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 untuk meloloskan salah satu paslon. Manipulasi itu membuat Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
2.Bahwa Komisoner KPU juga mendapatkan sanksi etik dari DKPP karena menerima pendaftaran salah satu Capres dan Cawapres dengan menggunakan PKPU yang belum direvisi yaitu syarat usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun. Motifnya sama yaitu untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Paslon 02. Bahkan Ketua KPU telah mendapatkan sanksi sampai tiga kali dengan kategori “Peringatan Keras Terakhir”.
3.Bahwa selain pelanggaran etika, pelaksanaan Pilpres 2024 juga diwarnai pelanggaran norma dan asas pemerintahan umum yang baik, berupa ketidaknetralan aparatur penyelenggara negara mulai dari Presiden RI, Menteri, PJ Kepala Daerah, ASN, Kepala Desa, hingga aparat penegak hukum. Ketidaknetralan itu memiliki kecenderungan pola yang sama, yaitu mengarahkan dan memenangkan Paslon 02.
4.Bahwa ketidaknetralan pejabat negara dan aparatur sipil negara tergambar dengan nyata dari statement Presiden RI Joko Widodo yang menyatakan Presiden boleh berpolitik dan boleh memihak dalam kontestasi Pilpres. Selain itu potret ketidaknetralan para penyelenggara negara terkonfirmasi dari pengerahan sumberdaya negara agar menang satu putaran, melalui:
a.Penggunaan anggaran negara melalui penyaluran Bansos yang disertai dengan ajakan untuk memilih Paslon 02.
b.Keterlibatan aparat penegak hukum untuk memantau petugas KPPS dan PPK. Misalnya aparat penegak hukum meminta ikut masuk WA Group KPPS dan meminta data nomor para PPK. (Seperti surat Polres Cimahi yang meminta data KPPS).
c.Keterlibatan para kepala desa untuk memenangkan Paslon 02 dengan berbagai modus dan intimidasi berupa ancaman pidana dalam penggunaan dana desa.
5.Bahwa skenario berikutnya untuk memuluskan jalan kemenangan satu putaran dilakukan dengan modus mengerahkan kepala desa beserta aparaturnya untuk memenangkan Paslon 02 melalui cara:
a.Di desa-desa yang minim pengawasan, kepala desa meminta warganya untuk tidak perlu datang ke TPS dengan memberi imbalan uang. Sementara kertas suara nya dicoblos semua oleh kepala desa atau perangkatnya untuk Paslon 02.
b.Di Kawasan yang pengawasanya relatif baik, kecurangan dilakukan dengan melakukan money politics yang dilakukan aparat desa sebelum pencoblosan.
c.Potensi kecurangan juga berpotensi dilakukan oleh KPPS dengan berbagai modus, misalnya memobilisasi massa yang tidak punya hak pilih untuk memilih, penggelembungan atau pengurangan suara dan sebagainya.
6.Bahwa penggunaan lembaga survei untuk mengumumkan quick count dan exit poll yang memenangkan Paslon 02, sementara pada saat yang sama proses penghitungan suara di TPS masih berlangsung. Hal ini merupakan upaya untuk mempengaruhi psikologi saksi dan masyarakat serta menggiring opini publik bahwa pemenang Pilpres adalah Paslon 02.
7.Bahwa input data Sirekap KPU terjadi penggelembungan suara yang luar biasa atas Paslon 02 yang jumlahnya melebihi DPT di TPS.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kami Poros Buruh untuk Perubahan menyatakan: “Menolak Keras Pilpres Curang 2024”.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Antara perhitungan Quick Count dengan perhitungan KPU ada rentang waktu yang cukup lama, sekarang seolah-olah Quick Count lah yang menentukan pemenang Pilpres, padahal UU menyatakan bahwa penentuan pemenang adalah KPU melalui perhitungan manual.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian negara, karena jika dibiarkan Quick Count tanpa aturan, sangat dimungkinkan dapat digunakan oleh pihak tertentu untuk memanipulasi suara, dengan cara dibuat opini melalui Quick Count bahwa pemenangnya adalah Paslon 02, kemudian suara yang masih dihitung diberbagai jenjang penghitungan yang berliku-liku.
Sangat dimungkinkan ditengah perjalanan dirubah sesuai dengan hasil Quick Count, dan semua orang sudah mahfum bahwa di Indonesia dari Pilpres ke Pilpres selalu ada kecurangan, sebagaimana di negara berkembang di dunia yang Pilpresnya 80% penuh dengan kecurangan.
Kita semua tahu bahwa lembaga-lembaga penyelenggara Quick Count adalah juga lembaga-lembaga yang sering mengadakan survei, dan banyak lembaga survei yang dibayar oleh Paslon tertentu untuk mendongkrak elektabilitas atau survei abal-abal atau melacurkan dirinya demi cuan.
Oleh karena itu, di negara berkembang seperti Indonesia yang tidak perduli dengan etika atau kehormatan, harus ada UU khusus tentang lembaga survei khususnya baik pilpres maupun pilkada, karena pilpres ataupun pilkada akan sangat menentukan masa depan bangsa, jangan sampai bangsa ini dikuasai oleh bajingan-bajingan tolol yang merampok uang rakyat dan digunakan untuk menipu rakyat yang pendidikannya masih rendah dan mudah dinina-bobokan oleh beberapa kilogram beras dan uang seratus sampai tiga ratus ribu rupiah yang itupun diambil dari uang negara, baik melalui APBN atau hasil korupsi uang negara atau hasil manipulasi SDA yang sebagiannya untuk menyuap rakyat.
Kemudian para oknum tersebut memoles dirinya salah satunya melalui lembaga survei, bisa jadi juga mempersiapkan manipulasi kecurangan melalui lembaga Quick Count, lalu KPU menyesuaikan dengan hasil Quick Count tersebut.
Sebelum pencoblosan dilakukan, dari beberapa media yang kami amati, ternyata Paslon 02 telah tahu hasilnya yaitu sampai 58%. Sehingga apa yang dijelaskan di dalam Dirty Vote ternyata terbukti yaitu kemenangan yang direncanakan jauh hari sebelumnya secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) itulah yang memenangkan Paslon 02.
Berikut beberapa contoh persiapan dan perencanaan “kejahatan” secara Terstruktur, Sistematik dan Masif tersebut :
1.Bahwa manipulasi peraturan perundangan melalui putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 untuk meloloskan salah satu paslon. Manipulasi itu membuat Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
2.Bahwa Komisoner KPU juga mendapatkan sanksi etik dari DKPP karena menerima pendaftaran salah satu Capres dan Cawapres dengan menggunakan PKPU yang belum direvisi yaitu syarat usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun. Motifnya sama yaitu untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Paslon 02. Bahkan Ketua KPU telah mendapatkan sanksi sampai tiga kali dengan kategori “Peringatan Keras Terakhir”.
3.Bahwa selain pelanggaran etika, pelaksanaan Pilpres 2024 juga diwarnai pelanggaran norma dan asas pemerintahan umum yang baik, berupa ketidaknetralan aparatur penyelenggara negara mulai dari Presiden RI, Menteri, PJ Kepala Daerah, ASN, Kepala Desa, hingga aparat penegak hukum. Ketidaknetralan itu memiliki kecenderungan pola yang sama, yaitu mengarahkan dan memenangkan Paslon 02.
4.Bahwa ketidaknetralan pejabat negara dan aparatur sipil negara tergambar dengan nyata dari statement Presiden RI Joko Widodo yang menyatakan Presiden boleh berpolitik dan boleh memihak dalam kontestasi Pilpres. Selain itu potret ketidaknetralan para penyelenggara negara terkonfirmasi dari pengerahan sumberdaya negara agar menang satu putaran, melalui:
a.Penggunaan anggaran negara melalui penyaluran Bansos yang disertai dengan ajakan untuk memilih Paslon 02.
b.Keterlibatan aparat penegak hukum untuk memantau petugas KPPS dan PPK. Misalnya aparat penegak hukum meminta ikut masuk WA Group KPPS dan meminta data nomor para PPK. (Seperti surat Polres Cimahi yang meminta data KPPS).
c.Keterlibatan para kepala desa untuk memenangkan Paslon 02 dengan berbagai modus dan intimidasi berupa ancaman pidana dalam penggunaan dana desa.
5.Bahwa skenario berikutnya untuk memuluskan jalan kemenangan satu putaran dilakukan dengan modus mengerahkan kepala desa beserta aparaturnya untuk memenangkan Paslon 02 melalui cara:
a.Di desa-desa yang minim pengawasan, kepala desa meminta warganya untuk tidak perlu datang ke TPS dengan memberi imbalan uang. Sementara kertas suara nya dicoblos semua oleh kepala desa atau perangkatnya untuk Paslon 02.
b.Di Kawasan yang pengawasanya relatif baik, kecurangan dilakukan dengan melakukan money politics yang dilakukan aparat desa sebelum pencoblosan.
c.Potensi kecurangan juga berpotensi dilakukan oleh KPPS dengan berbagai modus, misalnya memobilisasi massa yang tidak punya hak pilih untuk memilih, penggelembungan atau pengurangan suara dan sebagainya.
6.Bahwa penggunaan lembaga survei untuk mengumumkan quick count dan exit poll yang memenangkan Paslon 02, sementara pada saat yang sama proses penghitungan suara di TPS masih berlangsung. Hal ini merupakan upaya untuk mempengaruhi psikologi saksi dan masyarakat serta menggiring opini publik bahwa pemenang Pilpres adalah Paslon 02.
7.Bahwa input data Sirekap KPU terjadi penggelembungan suara yang luar biasa atas Paslon 02 yang jumlahnya melebihi DPT di TPS.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kami Poros Buruh untuk Perubahan menyatakan: “Menolak Keras Pilpres Curang 2024”.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024