Ahli kesehatan yang merupakan Guru Besar Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr R Muharam, SpOG, Subsp. F.E.R, MPH menyatakan transformasi penanganan endometriosis secara komprehensif dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) adalah upaya peningkatan kualitas reproduksi di masa depan.
"Maka, inovasi teknologi seperti bantuan kecerdasan buatan (AI), sangat dibutuhkan agar memaksimalkan hasil pengobatan endometriosis sehingga mampu memperbaiki kualitas hidup perempuan dengan lebih tepat dan cepat, serta menjadi panduan baru untuk manajemen di masa depan," katanya dalam taklimat media yang diterima di Bogor, Sabtu.
Menurut Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kedokteran FKUI itu manajemen endometriosis masih memiliki banyak problematika
hingga saat ini, seperti lambatnya perempuan mencari diagnosis karena abai terhadap gejala nyeri panggul yang dianggap normal.
Hal ini, kata dia, bisa memperparah kondisi endometriosis, sehingga muncul masalah berikutnya seperti nyeri haid, infertilitas, dan pemilihan target terapi.
Ia mengemukakan endometriosis merupakan salah satu penyebab morbiditas ibu dalam bidang imunoendokrinologi reproduksi. Prevalensi endometriosis 6-10 persen pada perempuan usia
reproduktif dengan angka kekambuhan endometriosis yang tinggi (23,2,-56,4 persen).
Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronik berupa tumbuhnya jaringan abnormal menyerupai endometrium di luar kavum uteri yang memicu reaksi peradangan kronis, bersifat progresif dan memiliki angka kekambuhan tinggi.
"Nyeri haid, infertilitas dan kista merupakan gejala tersering yang dikeluhkan, selain itu dapat juga gangguan buang air besar dan berkemih yang bersifat siklik, nyeri saat berhubungan seksual, gangguan siklus menstruasi," katanya.
Ia mengatakan diagnosis endometriosis sering mengalami keterlambatan 7–11 tahun. Hal ini disebabkan antara lain nyeri haid yang dianggap hal yang normal dimasyarakat.
Saat ini banyak penderita endometriosis yang datang ke pusat rujukan fertilitas tertier seperti di Klinik Yasmin
RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam keadaan parah, dengan cadangan sel telur yang sudah sangat sedikit, diakibatkan karena keterlambatan diagnosis, over treatment dan iatrogenic treatment (operasi berulang-ulang). Hal ini menyebabkan angka kehamilan pada endometriosis menjadi kurang baik.
Dikemukakannya bahwa rndometriosis dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan mental, penurunan produktifitas kerja, kehidupan sosial, serta pembiayaan pengobatan yang mahal.
"Salah satu penyebab tingginya angka kejadian endometriosis karena banyaknya paparan unopposed estrogen dari lingkungan mulai dari kandungan dan berlanjut sepanjang hidup
seorang perempuan," katanya.
Ia mengatakan "onset" keluhan gejala endometriosis walaupun banyak ditemukan pertama kali pada masa remaja, tetapi inisiasi dan perkembangan patofisiologi penyakit sudah dimulai dari sejak pertama kehidupan.
Menurut dia terapi pilihan pertama adalah terapi medisinal dan pilihan kedua adalah pembedahan, dengan fokus tatalaksana terapi saat ini dan masa depan adalah preservasi
fertilitas.
Pada terapi medisinal digunakan pil kontrasepsi, progestin yang mempunyai ketahanan terhadap resistensi progesteron, GnRH agonis dan antagonis.
Pilihan pembedahan dapat dilakukan pembedahan konservatif sampai radikal, hal ini dilakukan bilamana sudah
mengganggu organ vital seperti ureter, usus dan kandung kemih.
Karena itu, kata dia, Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) diperlukan unuk menatalaksana fertilitas dengan endometriosis. Pada endometriosis derajat ringan dapat dilakukan inseminasi dengan stimulasi ovarium, sedangkan pada endometriosis derajat sedang dan berat, apalagi disertai dengan gangguan tuba, adanya faktor pria, dan terdapat kegagalan pengobatan sebelum, dapat dilakukan Fertilisasi In Vitro.
"Pendekatan multidisiplin pada penanganan endometriosisdiperlukan untuk beragam target terapi, mencegah kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup," tambahnya.
Ia mengemukakan immunoterapi saat ini dikembangkan untuk meningkatkan potensi sistem immunitas yang abnormal pada endometriosis seperti defek pada sel NK.
Stemcell dikembangkan sebagai terapi non-invasif untuk meningkatkan regulasi imunitas sel dan humoral serta mencegah terjadinya jaringan parut pada ovarium.
Selain itu, katanya, kecerdasan buatan (AI) merupakan keniscayaan dalam tatalaksana endometriosis untuk mengatasi patofisiologi endometriosis yang kompleks.
"Dengan berbekal empat akar pembuatan kecerdasan buatan, yaitu Machine learning (ML), Natural Language Processing (NLP), Artificial neural networks (ANN), dan Computer Vision (CV), kita dapat membuat kecerdasan buatan baru yang membantu tatalaksana endometriosis di masa mendatang," katanya.
Upaya itu dengan memperbaiki kemampuan diagnostik, meningkatkan terapi personal, memperbaiki luaran operasi, mencari patofisiologi danmemperbaiki keakuratan derajat keparahan endometriosis," demikian R Muharam.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Maka, inovasi teknologi seperti bantuan kecerdasan buatan (AI), sangat dibutuhkan agar memaksimalkan hasil pengobatan endometriosis sehingga mampu memperbaiki kualitas hidup perempuan dengan lebih tepat dan cepat, serta menjadi panduan baru untuk manajemen di masa depan," katanya dalam taklimat media yang diterima di Bogor, Sabtu.
Menurut Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kedokteran FKUI itu manajemen endometriosis masih memiliki banyak problematika
hingga saat ini, seperti lambatnya perempuan mencari diagnosis karena abai terhadap gejala nyeri panggul yang dianggap normal.
Hal ini, kata dia, bisa memperparah kondisi endometriosis, sehingga muncul masalah berikutnya seperti nyeri haid, infertilitas, dan pemilihan target terapi.
Ia mengemukakan endometriosis merupakan salah satu penyebab morbiditas ibu dalam bidang imunoendokrinologi reproduksi. Prevalensi endometriosis 6-10 persen pada perempuan usia
reproduktif dengan angka kekambuhan endometriosis yang tinggi (23,2,-56,4 persen).
Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronik berupa tumbuhnya jaringan abnormal menyerupai endometrium di luar kavum uteri yang memicu reaksi peradangan kronis, bersifat progresif dan memiliki angka kekambuhan tinggi.
"Nyeri haid, infertilitas dan kista merupakan gejala tersering yang dikeluhkan, selain itu dapat juga gangguan buang air besar dan berkemih yang bersifat siklik, nyeri saat berhubungan seksual, gangguan siklus menstruasi," katanya.
Ia mengatakan diagnosis endometriosis sering mengalami keterlambatan 7–11 tahun. Hal ini disebabkan antara lain nyeri haid yang dianggap hal yang normal dimasyarakat.
Saat ini banyak penderita endometriosis yang datang ke pusat rujukan fertilitas tertier seperti di Klinik Yasmin
RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam keadaan parah, dengan cadangan sel telur yang sudah sangat sedikit, diakibatkan karena keterlambatan diagnosis, over treatment dan iatrogenic treatment (operasi berulang-ulang). Hal ini menyebabkan angka kehamilan pada endometriosis menjadi kurang baik.
Dikemukakannya bahwa rndometriosis dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan mental, penurunan produktifitas kerja, kehidupan sosial, serta pembiayaan pengobatan yang mahal.
"Salah satu penyebab tingginya angka kejadian endometriosis karena banyaknya paparan unopposed estrogen dari lingkungan mulai dari kandungan dan berlanjut sepanjang hidup
seorang perempuan," katanya.
Ia mengatakan "onset" keluhan gejala endometriosis walaupun banyak ditemukan pertama kali pada masa remaja, tetapi inisiasi dan perkembangan patofisiologi penyakit sudah dimulai dari sejak pertama kehidupan.
Menurut dia terapi pilihan pertama adalah terapi medisinal dan pilihan kedua adalah pembedahan, dengan fokus tatalaksana terapi saat ini dan masa depan adalah preservasi
fertilitas.
Pada terapi medisinal digunakan pil kontrasepsi, progestin yang mempunyai ketahanan terhadap resistensi progesteron, GnRH agonis dan antagonis.
Pilihan pembedahan dapat dilakukan pembedahan konservatif sampai radikal, hal ini dilakukan bilamana sudah
mengganggu organ vital seperti ureter, usus dan kandung kemih.
Karena itu, kata dia, Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) diperlukan unuk menatalaksana fertilitas dengan endometriosis. Pada endometriosis derajat ringan dapat dilakukan inseminasi dengan stimulasi ovarium, sedangkan pada endometriosis derajat sedang dan berat, apalagi disertai dengan gangguan tuba, adanya faktor pria, dan terdapat kegagalan pengobatan sebelum, dapat dilakukan Fertilisasi In Vitro.
"Pendekatan multidisiplin pada penanganan endometriosisdiperlukan untuk beragam target terapi, mencegah kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup," tambahnya.
Ia mengemukakan immunoterapi saat ini dikembangkan untuk meningkatkan potensi sistem immunitas yang abnormal pada endometriosis seperti defek pada sel NK.
Stemcell dikembangkan sebagai terapi non-invasif untuk meningkatkan regulasi imunitas sel dan humoral serta mencegah terjadinya jaringan parut pada ovarium.
Selain itu, katanya, kecerdasan buatan (AI) merupakan keniscayaan dalam tatalaksana endometriosis untuk mengatasi patofisiologi endometriosis yang kompleks.
"Dengan berbekal empat akar pembuatan kecerdasan buatan, yaitu Machine learning (ML), Natural Language Processing (NLP), Artificial neural networks (ANN), dan Computer Vision (CV), kita dapat membuat kecerdasan buatan baru yang membantu tatalaksana endometriosis di masa mendatang," katanya.
Upaya itu dengan memperbaiki kemampuan diagnostik, meningkatkan terapi personal, memperbaiki luaran operasi, mencari patofisiologi danmemperbaiki keakuratan derajat keparahan endometriosis," demikian R Muharam.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023