Puluhan "Nahdliyin" -- sebutan warga Nahdlatul Ulama (NU) -- di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menggelar peringatan "haul" ke-877 Sultonul Aulia Tuanku Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.

Kegiatan "haul" tersebut digagas oleh Yayasan At-Tawassuth dan dipusatkan di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor pada Sabtu (7/1) malam, yang melibatkan 30 orang peserta dari sejumlah pesantren dan sekolah NU di Bogor.

Peringatan "haul" Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, menurut Ketua Yayasan At-Tawassuth, Ahmad Fahir, M.Si, dibarengi dengan "haul" ke-495 Maharaja Pakuan Pajajaran Eyang Prabu Siliwangi, yang wafat pada akhir Desember 1521 di Bogor.

"Haul" tersebut juga diisi sejumlah kegiatan, yakni "tawassul" dan doa untuk Syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan silsilah nasabnya hingga Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, juga ditujukan untuk para ulama dan pemimpin yang berperan dalam melakukan Islamisasi di Tatar Sunda maupun di Indonesia.

Selanjutnya, pembacaan "Manaqib" Nurul Burhan, kitab berisi biografi Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, sebuah kitab terjemah dan "syarah manaqib".

Menurut Wikipedia, pengertian "syarah" atau "syarhu" adalah istilah dalam literatur Islam, yang digunakan secara umum sebagai bagian dari judul buku.

Secara harafiah artinya "penjelasan", umumnya nama ini digunakan dalam buku-buku komentar, penjelasan dan penjabaran dari kitab asal non-Al Quran, yaitu kitab-kitab hadits atau kitab karangan ulama.

"Syarah manaqib" Nurul Burhan itu disusun KH Muslih Abdurrahman Al-Maraqy Mranggen, dari Kabupaten Demak, Jateng, seorang "mursyid" Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah (TQN), yang sekaligus aktif dalam membesarkan Jam`iyah Ahlit Thoriqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (Jatman) PBNU hingga akhir hayat tahun 1981.

Gua Peninggalan

Tuanku Syaikh Abdul Qodir al-Jailani hidup pada tahun 470 hingga 561 Hijriah, bertepatan dengan tahun 1077 hingga 1166 Masehi.

Ia wafat di Bagdad, Irak, 11 Rabiul Akhir 561 H.

Abdul Qodir al-Jailani dikenal sebagai maha guru para sufi dan penganut thoriqoh, yang dijuluki sebagai �Sultonul Aulia� alias raja para wali di seluruh dunia.

Jamaah thoriqoh-thoriqoh yang "mu�tabaroh" alias yang diakui di lingkungan NU umumnya dalam "tawassul" selalu menyertakan Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.

Menurut Ahmad Fahir -- salah satu pendiri Keluarga Mahasiswa NU Institut Pertanian Boogor (KMNU-IPB) -- Syaikh Abdul Qodir al-Jailani memiliki relasi sangat kuat dengan umat Islam tatar Sunda.

Selain adanya ikatan silsilah keguruan thoriqoh, saat hidupnya ia diyakini pernah singgah dan tinggal beberapa waktu di daerah Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, untuk berguru kepada Syaikh Sanusi dan bermunajat di Gua Safar Wadi dan Gua Mujarrod.

Dalam Babad Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, yaitu buku yang berisi kisah perjalanan seorang wali besar di tanah Sunda, bernama Syaikh Abdul Muhyi, hidup tahun 1650 hingga 1728 M, diungkapkan bahwa sang tokoh melakukan perjalanan panjang mengitari wilayah selatan Jawa Barat dalam rangka napak tilas Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang semasa hidupnya pernah belajar ke Syaikh Sanusi di Gua Safar Wadi.

Gua Safar Wadi yang diyakini oleh Syaikh Abdul Muhyi sebagai bekas peninggalan Syaikh Abdul Qodir al-Jailani tersebut kini menjadi tujuan utama ziarah di Jawa Barat.

Setiap hari, apalagi pada bulan Rabiul Awal dan Rabiul Akhir, yang notabene sebagai bulan ziarah bagi umat Islam di Jawa Barat dan Banten, gua ini selalu ramai dikunjungi ribuan peziarah yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Lokasi gua Safar Wadi dengan makam Syaikh Abdul Muhyi berjarak sekitar 500 m.



Tonggak Sejarah Bogor

Kegiatan "haul" Syaikh Abdul Qodir al-Jailani kali ini, juga dikemas berbarengan dengan "haul" Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, karena momennya berdekatan.

"Sejak 2013 setiap akhir Desember kami aktif menyelenggarakan `haul` Prabu Siliwangi, yang dikemas dengan doa, `tawassul` dan ziarah," kata Fahir.

Prabu Siliwangi adalah Maharaja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran yang bertahta di Keraton Batutulis, Bogor, 1482-1521 M.

Hari penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran pada 3 Juni 1482 menjadi tonggak bersejarah sebagai Hari Jadi Bogor.

Semasa hidupnya, ia berguru dan diislamkan oleh Syaikh Quro, Karawang, dan juga berguru kepada Syaikh Dzatul Kahfi, Cirebon.

Ia wafat pada akhir Desember 1521 dan jenazahnya dipusarakan di Bukit Badigul, Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.

Dalam sejarah Islamisasi Pasundan, menurut Ahmad Fahir, yang juga pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Bogor, dinasti Prabu Siliwangi memegang peran kunci.

Diungkapkan bahwa islamisasi Pasundan dilakukan tiga sosok putra-putri Prabu Siliwangi dari garis isteri Subang Larang, yaitu Pangeran Cakra Buana, Nyi Mas Lara Santang, dan Kian Santang.

Cakra Buana merupakan aktor utama berdirinya Kesultanan Cirebon.

Sedangkan Lara Santang tak lain sebagai ibu kandung Sunan Gunung Djati --salah satu "Wali Songo" (Wali Sembilan)--yang melahirkan ulama-ulama besar di Jawa Barat.

Adapun tokoh Kian Santang hingga kini sangat melegenda dalam hati masyarakat Jawa Barat, sebagai ulama dan "anak raja" yang lebih memilih hidup menyatu dengan masyarakat demi melakukan tugas "dakwah Islamiyah".

Ia menambahkan semua kerajaan di tatar Sunda dan sebagian besar ulama di Jawa Barat dan Banten mencantumkan Prabu Siliwangi sebagai leluhurnya.

Rangkaian kegiatan "haul" tersebut diakhiri dengan dialog, dan pemutaran lagu kidung Siliwangi, yang menceritakan tentang kisah perjalanan sang prabu.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017