Tepas Salapan Lawang

Tepas/teras/plaza merupakan beranda pintu masuk kota Bogor. Bukaan (lawang) juga melambangkan pintu yang menegaskan ciri-ciri asli Bogor (bersifat terbuka dan banyak memiliki tempat yang mengandung kata lawang seperti lawangsaketeng, lawanggintung, dll.). Sembilan pintu menunjukkan titik "pintu" pada raga tiap insan ciptaan yang maha kuasa, serta sembilan acuan kesejahteraan 1. Kedamaian (Peace);, 2. Persahabatan (friendship);, 3. Keindahan (Beauty);, dan 4. Kesatuan (Unity);, 5. Kesantunan (Good-manners), 6. Ketertiban (Ordered By Low);, Kenyamanan (Convenience); 8. Keramahan (Hospitality);, 9. Keselamatan (Safety) yang merupakan turunan dari tiga sikap dialogis antar sesama insan (silih, saling) itu adalah kunci pembangunan kota Bogor yang berkelanjutan.


Gaya Bangunan

Konsep jajaran tiang yang mampu menghadirkan kesan monumental dan  megah khas sebuah kota bersejarah. Bogor memang pernah menjadi pusat kekuasaan, ketika menjadi ibukota Pakuan Pajajaran. Tiang tiang tersebut juga mengingatkan tentang keberadaan tiang tiang keraton Pakuan Pajajaran (dalam "Sejarah Bogor" karya Saleh Danasasmita), tiang tiang bangunan eks gedung Karesidenan, tiang tiang pada Balai Kota Bogor, tiang tiang Kantor Dinas di Jalan Paledang serta mengingatkan pada kukuhnya pada tiang tiang penopang Pusaka Istana Kepresidenan Bogor. Kesemua bangunan cagar budaya tersebut memberi inspirasi pembuatan kesepuluh tiang di Tepas Salapan Lawang. Dengan menjaga 10 raga manusia membuka sembilan pintu kesejahteraan masyarakat dengan berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan.


Di Nu Kiwari Ngancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga

Motto Kota Bogor yang tertera di bagian atas merupakan pesan moral pusaka Pajajaran dan kalimat bijak dari Prabu Siliwangi, yang berarti: "segala hal dimasa kini adalah pusaka masa silam dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan".


Menjelang tahun 2016 berakhir, Kota Bogor memiliki sebuah teras kota. Teras itu disebut Tepas Salapan Lawang Dasakerta (TSLD). Dalam bahasa Indonesia berarti Teras Sembilan Pintu "Dasa Kerta". TSLD hadir mendampingi dan sekaligus memperkuat kembali eksistensi tugu kujang yang telah berdiri sejak 1982. TSLD menjadi simbol masuk ke Kota Bogor. Sekaligus melambangkan sebuah Tepas(Teras atau Beranda) dari sebuah hunian warga sunda yang selalu terbuka menyambut para tamunya dengan penuh keramahan. Teras ini juga dirancang untuk menjadi sebuah pelataran dan ruang publik terbuka.

Dibangunnya TSLD merupakan dukungan pemerintah pusat terhadap keberadaan Kota Bogor sebagai sebuah Kota Pusaka. Seperti halnya Lawang Suryakancana, pembangunan TSLD merupakan bagian dari program kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tujuannya untuk mengembangkan potensi kota kota pusaka (Heritage Cities) di Indonesia. Kota Bogor menjadi salah satu Kota Pusaka yang mendapat prioritas.

Sejauh ini Pemerintah Kota Bogor memang telah bersinergi dengan para penggiat pelestarian pusaka. Selain itu juga telah menerbitkan peraturan Walikota No. 17 Tahun 2015  tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. Dengan demikian pemeliharaan TSLD beserta seluruh pusaka kota lainnya menjadi  tugas bersama antara Pemerintah Kota Bogor dan seluruh masyarakat.

Sarat Makna                

TSLD didesain dengan sarat makna peninggalan pusaka kota. Sepuluh tiang, penopang misalnya, melambangkan "Dasakerta", sebuah konsep yang diabadikan dalam naskah kuna Pakuan Pajajaran. "Dasakerta" mengingatkan setiap orang  tentang sepuluh hal yang harus dijaga kebersihannya secara jasmaniah dan rohaniah. Tujuannya agar setiap orang bisa dekat pada keutamaan amalan baik dan terhindar dari perilaku buruk menyangkut telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, dubur (tumbung), dan kelamin (baga-purusa).

Kesepuluh tiang tersebut sekaligus menghadirkan sembilan pintu (Salapan Lawang). Ini melambangkan sembilan titik "Pintu" yang ada pada raga manusia dan menjadi penghubung bagian tubuh manusia dengan alam semesta. Salapan Lawang adalah simbol filosofi utama Pakuan Pajajaran yakni "Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh". Tiga sikap dialogis antar sesama insan (Silih, Saling) itu adalah kunci pembangunan Kota Bogor yang berkelanjutan.

Tiga sikap itu, menurunkan sembilan acuan kesejahteraan yakni: 1. Kedamaian (Peace);  2. Persahabatan (Friendship); 3. Keindahan (Beauty); 4. Kesatuan (Unity); 5. Kesantunan (Good -manners); 6. Ketertiban (Ordered By Low); 7. Kenyamanan (Convenience); 8. Keramahan (Hospitality); dan 9. Keselamatan (Safety).

Jadi dengan menjaga 10 bagian dalam raga 9 aspek kesejahteraan akan terwujud atau pintu kesejahteraan akan terbuka selain itu Lawang juga  menyiratkan sikap rendah hati. Sikap yang senantiasa  "Ngalawangan" (mempersilakan lewat) siapapun untuk masuk ke Kota Bogor. Sikap itu pula yang terabadikan pada Toponimi, seperti Lawang Saketeng, Lawang Gintung, Lawang Suryakancana dan sebagainya.

Ruang Publik

Secara fisik TSLD terdiri dari peralatan terbuka. Difungsikan untuk pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas, jalur lintasan pesepeda. Selain itu terdapat monumen bertiang sepuluh, dua bangunan "rotunda", dan sebuah prasasti yang menyatu dengan tumpuan tiang bendera serta tiga buah dinding  yang disiapkan untuk sarana penyampaian informasi Kota Pusaka.

Konstruksi kesepuluh tiang menjadi penguat kehadiran Tuju Kujang sebagai Landmark Kota. Juga menjadi penjalin citra visual dan sumbu formal antara Tuju Kujang dengan Kawasan Terpadu Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya Bogor. Selain itu kesepuluh tiang tersebut mengingatkan pada tiang tiang penopang pusaka Istana Kepresidenan Bogor.

Desain Tiang diolah untuk memunculkan keindahan sekaligus kesederhanaan bunga teratai dan pokok pohon. Ini mewakili pusaka alam di Kebun Raya Bogor  yang subur dan bukan tiruan karakter "Ionik" bernuansa Eropa. Pada kedua sisinya terdapat dua gazebo berbentuk "rotunda".

Keduanya menggambarkan keindahan hubungan manusia dalam alam. Sebagaimana telah populer sejak awal 1800-an melalui monumen tanda cinta kasih Sir Stamford Raffles pada Lady Mariamne Raffles. Kini monumen itu menjadi bangunan cagar budaya di dalam Kebun Raya Bogor.

Sedangkan di puncaknya tertulis semboyan "Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga". Tulisan itu menjadi pengingat bagi siapapun tentang motto Kota Bogor, yang berarti: "Segala hal di masa kini adalah pusaka masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan".

Menjelang peringatan 35 tahun berdirinya Tuju Kujang, peringatan dua abad Kebun Raya Bogor serta peringatan dasa warsa keenam tentang Kebijakan "Nasionalisasi" asset asset tinggalan Hindia Belanda yang diformulasikan Presiden Soekarno dari Istana Bogor, maka kehadiran TSLD  menjadi momentum penting untuk menghayati kembali hakekat Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. (Advertorial).

Pewarta: Humas Pemkot Bogor

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016