Penyair ternama kelahiran Lebanon Kahlil Gibran mengingatkan para orang tua mengenai hubungan dengan anak.
Gibran menegaskan bahwa anak-anak itu adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Meskipun mereka lahir dari kita, mereka bukan milik kita.
Kepada anak-anak, kita dapat memberikan cinta, tapi bukan pikiran kita. Mereka telah dibekali pikirannya sendiri oleh Tuhan untuk menjalankan peran aslinya dalam kehidupan.
Kisah nyata berikut ini bisa menjadi gambaran bahwa apa yang diingatkan oleh Gibran masih menjadi persoalan dalam relasi antara orang tua dengan anak.
Seorang gadis yang baru lulus SMA berteman akrab dengan pemuda yang mengarah ke hubungan asmara. Orang tua si gadis tidak suka dengan si pemuda dan keluarganya.
Suatu hari si gadis diketahui baru kembali dari berkunjung ke rumah si pemuda. Sampai di rumah si gadis mendapatkan penghakiman dari orang tua dan keluarga dekatnya. Ia dimarahi dengan pelabelan status sebagai gadis yang bertingkah tidak betul. Seorang gadis berkunjung ke rumah laki-laki dinilai melanggar norma.
Si gadis tentu saja syok. Ia merasa tidak melakukan kesalahan fatal karena pergi ke rumah pemuda itu bersama banyak temannya. Lokasi pertemuan juga tidak di tempat sunyi, tapi di rumah dan orang tua si pemuda juga ada di rumah.
Perasaan gadis belia itu kalut, hancur, dan harga dirinya runtuh. Di tengah kekalutan pikiran itu, dia kemudian memilih minggat.
Mendapati kenyataan itu, orang tua si gadis bingung. Kekalutan yang awalnya dialami si gadis kini berpindah ke jiwa dan pikiran orang tuanya.
Cerita di atas merupakan salah satu gejala dari pola hubungan orang tua dengan anak yang kurang sehat.
Pola relasi satu arah dalam keluarga agaknya perlu menjadi perhatian bersama. Saat ini zaman sudah berubah dan hal itu berimplikasi pada pola pendidikan anak dalam keluarga. Sesuai petuah Gibran, anak bukanlah milik orang tua. Anak adalah milik zaman yang pola pengunduhan pengetahuan dan perjalanan jiwanya berbeda dengan orang tuanya.
Saat ini, orang tua harus belajar masuk ke dalam dunia anak, bukan sebaliknya, anak dipaksa untuk memahami keadaan orang tua. Komunikasi dua arah yang menempatkan kondisi jiwa anak merasa nyaman adalah pola pendidikan yang sesuai dengan zaman saat ini.
Dengan cara seperti itu, harga diri anak tidak runtuh, sekaligus menanamkan kesadaran pada anak untuk juga menghargai orang tua dengan tulus.
Pada keseharian, orang tua harus banyak berbicara dengan anak, meskipun topiknya hal-hal sepele, seperti bagaimana pengalaman anak di sekolah bersama teman dan gurunya. Atau bagaimana ketika anak membeli makanan di kantin sekolah. Anak harus dibiasakan mengungkapkan perasaannya kepada orang tua dengan rasa nyaman dan aman.
Dengan demikian, ketika anak menghadapi persoalan di luar rumah, termasuk dalam urusan asmara, ia akan merasa nyaman mengungkapkan curahan hati (curhat) kepada orang tuanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Gibran menegaskan bahwa anak-anak itu adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Meskipun mereka lahir dari kita, mereka bukan milik kita.
Kepada anak-anak, kita dapat memberikan cinta, tapi bukan pikiran kita. Mereka telah dibekali pikirannya sendiri oleh Tuhan untuk menjalankan peran aslinya dalam kehidupan.
Kisah nyata berikut ini bisa menjadi gambaran bahwa apa yang diingatkan oleh Gibran masih menjadi persoalan dalam relasi antara orang tua dengan anak.
Seorang gadis yang baru lulus SMA berteman akrab dengan pemuda yang mengarah ke hubungan asmara. Orang tua si gadis tidak suka dengan si pemuda dan keluarganya.
Suatu hari si gadis diketahui baru kembali dari berkunjung ke rumah si pemuda. Sampai di rumah si gadis mendapatkan penghakiman dari orang tua dan keluarga dekatnya. Ia dimarahi dengan pelabelan status sebagai gadis yang bertingkah tidak betul. Seorang gadis berkunjung ke rumah laki-laki dinilai melanggar norma.
Si gadis tentu saja syok. Ia merasa tidak melakukan kesalahan fatal karena pergi ke rumah pemuda itu bersama banyak temannya. Lokasi pertemuan juga tidak di tempat sunyi, tapi di rumah dan orang tua si pemuda juga ada di rumah.
Perasaan gadis belia itu kalut, hancur, dan harga dirinya runtuh. Di tengah kekalutan pikiran itu, dia kemudian memilih minggat.
Mendapati kenyataan itu, orang tua si gadis bingung. Kekalutan yang awalnya dialami si gadis kini berpindah ke jiwa dan pikiran orang tuanya.
Cerita di atas merupakan salah satu gejala dari pola hubungan orang tua dengan anak yang kurang sehat.
Pola relasi satu arah dalam keluarga agaknya perlu menjadi perhatian bersama. Saat ini zaman sudah berubah dan hal itu berimplikasi pada pola pendidikan anak dalam keluarga. Sesuai petuah Gibran, anak bukanlah milik orang tua. Anak adalah milik zaman yang pola pengunduhan pengetahuan dan perjalanan jiwanya berbeda dengan orang tuanya.
Saat ini, orang tua harus belajar masuk ke dalam dunia anak, bukan sebaliknya, anak dipaksa untuk memahami keadaan orang tua. Komunikasi dua arah yang menempatkan kondisi jiwa anak merasa nyaman adalah pola pendidikan yang sesuai dengan zaman saat ini.
Dengan cara seperti itu, harga diri anak tidak runtuh, sekaligus menanamkan kesadaran pada anak untuk juga menghargai orang tua dengan tulus.
Pada keseharian, orang tua harus banyak berbicara dengan anak, meskipun topiknya hal-hal sepele, seperti bagaimana pengalaman anak di sekolah bersama teman dan gurunya. Atau bagaimana ketika anak membeli makanan di kantin sekolah. Anak harus dibiasakan mengungkapkan perasaannya kepada orang tua dengan rasa nyaman dan aman.
Dengan demikian, ketika anak menghadapi persoalan di luar rumah, termasuk dalam urusan asmara, ia akan merasa nyaman mengungkapkan curahan hati (curhat) kepada orang tuanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023