Guru besar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof Harkristuti Harkrisnowo SH, MA, PhD, yang juga menjadi anggota tim perumus KUHP baru, menyampaikan bahwa dalam KUHP baru ini terdapat lima misi, yaitu rekodifikasi terbuka dan terbatas, demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi.
"Pada prinsip kodifikasi terbuka dan terbatas, pasal 187 KUHP Baru dinyatakan bahwa Buku Kesatu KUHP berlaku juga bagi perbuatan yang dipidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang (UU)," kata dia, dalam keterangannya, di Depok, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin.
Menurut dia mengapa perlu sekali hal ini kami rumuskan karena pada saat ini kita juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya itu sangat beragam, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia.
Baca juga: Akademisi UI membahas aspek hukum vaksin COVID-19
Baca juga: UI rumuskan kebijakan hukum dan regulasi untuk tangani penyebaran COVID-19
Ia menambahkan, rekodifikasi terbuka dilakukan karena masih ada kemungkinan ketentuan-ketentuan lain untuk dimasukkan, terutama pada bab khusus di dalam Bab XXXV dan prinsip ini hanya berlaku untuk lima tindak pidana khusus.
Lima tindakan khusus tersebut meliputi tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika.
Ketentuan khusus ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria, salah satunya adalah merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan sangat terkutuk oleh masyarakat (strong people comdemnation). Kriteria inilah yang menjadi landasan terorisme masuk dalam KUHP Baru.
Baca juga: Unpar wakili kompetisi Hukum Humaniter Internasional
Selama ini, kata dia, pidana yang diterapkan dalam undang-undang untuk tindak terorisme sudah menerapkan pidana yang berat. Namun, tindak terorisme tetap terjadi. “Saya tidak berani mengatakan bahwa KUHP baru akan mengubah. Itu karena kita tetap memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini.
"Banyak sekali upaya-upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan di dalam Undang-Undang 5/2018, tapi memang belum semuanya itu dapat terlaksana dengan baik," ujar dia.
UU Nomor 5/2018 adalah UU tentang tindak pidana terorisme. Undang-undang ini menjadi aturan hukum khusus yang hingga saat ini dipakai dalam penanganan kasus-kasus terorisme. Salah satu yang cukup berbeda dalam KUHP baru, adalah tindak pidana terorisme dan tindak pidana pendanaan terorisme tidak dipisahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
"Pada prinsip kodifikasi terbuka dan terbatas, pasal 187 KUHP Baru dinyatakan bahwa Buku Kesatu KUHP berlaku juga bagi perbuatan yang dipidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang (UU)," kata dia, dalam keterangannya, di Depok, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin.
Menurut dia mengapa perlu sekali hal ini kami rumuskan karena pada saat ini kita juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya itu sangat beragam, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia.
Baca juga: Akademisi UI membahas aspek hukum vaksin COVID-19
Baca juga: UI rumuskan kebijakan hukum dan regulasi untuk tangani penyebaran COVID-19
Ia menambahkan, rekodifikasi terbuka dilakukan karena masih ada kemungkinan ketentuan-ketentuan lain untuk dimasukkan, terutama pada bab khusus di dalam Bab XXXV dan prinsip ini hanya berlaku untuk lima tindak pidana khusus.
Lima tindakan khusus tersebut meliputi tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika.
Ketentuan khusus ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria, salah satunya adalah merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan sangat terkutuk oleh masyarakat (strong people comdemnation). Kriteria inilah yang menjadi landasan terorisme masuk dalam KUHP Baru.
Baca juga: Unpar wakili kompetisi Hukum Humaniter Internasional
Selama ini, kata dia, pidana yang diterapkan dalam undang-undang untuk tindak terorisme sudah menerapkan pidana yang berat. Namun, tindak terorisme tetap terjadi. “Saya tidak berani mengatakan bahwa KUHP baru akan mengubah. Itu karena kita tetap memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini.
"Banyak sekali upaya-upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan di dalam Undang-Undang 5/2018, tapi memang belum semuanya itu dapat terlaksana dengan baik," ujar dia.
UU Nomor 5/2018 adalah UU tentang tindak pidana terorisme. Undang-undang ini menjadi aturan hukum khusus yang hingga saat ini dipakai dalam penanganan kasus-kasus terorisme. Salah satu yang cukup berbeda dalam KUHP baru, adalah tindak pidana terorisme dan tindak pidana pendanaan terorisme tidak dipisahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022