Bogor (Antara Megapolitan) - Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) mendorong agar adanya upaya khusus agar anak dari keluarga miskin dapat mengakses pendidikan secara merata.

"Hasil kajian yang kami lakukan di tiga kota di Indonesia, akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin masih terbatas, terutama di sekolah unggulan," kata Direktur Eksekutif KOPEL Indonesia, Syamsudin Alimsyah, dalam kegiatan diskusi kelompok forum bersama Forum Parlemen Pendidikan, di Hotel Salak, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Ia mengatakan kajian dilakukan di tiga kota yakni Kota Makassar, Malang dan Kota Bogor. Dari ketiga kota tersebut, baru dua kota yang memiliki kebijakan khusus untuk mengakomodir anak dari keluarga tidak mampu dapat bersekolah.

"Tetapi, kebijakan khusus inipun belum optimal, masih ada kelemahannya," kata dia.

Seperti di Makassar, telah mengeluarkan kebijakan menyediakan kuota 10 persen untuk anak tidak mampu untuk dapat mengakses pendidikan di sekolah unggulan dan daerah kuota untuk warga domisili.

Hal serupa juga diberlakukan di Kota Bogor, kebijakan khusus tersebut baru berjalan satu tahun, sehingga belum terlihat hasil yang signifikan. Sedangkan Kota Malang, sama sekali belum ada kebijakan khusus.

"Kelemahan dari kebijakan khusus ini, kuota 10 persen tersebut tidak optimal, karena apabila pendaftar melebihi kuota akan dilakukan perengkingan sehingga tidak semua bisa mengaksesnya," katanya.

Begitu juga dengan kebijakan 15 persen untuk sekolah sesuai daerah domisilnya, juga belum optimal karena kurangnya sosialisasi dari dinas pendidikan ke sekolah maupun ke masyarakat.

"Jadi upaya khusus inipun perlu dimaksimalkan, oleh karena itu, peran legislatif sebagai perwakilan masyarakat untuk memantau dan memastikan kebijakan pemerintah berpihak pada masyarakat," katanya.

Ia mengatakan, anggota DPRD di masing-masing daerah harus turun langsung ke masyarakat untuk mengawasi betul kebijakan pendidikan agar dapat diakses masyarakat. Tidak hanya sekedar menampung dan menerima aspirasi.

"DPRD hendaknya betul-betul turun mengawasi, tidak hanya menerima dan menampung aspirasi, tapi turun langsung, mengetahui kebutuhan masyarakat. Agar kebijakan pendidikan berpihak pada masyarakat miskin, DPRD harus mengawalnya," katanya.

Peneliti dari Artikel 33, Lukman Hakim mengatakan, pendidikan menjadi pisau yang dapat memutus mata rantai kemiskinan. Oleh karena itu, akses pendidikan bagi masyarakat miskin harus benar-benar dibuka.

Menurutnya, adanya kebijakan khusus untuk masyarakat miskin mendapatkan pendidikan juga mendorong penyamarataan pendidikan di setiap daerah. Sehingga semua masyarakat dapat mengakses pendidikan yang berkualitas.

"Dengan kebijakan khusus ini, tidak ada lagi sekolah unggulan, sekolah reguler. Tetapi bagaimana kualitas pendidikan semua sekolah sama rata, sehingga semua masyarakat mendapatkan akses pendidikan yang layak," katanya.

Ia mengatakan, selama lima bulan Artikel 33 bersama KOPEL Indonesia melakukan riset di tiga kota untuk mengetahui seberapa besar akses masyarakat miskin mendapatkan pendidikan.

Salah satu contoh kasus yang kami temui, ada anak dari keluarga tidak mampu dapat masuk ke sekolah unggulan di Kota Bogor, karena kurang percaya diri harus bersaing dan berhadapan dengan anak-anak dari kalangan atas.

"Disini perlu kebijakan khusus yang disiapkan oleh sekolah, agar anak-anak ini bisa berhadapan dengan dunia yang baru tidak minder dan bisa mengikuti pelajaran," katanya.

Forum diskusi Parlemen Pendidikan ini dihadiri sejumlah peserta diantaranya Wakil Ketau DPRD Provisi Sulawesi Selatan, Wakil Ketua DPRD Kota Makassar, Anggota DPRD Kabupaten Maros, Anggota DPRD Kota Bogor, anggota DPRD Kota Malang, masyarakat sipil peduli pendidikan dari YISA Bima, IDEA Yogyakarta.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016