Bogor (Antara Megapolitan) - Kementerian Kesehatan mendorong memperbanyak rumah singgah bagi penderita kanker yang terbentuk melalui peran serta masyarakat dan program pertanggungjawaban sosial (CSR) dari swasta.

"Biaya kanker tercover oleh BPJS, tetapi biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pasien dalam setiap perawatan belum tertanggung oleh pemerintah. Untuk itu peran serta masyarakat, CSR dibutuhkan untuk rumah singgah," kata Staf Menteri Kesehatan Bidang Desentralisasi Kesehatan Sri Henni Setiawati, dalam acara puncak peringatan Hari Kanker Sedunia 2016 dipusatkan di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.

Dikatakannya, beberapa daerah sudah ada rumah singgah bagi penderita kanker yang dibangun oleh masyarakat maupun CSR, salah satunya Anyo Indonesia yang berlokasi dekat dengan Rumah Sakit Dharmais sebagai rumah sakit rujukan kanker di Indonesia.

"Di daerah juga ada Poskesdes dan Polides, total yang sudah terbentuk dari 53 ribu di seluruh Indonesia, tetapi memang keberadaannya belum tentu mendekatkan jarak ke rumah sakit rujukan kanker," katanya.

Menurutnya, langkah efektif dalam menekan angka pesakitan kanker adalah melalui deteksi dini. Mengingatkan 70 persen dari penderita kanker di Indonesia datang ke pusat layanan kesehatan dalam kondisi stadium lanjut, sehingga penanganan sedikit lebih sulit dan memerlukan waktu.

Kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas, 2007). Kanker payudara dan mulut rahim banyak diderita oleh perempuan, kanker paru dan kolorektal banyak diderita oleh laki-laki, dan kanker pada anak seperti leukimia, dan bola mata.

Menurut dia, beban pembiayaan yang sangat besar menjadi permasalahan untuk pemerintah dan masyarakat. Laporan Jaminan Kesehatan Masyarakat menunjukkan pada tahun 2012 pengobatan kanker menempati urutan kedua setelah hemodialisa yakni Rp144,7 miliar.

Sementara, menurut data BPJS pada tahun 2015 penderita kanker yang mendapat pengobatan sebanyak 937 ribu kasus dan telah menelan biaya sebesar Rp1,6 triliun.

"Pencegahan secara komprehensif dapat dilakukan dengan deteksi dini, agar tidak datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi lanjut. Dukungan dari pihak keluarga, perilaku hidup bersih dengan PHBS, agar risiko kanker dapat berkurang," katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menyebutkan jaminan kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah bagi penderita kanker hanya biaya berobat dan rumah sakit. Sementara, biaya terbesar yang dikeluarkan oleh keluarga penderita kanker adalah biaya transportasi.

"Banyak penderita kanker ini berada di daerah, mereka membutuhkan radioterapi setiap dua minggu sekali, biaya transport yang mereka keluarkan cukup banyak," katanya.

Persoalan lainnya, lanjut dia, banyak penderita kanker yang terkecoh dengan pengobatan alternatif tetapi belum ada bukti pengobatan cara tersebut efektif menyembuhkan.

"200 ribu orang mati karena kanker, hampir sama dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit karena rokok," katanya.

Upaya efektif mencegah kanker, lanjut Hasbullah, dengan melakukan diagnosa dini, untuk pemeriksaan dini kanker payudara melalui SADARIN, dan IVA untuk kanker mulut rahim.

"Kebiasaan masyarakat berfikir jangka pendek, karena merasa sehat tidak melakukan pemeriksaan, padahal kanker itu pembunuh tersembunyi, ibarat api dalam sekap, ini menjadi teror. Harus dibiasakan untuk memeriksakan diri sedari dini," katanya.

Hasbullah menambahkan, dengan pemeriksaan sejak dini, 70 hingga 80 persen penderita kanker bisa ditangani, tetapi jika kanker sudah masuk stadium lanjut atau sampai stadium tiga sudah sangat sulit disembuhkan.

Siti Maidah (37) ibu dari Faris (5) anak penderita Luekimia berasal dari Jawa Timur. Sudah dua tahun anaknya terdeteksi menderita kanker hati, kini mereka tinggal di rumah singgah Yayasan Anyo Indonesia, untuk keperluan pengobatan, seperti kemoteraphi.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016