Di awal tahun 2016 ini barangkali ada baiknya kita semua untuk melakukan retrospeksi dan membangun semangat baru terhadap kinerja pembangunan konservasi alam dan lingkungan (KAL) yang telah kita lakukan bersama sejak 45 tahun lalu.
Sebenarnya sejak 1980 kita semua --pemerintah, akademisi, LSM, swasta dan masyarakat luas-- telah bersusah payah melakukan berbagai macam cara, pendekatan dan program untuk membangun KAL.
Namun terjadinya bencana asap pada 2015 telah menjadikan kita semua kembali menyaksikan bahwa ternyata sungguh banyak persoalan KAL yang menjadi beban kita bersama, yang bukan hanya tidak pernah bisa kita selesaikan, melainkan malah selalu bertambah setiap tahunnya.
Beban masa lalu yang perlu kita perhatikan adalah mencakup perambahan dan degradasi kualitas ekosistem hutan pada areal seluas 37 juta hektare, yang merupakan areal "open access" akibat diberlakukannya serangkaian kebijakan pemerintah pada era pertengahan 80 hingga awal era reformasi.
Saat itu, pemerintah "membabi buta" melakukan serangkaian tindakan represif melalui larangan ekspor log, moratorium HPH (hak pengusahaan hutan) dan moratorium "logging" di berbagai wilayah.
Kebijakan pemerintah tersebut sangat pragmatis dan tidak terukur serta sangat merugikan dalam banyak hal. Walhasil, industri hulu kehutanan ambruk, diikuti pula dengan runtuhnya industri hilir (terutama kayu lapis) hanya dalam satu dekade, dengan segala bentuk dampak negatif dalam konteks ekonomi, sosial-budaya dan bahkan kerusakan KAL itu sendiri.
Di sisi lain, impor baja ringan untuk kontruksi bangunan terus meningkat dan membumbung dari tahun ke tahun.
Areal-areal bekas HPH yang dicabut haknya itu (37 juta hektare) ternyata hingga kini tidak bisa diamankan dan tertangani oleh pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga dan melindunginya. Sejak belasan tahun lalu area ini telah menjadi bancakan perambahan serta okupasi lahan hutan oleh berbagai pihak melalui banyak cara.
Masyarakat kecil melakukan pola "rambah-bakar-tanam", para mafia illegal logging melakukan pola "cuci mangkok", sedangkan mafia lahan melakukan pola "alih fungsi lahan".
Bahkan, kita semua pun sudah menjadi saksi bahwa pernah ada pula pimpinan daerah dan anggota DPR yang terlibat "mafia alih fungsi lahan" bukan?
Sebagai akibat dari dinamika itu semua, maka perlu kita sadari pula bahwa sejak awal reformasi hingga saat ini telah terjadi pula "alih fungsi" kawasan hutan menjadi berbagai fungsi lain seluas 5,75 juta hektare.
Politik Lingkungan
Beban politik lingkungan tidak boleh hanya dipandang dalam bentuk terjadinya distorsi informasi serta kegaduhan polemik lingkungan, melainkan juga harus dipetakan hingga dinamika konspirasi ekonomi internasional serta gejolak sosial-politik dan budaya yang berdampak negatif tak terpulihkan.
Dalam konteks global, kita semua telah membuktikan bahwa berbagai skema perbaikan lingkungan yang pernah dicanangkan (mulai dari Deklarasi Rio, Protokol Kyoto, RED++ hingga COP-21) ternyata tak lebih hanya "isapan jempol" yang tak bisa mereka wujudkan sendiri, bersifat "buying time", tidak efisien dan tidak efektif serta sangat destruktif dalam banyak hal.
Sebagai salah satu contoh, cobalah telisik berbagai gerakan dan program lingkungan di Indonesia di bawah komando Climate And Land Use Alliance yang berkantor pusat di San Francisco, AS.
Selama 2010-2015, Ford-Grand dan ClimateWorks-Grant ditengarai kuat telah menggelontorkan 33.737.472 dolar AS di Indonesia untuk melakukan "provokasi lingkungan" di bawah payung "Indonesia Initiative On Climate And Land Use Alliance".
Meskipun judul berbagai program mereka kental dengan nomenklatur konservasi alam dan perbaikan iklim, namun tujuan dan misi mereka sangat sarat dengan langkah-langkah penghancuran perekonomian bangsa dan negara kita secara sistematis dan masif. Penelusuran data menunjukkan ada 87 institusi (umumnya LSM-lingkungan) yang ditengarai kuat terlibat sebagai penerima dana lingkungan yang berjumlah jutaan dolar tersebut.
Lebih lanjut, beredarnya isu tentang Dubes Amerika Serikat dan Norwegia yang "mencekik" 6 perusahaan sawit berskala besar di Indonesia untuk menandatangani IPOP (Indonesia Palm Oil Pledge) beberapa waktu lalu adalah bisa dijadikan sebagai indikator nyata bahwa isu lingkungan telah secara formal dijadikan bangsa asing untuk mendikte pertumbuhan ekonomi negara dan bangsa kita. Sungguh aneh mengapa pemerintah tidak bertindak tegas untuk melawannya, tapi bahkan malah ikut larut dalam gerakan penghancuran tersebut.
Secara sepintas, konsep 3-NO (no deforestation, no peat dan no natural forest exploitation) serta "supply chain traceability" yang menjadi atribut penting dalam IPOP memang adalah mengandung perspektif penyelamatan lingkungan, namun jika ditelaah lebih dalam maka IPOP tersebut sesungguhnya adalah akan menjadi sumber malapetaka ekonomi dan sosial di negara kita.
Konsep IPOP mempunyai "negative reciprocal-loops" berupa akan terbentuknya kartel usaha yang akan mendikte dan menghancurkan industri sawit pengusahaan kecil dan menengah dalam waktu singkat, serta kemudian juga akan memicu terjadinya konflik sosial yang tak berkesudahan di berbagai daerah.
Meskipun pengusaha peserta IPOP tidak mempunyai motivasi untuk membentuk kartel, namun peraturan dalam IPOP menjadikan mereka tidak mempunyai ruang untuk menerima suplai dari perusahaan kecil dan menengah yang umumnya masih tidak bisa memenuhi 3-NO secara utuh.
Konflik sosial akan tersulut dari termajinalisasinya usaha kecil dan perkebunan rakyat, dimana kemudian tentu mudah untuk diduga bahwa areal-areal usaha pengusaha besar akan segera kembali menjadi sasaran "amuk-api" akibat kecembruan sosial.
Ujung-ujungnya, pengusaha besar akan kembali disalahkan dan dicabut pula berbagai perizinannya, sehingga runtuh lah salah satu penghasil devisa utama bagi negara kita tersebut.
Distorsi Informasi
Motivasi dunia internasional dan LSM-hiprokit untuk menghancurkan perekonomian indusri kehutanan dan sawit negara kita sangat tampak dari berbagai pendramatisiran fakta dan pendistorsian informasi yang mereka lakukan.
Sesungguhnya, negara kita telah mengalokasikan 23,2 juta hektare kawasan hutan untuk konservasi, 28,4 juta hektare kawasan hutan untuk perlindungan hutan alam dan gambut, dan 13,53 juta hektare kawasan hutan rehabilitasi, serta 6,97 juta hektare kawasan hutan untuk pengusaha kecil. Namun gerakan lingkungan selalu menyerang dan mendiskreditkan usaha-usaha HTI (hutan tanaman industri) dan perkebunan yang secara sah telah diberi izin oleh pemerintah pada kawasan hutan yang telah sesuai peruntukannya menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Perlu kita sadari bahwa hingga saat ini dapat dikatakan tidak ada satupun program lingkungan yang lokus nya diarahkan secara spesifik untuk memperbaiki kualitas ekosistem pada 37 juta hektare kawasan hutan yang bermasalah tersebut di atas, melainkan selalu diarahkan untuk menyerang dan menghancurkan areal-areal kerja pengusahaan hutan yang telah sah menurut peraturan yang berlaku.
LSM-Lingkungan selalu melakukan "black campaign" tentang kinerja banyak pihak, sedangkan hingga saat ini sesungguhnya tidak ada satu pun kinerja LSM-lingkungan yang dapat dikatakan berhasil secara signifikan dan berkelanjutan. Semua kampanye kinerja LSM-lingkungan adalah sangat supervisial, hiperbolis dan hanya tergolong indah kabar dari pada rupa.
Diskoordinasi Kebijakan
Berbagai perundang-undangan dan kebijakan yang ada saat ini tidak saja sangat heterogen dalam nomenklatur yang membingungkan dan multi-tafsir, melainkan juga sangat banyak yang "bertumburan" (tumpang tindih) satu sama lain, sehingga menimbulkan dinamika kerancuan kebijakan dan diskoordinasi implementasinya.
Sebagai contoh, sangat banyak dijumpai Perda Tata Ruang yang menjadi mandul karena adanya "tumburan" antara Undang-undang kehutanan, Lingkungan dan Otonomi Daerah.
Dinamika tersebut tidak saja telah menjadi sumber kebuntuan langkah pembangunan dalam banyak hal, melainkan juga telah menjadi pintu masuk penetrasi politik lingkungan global untuk menghancurkan perekenomian bangsa dan negara kita.
Modus operandinya adalah dilakukan melalui berbagai konsultan asing dan International Development Agency negara lain yang selalu menekan para birokrat negara kita agar membuat kebijakan yang menguntungkan bangsa mereka.
Untuk memahami dinamika yang terjadi, sebagai contoh cobalah pelajari gagasan CDM (clean development mechanism) yang diagung-agung sejak akhir 2000.
Perjalanan waktu menunjukkan bahwa CDM hanyalah menguntungkan konsultan dan pihak ketiga yang disyaratkan harus terlibat sejak proses awal, sedangkan nyatanya hingga kini karbonnya tidak ada yang membeli. Demikian juga dengan teknologi methan-capture yang mereka bangga-banggakan ternyata juga tidak efektif sama sekali.
Untuk melengkapinya, maka pelajari pula lah berbagai modus operandi bangsa asing dalam menjual teknologi listrik pedesaan yang dalam beberapa tahun belakangan ini banyak disusupkan melalui payung program "millenium challange".
Amnesti Lingkungan
Semangat revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi kiranya perlu didukung untuk mampu menyelesaikan kompleksitas masalah yang telah dipaparkan di atas dalam 4 tahun sisa waktu Kabinet Kerja Jilid Pertama.
Benang kusut permasalahan di atas tidak akan bisa diselesaikan dengan pola kerja "business as usual", melainkan memerlukan kemauan politik yang cerdas dan taktis guna memancangkan kinerja KAL yang monumental untuk generasi mendatang. Salah satu bentuk kebutuhan kebijakan monumental yang patut dipertimbangkan untuk diambil oleh Kabinet Kerja adalah Amnesti Lingkungan.
Amnesti Lingkungan akan sangat efektif sebagai "starting point" untuk menggerakan kapasitas finansial pengusaha nasionaldan daya sosial masyarakat lokal guna membantu pemerintah dalam melakukan perencanaan mikro tentang pengelolaan dan pengusahaan hutan, serta juga akan sangat mumpuni untuk mencegah berbagai kemungkinan "destructive behavior" di masa depan.
Amnesti Lingkungan tidak hanya akan memberi kepastian hukum areal kerja bagi pengusaha, melainkan juga akan memberikan kepastian status bagi masyarakat lokal yang selama ini telah merambah dan mengokupasi 37 juta hektare kawasan hutan yang terbengkalai karena kekeliruan kebijakan masa lalu.
Melalui skema Amnesti Lingkungan, pemerintah dapat menuntun (dan bahkan menuntut) komitmen para pihak untuk berproduksi secara legal, menjalankan azas-azas pembangunan berkelanjutan yang bisa disepakati secara bertahap, serta kemudian berkontribusi secara signifikan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa dan negara.
Dalam konteks teknis, ukuran kinerja Skema Amnesti Lingkungan dapat digagas dengan time frame perencanaan mikro pada tahun 2016, penetapan hak pada tahun 2017, persiapan produksi pada tahun 2018 dan kemudian berkinerja penuh pada 2019.
Itu semua tentu akan menjadi "credit point" yang bersifat monumental bagi Kabinet Kerja untuk melanjutkan pemerintahan hingga Kabinet Kerja Jilid II.
Dalam konteks konflik politik lingkungan, wacana Kebijakan Amnesti Lingkungan tentu tidak akan diterima baik oleh para LSM-Lingkungan yang selama ini bersifat hipokrit dan telah mendapatkan keuntungan dari dana-dana lingkungan yang mengalir dari bangsa lain.
Apapun juga, berbagai manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat lokal dan masyarakat luas dari Kebijakan dan Program Amnesti Lingkungan dipercaya akan mampu meredam berbagai "black campaign" yang pasti akan dilakukan oleh para LSM-hipokrit untuk menentang Kebijakan Amnesti Lingkungan. Selain itu, LSM-hipokrit sesungguhnya juga mempunyai potensi untuk ikut serta berkinerja positif pada semua skema Program Amnesti Lingkungan tersebut.
Kiranya wacana Amnesti Lingkungan tersebut di atas bisa menjadi penyemangat baru bagi kita semua guna menyatukan pikiran dan langkah dalam menyongsong perbaikan serta optimasi kinerja KAL di awal tahun 2016 ini.
*) Penulis adalah Pengamat Lingkungan, Pengajar Pascasarjana Fakultas Kehutanan IPB
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016