Pengajar Badan Diklat Kemendagri Dr Teuku Saiful Bahri Johan mengatakan proses Pemilihan Wakil Bupati (Pilwabup) Bekasi cacat prosedural dengan beberapa pelanggaran meski sudah disahkan menjadi produk hukum.

Saiful saat menyampaiksn keterangan ahli dalam sidang lanjutan sengketa Pilwabup Bekasi yang digelar Majelis Hakim PTUN Jakarta Timur, Rabu, menyampaikan pernyataan dari pihak tergugat yakni Kemendagri.

"Ada beberapa pelanggaran dalam Pilwabup tersebut meski sudah sah dan menjadi produk hukum," katanya di persidangan.

Dosen Program Studi PascaSarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta itu menilai mekanisme dan prosedural pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah diatur dalam perundang-undangan dan turunannya sebagaimana tata tertib dalam acuan menggelar Pilwabup tersebut.

"Namun mekanismenya Pilwabup itu bisa berjalan dan dilaksanakan Panlih DPRD, harus terlebih dahulu disampaikan partai politik yang diajukan oleh kepala daerah. Harus diusulkan dua calon ke DPRD, harusnya mekanismenya seperti itu, wajib diklarifikasi oleh DPRD," ucap Saiful yang pernah lama di Biro Hukum Kemendagri.

DPRD Kabupaten Bekasi selaku panitia pemilihan (panlih) sedianya juga harus mengikuti tahap-tahap selanjutnya untuk memverifikasi syarat dan lain ya untuk menggelar pemilihan itu.

"Saya melihat prosedural dilewatkan, ini bukan norma hukum tapi norma etika tetapi produknya tetap sah, meskipun tidak melewati mekanisme yang benar," kata Saiful yang pernah menjabat Wakil Kepala Biro Hukum Komisi Pemilihan Umum RI.

Saiful menegaskan pemberian syarat administrasi harus langsung dilakukan oleh calon tersebut dan jika tidak memenuhi syarat maka harus ditolak.

"Jika tidak ada penolakan dan administrasi dilanggar, harus dilaporkan ke Badan Kehormatan DPRD. Selama ini tidak ada penolakan," ucapnya.

Dia juga menegaskan produk yang sudah dikeluarkan DPRD tetap sah meski ada penyimpangan dalam proses. "Kalau dari awal proses dan persyaratan tidak bisa dipenuhi maka calon tidak dapat diproses. Apalagi itu visi dan misi. Harus dipenuhi, kalau sudah jadi produk harus diselesaikan di pengadilan," katanya.

Kuasa Hukum Tuti Yasin selaku penggugat, Bonar Sibuea mengatakan pernyataan ahli secara normatif berkenaan dengan posisinya sebagai pihak yang diajukan oleh tergugat sehingga ada beberapa bagian yang kemudian mendukung tergugat.

"Tetapi sebaliknya dari penggugat juga mendapatkan beberapa hal, contohnya tidak hadirnya penggugat ketika deklarasi visi dan misi, diakui saksi ahli bahwa itu menjadi tidak sah produknya. Kemudian tidak ada dokumen yang dilampirkan. Nah, hal-hal seperti itu membuktikan gugatan bahwa memang terjadi pelanggaran," katanya.

Bonar menegaskan bahwa inti materi gugatan adalah dugaan terjadinya pelanggaran prosedural dalam Pilwabup Bekasi sehingga tidak melebar ke substansi lain demi mencegah salah penafsiran.

"Jangan melebar kemana-mana, salah itu seperti itu. Makanya tadi kami bilang bahwa sidang kami ini tidak perlu apakah sudah lewat atau tidak tetapi yang diperlukan adalah pembuktian bahwa ketika terjadi kemudian pengangkatan pemilihan wakil bupati terjadi, di bawahnya itu ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan," katanya.

Kembali ke materi gugatan, kata Bonar, undang-undang pasal 176 yang ditanyakan kepada saksi ahli serta Peraturan DPRD Kabupaten Bekasi Nomor 02 Tahun 2019 terkait keabsahan apabila salah satu calon tidak menyampaikan visi misi ketika paripurna.

"Lalu dijawab ahli tidak sah. Sehingga dalam hal ini kami meyakini proses Pilwabup yang digelar Panlih DPRD Kabupaten Bekasi tidak sesuai prosedural," kata dia.

Pewarta: Pradita Kurniawan Syah

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022