Surabaya, (Antara Mepolitan) - Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial (KY) Danang Widjayanto mengemukakan bahwa para hakim juga mengeluhkan pers yang pemberitaannya juga dapat melecehkan martabat dan kehormatannya.

"Tapi, para hakim itu juga takut menegur langsung karena khawatir diberitakan lebih jelek lagi, sehingga mereka mengadu ke KY," katanya dalam workshop "Contempt of Court" (CoC) di Surabaya, Rabu.

Dalam workshop yang diadakan KY bersama LBH Surabaya di Universitas Hang Tuah Surabaya, 6-8 Oktober 2015, ia menjelaskan pihaknya menerima rata-rata 3.000-an pengaduan dalam setahun.

"Pengaduan itu umumnya memang terkait putusan dan non-putusan seperti narkoba, selingkuh, judi, dan berkelahi, namun ada juga hakim yang mengadu ke KY terkait pelecehan oleh masyarakat, termasuk pers," katanya.

Menurut dia, "CoC" (tindakan merendahkan kewibawaan, martabat, dan kehormatan hakim/peradilan) yang dilakukan pers itu bisa terkait putusan seperti intervensi putusan dan juga non-putusan seperti wawancara yang merugikan.

"Misalnya, pernyataan dalam sebuah stasiun televisi tentang hakim agung Gayus Lumbun yang menerima suap Rp700 juta melalui transfer, padahal transfer sebanyak itu tidak ada, melainkan kliring," katanya.

Atau, peradilan anak-anak yang tertutup, tapi pers tetap berusaha "mencuri" gambar lewat celah-celah pintu atau jendela.

"Kadang juga wartawan mewawancarai narasumber yang belum baca putusan, tapi pernyataannya cukup vokal, padahal pers itu seharusnya berimbang atau cover both side yakni pihak kalah dan menang sama-sama diwawancarai," katanya.

Oleh karena itu, KY saat ini tidak hanya fokus pada pengawasan hakim nakal, karena hal itu dirasa tidak cukup, melainkan KY juga mulai fokus pada advokasi hakim yakni pembinaan atau pelatihan, kesejahteraan, dan pembelaan.

"Untuk pembelaan itu pun tidak hanya represif, seperti PN diserang, rumah hakim ditembak, hakim dicaci, dan sebagainya, namun juga pembelaan preventif, seperti judicial education atau pencerahan untuk masyarakat dan pers," katanya.

Dalam kesempatan itu, Kabid Litbang LBH Surabaya Abdul Fatah merinci lima bentuk "CoC" yakni gangguan di ruang sidang, seperti demonstran yang onar. "Itu bisa dilakukan kaum buruh atau justru para advokat kalah," katanya.

Berikutnya, tidak taat pada putusan atau perintah peradilan, seperti eksekusi yang gagal atau hukuman pidana yang digantikan orang lain dengan membayar.

Selanjutnya, penghinaan lewat publikasi, seperti wartawan mewawancarai narasumber yang belum baca putusan tapi vokal. Atau, wawancara sepihak. "Inilah CoC yang terkait dengan pers," katanya.

Selain itu, perbuatan yang menghalangi peradilan seperti teror, ancaman, atau kekerasan fisik. Terakhir, perbuatan tercela seperti suap atau hakim bertemu pihak berperkara.

Dalam pertemuan itu, sejumlah wartawan menyarankan sejumlah langkah untuk mengatasi "contempt of court" (CoC) yakni Komisi Yudisial perlu melakukan pendidikan hukum acara untuk wartawan peliput masalah hukum, serta membuat buku panduan boleh-tidaknya materi peliputan.

Selain itu, KY juga diharapkan melakukan evaluasi rutin tentang perilaku hakim dan hasilnya dipublikasikan kepada pers, lalu KY perlu bekerja sama dengan pers untuk mengangkat hakim-hakim yang baik untuk teladan. KY juga perlu membentuk humas di PN yang bukan dari hakim.

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015