Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof Dadang, MSc mendorong petani untuk menggunakan pestisida nabati karena lebih ramah lingkungan dibanding pestisida sintetik.

"Pestisida nabati lebih aman daripada pestisida sintetik," kata Prof Dadang di Bogor, Jawa Barat, Senin.

Ia mengataka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman mengamanatkan setiap usaha pertanian mengimplementasikan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

PHT secara praktis mengintegrasikan berbagai strategi pengendalian yang kompantibel dan secara prinsip menekankan pada pendekatan ekologi untuk kesehatan ekosistem sehingga teknologinya dapat diterima oleh masyarakat, berwawasan lingkungan, praktis dalam aplikasinya dan bekelanjutan.

"Untuk itu, strategi pengendalian dengan pestisida diposisikan sebagai alternatif terakhir," kata dia.

Namun, lanjut dia, secara umum masyarakat masih menjadikan pestisida sebagai pilihan dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).

Sementar itu, sektor pertanian merupakan sektor yang tangguh dan telah nyata berkontribusi pada pembangunan nasional. Salah satu faktor pembatas untuk mendapatkan produksi pertanian secara optimal adanya OPT yang menyebabkan kehilangan hasil pertanian rata-rata per tahun mencapai 30 hingga 35 persen.

Dikatakannya, perlu tindakan pengendalian OPT. Jika ini bisa dikendalikan sebesar lima persen saja dapat menyelamatkan 2,5 juta ton produksi padi, sehingga tidak perlu impor, tidak ada gejolak harga,dan tidak ada gejolak ekonomi.

Prof Dadang mengembangkan pestisida nabati yang berasal dari senyawa sejumlah tumbuhan untuk menjawab tantangan pertanian yang berasal dari OPT.

Ia mengatakan, tumbuhan memproduksi dua kelompok senyawa yakni metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekuder menjadi senyawa tanaman yang dapat menjadi pestisida nabati.

"Salah satu fungsi metabolit sekunder adalah sebagai chemical defense terhadap serangan organisme termasuk hama dan patogen," katanya.

Beberapa pestisida nabati yang berhasil temukan berasal dari beberapa tanaman seperti, tanaman Gomphrena globosa (Amaranthaceae) dan A. Galanga yang terbukti dapat menekan populasi larva P.Xylostella pada tanaman kubis.

Pestisida nabati lainnya bisa didapat dari perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum/Solanaceae) digunakan untuk mengendalikan beberapa hama. Dari famili Clusiaceae, ekstrak getah dan kulit batang Calophyllum soulattri memberikan efek kematian yang tinggi pada larva C. Pavonana dan di lapangan dapat menekan populasi hama jenis C. Pavonana hingga 64,8 persen.

"Penggunaan pestisida nabati juga harus diperhatikan, karena memiliki efek samping bila tidak digunakan secara benar," katanya.

Ia mengatakan, beberapa ekstrak tumbuhan dapat berdampak buruk bagi serangga berguna, antropoda tanah dan tanaman budidaya. Ekstrak yang bekerja sebagai racun kontak dapat memberikan pengaruh buruk pada predator, parasitoid, penyerbukan dan antropoda lainnya.

"Aplikasi ekstrak tunggal atau campuran dapat memberikan efek fitotoksis pada tanaman budidaya. Untuk itu pengujian sacara komprehensif diperlukan mengkaji kelayakannya," kata dia.

Prof Dadang mengatakan, pengembangan pestisida nabati masih terbuka di Indonesia seiring kebutuhan masyarakat akan produk pertanian yang sehat. Jika tidak dapat menggantikan peran pestisida sintetik sepenuhnya, paling tidak pestisida nabati dapat berperan mempengaruhi penggunaan pestisida sintetik dan menjadi alternatif dalam pengendalian OPT secara nasional.

"Siapapun bisa mengembangkan pestisida nabati. Ketika dikomersialisasikan jangan lupa Pasal 38 Undang-Undang 12 Tahun 1992, pestisida yang diedarkan di wilayah NKRI wajib terdaftar dan memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya," kata dia.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015