Bogor, (Antara Megapolitan) - Menteri Hukum dan HAM, Yosanna Laoly menyebutkan ada banyak solusi untuk mengatasi persoalan kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia, salah satu terobosan besar mengubah sistem hukum agar tidak semua masyarakat yang tersangkut pidana dikirim ke penjara.

"Kita akan perbaiki sistem ini, karena untuk membangun Lapas baru, anggaran negara sangat terbatas," kata Menteri usai melakukan sidak di Lapas Kelas II Bogor, Rabu malam.

Dikatakan, membangun semua lapas memerlukan dana sangat besar, karena konstruksinya tidak sama seperti rumah, dindingnya harus tebal beberapa lapis.

Menteri menyebutkan solisi lain mencoba pemberian grasi kepada pengguna narkoba.

"Kami sudah bicarakan dengan presiden yang memenuhi syarat pemberian grasi sesuai undang-undang, yang vonis di atas dua tahun dengan pemberian grasi model memperlakuan warga binaan di taruh di luar untuk direhabilitas," ucapnya.

Hal itu juga untuk mengurangi tekanan di dalam, jadi sudah cukup kewajiban.

Selain itu, lanjut menteri, Undang-Undang juga mengamanatkan pemakai atau pengguna narkoba diharuskan untuk direhabilitasi.

Solusi berikutnya, lanjut Menteri, pemberian remisi (pembebasan bersyarat), tetapi ini ada persoalan besar yang tidak hanya berlaku untuk koruptor, persoalan narkoba juga. Karena hampir 50 persen penghuni lapas di Indonesia adalah narkoba.

Dengan berlakunya PP Nomor 9 Tahun 2012 lanjut Menetri, nanti hal tersebut menjadi pesoalan besar karena nantinya para warga binaan tersebut tidak akan mudah untuk mendapatkan remisi, akrena mereka akan dikenakan denda, barus bayar baru dapat remisi dan denda tersebut bisa mencapai ratusan juta yang tentu tidak akan mampu.

"Ibaratnya ini seperti air yang masuk sekian banyak, yang keluar hanya sedikit yang dibuat remisi. Jadi persoalan over kapasitas bukanya baik tapi tambah meledak. Maka harus ada terobosan kreatif dalam hal ini," kata Menteri.

Menteri menyebutkan, remisi atau PB, untuk koruptor ada perlakuan berbeda tetapi jangan mengenealisasi semua, ini yang menjadi permasalahan, dan harus disepakati soal pemberatan untuk koruptor.

Dijelaskannya dalam sistem perartidan terpadu masing-masing institusi penegak hukum punya kamar-kamar sesuai tupoksinya. Dalam Justice colaboration, untuk tersangka koruptor yang tidak mau membongkar kasusnya akan dihukum seberat-beratnya sesuai rasa keadilan dan ketentuan hukum yang ada.

Hal itu dengan alasan digunakan variable, selesai diputuskan masuk lapas, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Lembaga Pemasayrakatan, akan ada dijelaskan hak-hak narapidana, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak komunikasi, hak mendapatkan rmeisi, dan hak dapat PB.

"Ini akan diperbaiki sistemnya, karena membangun lapas saja tidak cukup, kalau sistem tidak diperbaiki," katanya.

Ia mengatakan, hadirnya Komnas HAM dalam meninjau kondisi lapas di Indonesia, karena Kemenkum HAM menghadapi persoalan jeritan tentang standar minimum dari HAM di Lapas yang menjadi perhatian, diharpakan ada solusinya.

Sementara itu Ketua Komnas HAM Nurkholis mendukung upaya Menteri Hukum dan HAM dalam mengubah sistem hukum yang ada dengan yang baru, agar solusi kelebihan kapasitas Lapas bisa teratasi.

"Komnas HAM juga tidak ingin membebani negara, misalnya soal bagaimana mengurangi tahanan ini harus integrasi dengan sistem yang lain. Karena soal jenis-jenis penghukuman bagi pelaku kejahatan di Indonesia harus dibicarakan, tidak hanya Lapas, tetapi dari proses awal penegakan hukum juga harus dijalankan," katanya.

Ia menambahkan, perlu ada diskusi lintas kementerian, agar persoalan kelebihan kapasitas tidak membebani negara terlalu berlebihan di luar kemampuannya.

"Jika negara tidak mampu bangun banyak lapas, kita carikans olusi lain, tidak harus tinggal diam. Komnas HAM mendukung gagasan dari Kemenkum HAM," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015