Ayo Mengajar Indonesia berupaya mencegah terorisme menyusupi dunia pendidikan, seperti terungkap dalam dialog publik bertema "Tolerance, Yes! Radicalism, No! Cegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Dunia Pendidikan" di Jakarta, Sabtu (24/4). 

Direktur Ayo Mengajar Indonesia, Adi Raharjo mengatakan, kegiatan ini memiliki tujuan untuk menyampaikan nilai-nilai toleransi di dunia pendidikan.

“Masalah intoleransi, radikalisme hingga terorisme harus menjadi perhatian serius bersama,” ujar Adi.

Dialog ini membahas bagaimana mencegah intoleransi, radikalisme, hingga terorisme masuk ke dunia pendidikan.

Kemudian, bahasan lainnya yaitu bagaimana peran serta semua pihak, mulai dari guru, pemerintah, hingga lembaga masyarakat dalam menolak radikalisme dan merawat toleransi dalam dunia pendidikan.

Narasumber yang dihadirkan yaitu Cendikiawan Islam Prof. Dr. Azyumardi Azra, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R. Ahmad Nurwahid, Wakil Sekjen PB PGRI Dr. Jejen Musfah, Setara Institute Iif Fikriyati Ihsani, dan Direktur Ayo Mengajar Indonesia Adi Raharjo.

Sementara itu, Peneliti Setara Institute, Iif Fikriyqtia mengatakan, seseorang cenderung radikal karena dalam keluarganya tidak memberikan ruang interaksi.

Selain itu, Iif menilai pola pendidikan kita semakin kesini semakin kehilangan ruhnya. Pendidikan kita hanya bergerak dalam wilayah kompetisi, bukan menumbuhkan nilai nilai yang membangun toleransi.

“Kita menemukan intoleransi terjadi di perguruan tinggi. Ketika meneliti 10 kampus, kami menemukan tingkat intoleransi cukup tinggi sampai 20 hingga 30 persen. Ketika penelitian di sekolah pun sama cukup tinggi tingkat inteloransi, dan bukan tumbuh tiba tiba, tapi memang ada peningkatan dari zaman di sekolah sampai ke perguruan tinggi,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Cendikiawan Muslim, Azzyumardi Azra megatakan, radikalisme masih selalu membayang-bayangi kehidupan di Indonesia. Bahkan seolah-olah, Indonesia dikesankan jauh lebih buruk dari negara lain.

“Jika dibombardir dengan isu radikalisme, kita sebagai bangsa akan merasa minder dengan negara lain, walau memang benar ada gejala radikalisme tapi jangan dilebih-lebihkan,” ungkapnya.

Untuk itu, ia berharap Ayo Mengajar Indonesia harus aktif mengajarkan pemahaman keagaamaan yang moderat dan menanamkan nilai-nilai toleransi.

“Pemerintah juga harus inisiatif, guru-guru bisa diberikan pelatihan tentang Pancasila dan nasionalisme agar dalam pengajarannya bisa memberikan nilai-nilai toleransi. Saya mengapresiasi gerakan Ayo Mengajar Indonesia ini agar bisa menekankan perbaikan karakter,” harap Azzyumardi Azra.

Wakil Sekjen PB PGRI, Jejen Musfah bicara tentang pendidikan karakter. Ada 3 cara yang bisa diterapkan yakni modeling, kebiasaan dan pengajaran. Meski ia menyebut toleransi di Indonesua sudah cukup baik, Jejen menekankan bukan berarti kita bisa mengabaikan pikiran intoleran.

“Pencegahan radikalisme, banyak dalam riset, bahwa radikalisme itu benihnya dari intoleransi. Jika model pengajarannya inklusif atau kolaboratif atau pembelajaran aktif yang dipakai, saya rasa akan berkurang rasa intoleransi,” terangnya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwahid mengatakan, aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Akan tetapi, sangat terkait dengan pemahaman yang menyimpang oleh oknum dalam memahami ajaran agama.
Penanggulangan terorisme dan radikalisme pun bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Semua pihak harus bahu mrmbahu menyuarakan moderasi beragama.

“Jangan biarkan intoleransi berkeliaran di masyarakat, apalagi memfitnah dan menjelakan satu sama lain. Kita harus saling mengenal, satu sama lain harus menghargai, saling menyanyangi. Jangan biarkan intoleransi merajalela, karena intoleransi adalah embrio radikalisme dan terorisme,” tegasnya.

Pewarta: -

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021