Lome (Antara/AFP/Antara Megapolitan) - Presiden Togo Faure Gnassingbe memperoleh masa jabatan ketiganya sebagai presiden dengan meraih 58,75 persen suara dalam pemilihan umum, Sabtu, sedangkan pesaing utamanya Jean-Pierre Fabre memperoleh 34,95 persen.
"Komisi pemilihan nasional menyatakan bahwa Faure Gnassingbe Essozimna terpilih berdasarkan atas hasil sementara, yang tunduk pada kepastian oleh Mahkamah Konstitusi," kata Kepala Komisi Taffa Tabiou pada Rabu.
"Ini kemenangan layak. Ini kemenangan yang diinginkan rakyat Togo, dengan Presiden Faure Gnassingbe, terus maju ke arah perkembangan dan perdamaian," katanya.
Keluarga Gnassingbe memerintah Togo, negara kecil di Afrika barat, hampir setengah abad.
Presiden Gnassingbe, yang pertama kali berkuasa pada 2005 ketika ayahnya yang dikenal bertangan besi, Gnassingbe Eyadema, meninggal.
Faure Gnassingbe melihat kesempatan untuk berkuasa selama tiga periode berturut setelah mendapatkan dukungan dari kelompok pendukung keluarganya di kawasan bagian utara Togo.
Dari 3.509.258 jumlah pemilih yang terdaftar, Gnassingbe meraih 1.214.267 suara sedangkan Fabre 722.347 suara.
Tchaboure Gogue, salah satu dari tiga kandidat presiden dari partai-partai oposisi kecil, meraih 3,08 persen suara dalam pemilu.
Meskipun para peninjau internasional menyebut pemilu Togo bebas dan transparan, namun anggota oposisi sempat menuduh pemerintah terlibat penipuan proses pemilu demi mempertahankan kekuasaan.
Namun, ketegangan tersebut sempat mereda pada Selasa setelah Fabre mengatakan kepada AFP bahwa pihaknya "mempercayakan Komisi Pemilihan Nasional Independen untuk melakukan tugasnya".
Di Togo sampai saat ini tidak ada batasan berapa kali seorang presiden dapat terpilih kembali. Pihak oposisi ingin membatasi hingga jangka dua periode.
Protes keras muncul ketika tentara mengangkat Gnassingbe setelah General Eyadema meninggal pada Februari 2005, meninggalkan kekosongan kekuasaan berikut pemerintahannya selama 38 tahun.
Gnassingbe mundur dan pemilihan umum terorganisir segera dilaksanakan setelahnya, yang kemudian menjadi saksi kemenangannya pertama untuk memimpin selama lima tahun di sebuah negara yang sebelumnya dikelola oleh Jerman dan Perancis tersebut.
Togo merayakan 55 tahun kemerdekaan pada Senin.
Oposisi utama Togo "Combat for Political Change" (CAP 2015), koalisi lima partai yang mendukung Fabre, menuduh rezim penguasa melakukan penipuan dalam pemilu.
Namun Uni Afrika, yang mengirim 43 peninjau untuk memantau pemilu, menyimpulkan bahwa pemilih telah diizinkan "untuk memilih presiden mereka secara bebas dan transparan".
Amos Sawyer, pemimpin 100 anggota pengawas kiriman 15 negara blok regional Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) pada Minggu mengatakan bahwa pemilihan Togo secara keseluruhan telah "bebas, transparan dan terorganisir dalam cara yang dapat diterima".
Uni Eropa, pemberi pinjaman internasional utama Togo, pada Selasa mengatakan bahwa pemilu "berlangsung dengan tenang, seolah menegaskan keterikatan masyarakat Togo dengan demokrasi".
Presiden Togo: Calvin/B. Soekapdjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Komisi pemilihan nasional menyatakan bahwa Faure Gnassingbe Essozimna terpilih berdasarkan atas hasil sementara, yang tunduk pada kepastian oleh Mahkamah Konstitusi," kata Kepala Komisi Taffa Tabiou pada Rabu.
"Ini kemenangan layak. Ini kemenangan yang diinginkan rakyat Togo, dengan Presiden Faure Gnassingbe, terus maju ke arah perkembangan dan perdamaian," katanya.
Keluarga Gnassingbe memerintah Togo, negara kecil di Afrika barat, hampir setengah abad.
Presiden Gnassingbe, yang pertama kali berkuasa pada 2005 ketika ayahnya yang dikenal bertangan besi, Gnassingbe Eyadema, meninggal.
Faure Gnassingbe melihat kesempatan untuk berkuasa selama tiga periode berturut setelah mendapatkan dukungan dari kelompok pendukung keluarganya di kawasan bagian utara Togo.
Dari 3.509.258 jumlah pemilih yang terdaftar, Gnassingbe meraih 1.214.267 suara sedangkan Fabre 722.347 suara.
Tchaboure Gogue, salah satu dari tiga kandidat presiden dari partai-partai oposisi kecil, meraih 3,08 persen suara dalam pemilu.
Meskipun para peninjau internasional menyebut pemilu Togo bebas dan transparan, namun anggota oposisi sempat menuduh pemerintah terlibat penipuan proses pemilu demi mempertahankan kekuasaan.
Namun, ketegangan tersebut sempat mereda pada Selasa setelah Fabre mengatakan kepada AFP bahwa pihaknya "mempercayakan Komisi Pemilihan Nasional Independen untuk melakukan tugasnya".
Di Togo sampai saat ini tidak ada batasan berapa kali seorang presiden dapat terpilih kembali. Pihak oposisi ingin membatasi hingga jangka dua periode.
Protes keras muncul ketika tentara mengangkat Gnassingbe setelah General Eyadema meninggal pada Februari 2005, meninggalkan kekosongan kekuasaan berikut pemerintahannya selama 38 tahun.
Gnassingbe mundur dan pemilihan umum terorganisir segera dilaksanakan setelahnya, yang kemudian menjadi saksi kemenangannya pertama untuk memimpin selama lima tahun di sebuah negara yang sebelumnya dikelola oleh Jerman dan Perancis tersebut.
Togo merayakan 55 tahun kemerdekaan pada Senin.
Oposisi utama Togo "Combat for Political Change" (CAP 2015), koalisi lima partai yang mendukung Fabre, menuduh rezim penguasa melakukan penipuan dalam pemilu.
Namun Uni Afrika, yang mengirim 43 peninjau untuk memantau pemilu, menyimpulkan bahwa pemilih telah diizinkan "untuk memilih presiden mereka secara bebas dan transparan".
Amos Sawyer, pemimpin 100 anggota pengawas kiriman 15 negara blok regional Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) pada Minggu mengatakan bahwa pemilihan Togo secara keseluruhan telah "bebas, transparan dan terorganisir dalam cara yang dapat diterima".
Uni Eropa, pemberi pinjaman internasional utama Togo, pada Selasa mengatakan bahwa pemilu "berlangsung dengan tenang, seolah menegaskan keterikatan masyarakat Togo dengan demokrasi".
Presiden Togo: Calvin/B. Soekapdjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015